Aku Ingin Menjadi … Tumbuhan

Oleh Nabilah Hasna

Mengapa aku tak disebut tumbuhan? Padahal aku sesuatu yang tumbuh. Lupakan. Aku hanya terobsesi menjadi tumbuhan. Aku tak ingin jadi manusia yang memiliki segala rasa yang rumit: rasa sakit, rasa cinta, rasa benci, rasa suka, dan masih banyak lagi, yang kuharap tak pernah kurasakan lagi. Berkali-kali kurasakan suka, berkali-kali pula kurasakan sakit. Berkali-kali kurasakan cinta, berkali-kali juga kurasakan benci. Rumit. Aku tak suka. Lebih baik menjadi tumbuhan, jika sakit tinggal mati, tak perlu merasa, rasa yang membuat menderita. Cukup. Akan kujelaskan kenapa aku ingin menjadi tumbuhan saja.

Aku telah berkali-kali jatuh cinta. Oke, sebenarnya hanya tiga kali dan di setiap aku jatuh cinta, setiap itu pula cintaku bertepuk sebelah tangan, cinta satu sisi. Cinta sepihak. Entah, mungkin Tuhan tidak mengizinkanku memiliki rasa cinta selain untuk-Nya. Namun, aku juga ingin memiliki kekasih, layaknya teman-temanku. Aku iri, cinta mereka tidak pernah bertepuk sebelah tangan. Bagaimana bisa? Aku bahkan patah hati tiga kali saat jatuh cinta tiga kali.

Pertama ketika umurku dua belas tahun, cinta pertamaku, orang yang kusuka untuk pertama kali. Kuceritakan rasa itu pada temanku dan esoknya ia jadian dengannya. Kedua, ketika umurku empat belas tahun, ia lebih tua dariku, sosok yang kukagumi. Kuceritakan pada teman dekatku bahwa aku menyukainya. Tak lama, kudengar kabar bahwa laki-laki yang kukagumi tersebut menyukai teman dekatku. Ketiga, saat umurku enam belas tahun, aku menyukainya, pada pandangan pertama. Sampai suatu saat, aku melihatnya memandang teman dekatku dengan mata yang berbinar, aku tahu, ia menyukainya. Lalu bagaimana denganku saat itu? Aku hanya diam? Iya. Dan menangis, tak tahu harus bagaimana.

Kenapa? Apa aku buruk rupa? Tidak, teman-temanku bilang aku imut. Apa aku jelek? Tidak, teman-temanku bilang aku sangat manis, beberapa mengatakan cantik, relatif. Apa aku bodoh? Tidak, aku bahkan masuk lima besar juara kelas, cukup membanggakan. Ay Laluna Tsuki, namaku. Rambutku hitam sebahu, mataku cokelat tua, dan kulitku putih. Apa itu buruk? Aku tidak tahu. Yang kutahu, aku tidak cukup pantas untuk bisa merasakan cinta dua pihak. Aku yakin itu. Hingga akhirnya, aku memilih untuk berhenti merasa, apa pun itu.

Aku ingin menjadi tumbuhan saja, yang patah tumbuh, yang hilang berganti. Namun, tak semudah itu, karena aku manusia, punya hati. Bohong bila kukatakan aku baik-baik saja, tetapi justru itu yang selalu kukatakan kalau ada yang bertanya, “Ay? Kamu gapapa?” atau “Ay? Kenapa?” dan pertanyaan sejenis yang lainnya. Aku tidak pernah baik-baik saja, bahkan mataku tidak pernah berhenti mengeluarkan air. Salah apa aku di kehidupan sebelumnya? Aku tidak tahu, yang kutahu, aku ingin menjadi tumbuhan di kehidupan selanjutnya. Jikalau ada.

Pasrah, karena mau bagaimana lagi? Aku tak bisa berbuat apa-apa untuk urusan rasa. Aku memilih diam, tak mau terulang lagi. Trauma? Lumayan. Aku tak mau lagi merasa, karena tidak enak. Apalagi hanya merasa sendiri. Sampai saat ini, aku memutuskan untuk tak menaruh hati pada siapa pun, itu lebih baik. Aku masih dalam tahap membetulkan hatiku yang patah tiga kali. Setelah betul, aku akan menjaganya baik-baik, tak akan kuberikan pada siapa pun, setidaknya untuk saat ini, tidak tahu kalau nanti. Karena kalau kuberikan sesaat setelah betul, nanti peristiwa-peristiwa sebelumnya terjadi lagi. Aku tidak mau, yang kumau, hanya menjadi tumbuhan.

Satu … dua … tiga … kupatahkan satu per satu tangkai pohon delima di hadapanku, kuperhatikan dalam diam, tidak menangis, bahkan aku yakin dalam beberapa hari tangkai yang patah akan tumbuh berganti yang baru, umumnya begitu, kan? Aku ingin bertukar posisi, kalau bisa. Ia tak perlu merasakan pahitnya terbuang sia-sia, patah berkali-kali. Astaga. Aku ingin sekali menjadi tumbuhan. Bayangkan saja, jadi tumbuhan tak perlu memikirkan beban hidup yang tak pernah ringan. Enak sekali.

Bersama dengan bunga yang semerbak mewangi, rambutku bergerak ditiup angin, di bawah purnama yang berbinar indah. Tidak hanya aku yang ditiup angin, tumbuhan di sekitarku juga, tetapi hanya aku yang merasakan pilu, tidak dengan tumbuhan di sekitarku. Ranting-ranting bergesek karena angin kencang yang berembus. Beberapa patah lalu jatuh, rapuh. Kupandang semua tumbuhan di sini, tak ada yang semenyedihkan aku. Sendiri ditiup angin, dengan perasaan kacau dan mata berair. Kemarin, setelah hatiku cukup betul, aku mulai menaruh hati pada temanku. Laki-laki yang mampu membuatku tersenyum manis dengan pipi merona. Kali ini kuputuskan untuk menyampaikan apa yang kurasakan, akan kusampaikan padanya bahwa aku menyukainya. Namun, selanjutnya aku terpaku, melihatnya di sana, berdiri di depanku sembari menggenggam sepasang tangan lentik dan tersenyum manis menatap perempuan di depannya. Iya, dia temanku. Perempuan itu temanku. Tak perlu kujelaskan lebih lanjut peristiwa setelahnya, sebab akhirnya aku terdampar di sini, malam ini, terluka, di bawah bulan yang memancarkan sinar. Namaku Ay Laluna Tsuki, usiaku delapan belas tahun, dan aku tak pernah merasa dicintai. Dan lagi, aku ingin menjadi tumbuhan.