Mustafa Kemal Atatürk dikenal sebagai pendiri dan presiden pertama Republik Turki. Ia memiliki nama lain yaitu Gazi Mustafa Kemal Paşa yang berarti salah seorang perwira militer dan negarawan Turki yang memimpin revolusi modernisme. Mustafa Kemal lahir di Selânik, Kesultanan Utsmaniyah pada 19 Mei 1881 dan meninggal di Istana Dolmabahçe, Istanbul, Turki pada10 November 1938 di usia 57 tahun. Mustafa Kemal memiliki ideologi tersendiri pada masa jabatannya. Ia sangat berpegang pada ideologi sekularisme dan nasionalisme Turki. Dalam masa jabatannya, Mustafa Kemal memperkenalkan serangkaian pembaharuan luas dalam usaha untuk menciptakan sebuah Turki modern yang sekuler dan demokratis. Kebijakan-kebijakan yang diterapkannya itu dikenal sebagai teori kemalisme.
Kali ini kita akan membedah secara ilmiah tokoh Mustafa Kemal Atatürk berdasarkan objek kajian semiotik menggunakan teori Charles Sanders Pierce. Penjelasan ini mendefinisikan sosok Mustafa Kemal berdasarkan kajian semiotik yang dilihat dari tanda-tanda di dalamnya. Alasannya, hal ini serupa dengan yang dikemukakan Pierce bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya, lalu yang memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan dengan tanda-tanda tersebut. Oleh karena itu, tokoh Mustafa Kemal Atatürk akan dikaitkan eksistensinya melalui objek kajian semiotik yang ditinjau dari bentuk ikon, indeks, dan simbol.
Pertama adalah ikon. Ikon ini dimaknai sebagai tanda yang menyerupai bentuk aslinya. Ikon bisa diartikan sebagai hubungan antara tanda dan objek yang miliki persamaan (adanya kesamaan). Maksudnya, bisa kita identifikasi bahwa ikon dapat memberikan pesan dari bentuk aslinya. Contoh yang menjadi ikon di sini adalah Mustafa Kemal Atatürk. Lalu, tanda-tanda itu bisa kita representasikan menjadi beberapa penjelasan. Misalnya, Mustafa Kemal menjadi salah satu tokoh bersejarah di negara Turki dan menjadi Presiden Turki yang pertama. Lalu, nama belakangnya “Atatürk” diartikan sebagai “Bapak Bangsa Turki”. Selain itu, yang paling populer adalah Mustafa Kemal dikenal sebagai pembaharu kebijakan sekularisme dalam masa pemerintahannya di Republik Turki. Tanda-tanda itulah yang bisa kita kenali dari tokoh Mustafa Kemal Atatürk dengan beberapa pesan yang disampaikan dalam tanda tersebut.
Baca juga : Tidur Lebih Awal, Tidur Lebih Akhir atau Terdampar?
Kedua adalah indeks. Indeks berkaitan dengan hal yang bersifat kausal atau yang menimbulkan sebab-akibat. Dalam hal ini, tanda memiliki hubungan dengan objeknya secara sebab dan akibat. Tanda (sebab) tersebut berarti menampilkan akibat dari suatu pesan, contohnya kebijakan kemalisme yang diidentifikasi sebagai indeks. Kemalisme sendiri dikenal dengan sebutan “Atatürkisme” yang berarti enam anak panah. Atatürkisme adalah ideologi pendirian Republik Turki, yang didefinisikan dengan reformasi pembersihan politik, sosial, budaya, dan agama yang dirancang untuk memisahkan negara Turki baru dengan pendahulu Utsmaniyah serta menerapkan cara hidup yang di westernisasikan. Kebijakan kemalisme yang dibuat oleh Mustafa Kemal Atatürk ini menimbulkan dampak (akibat) bagi rakyat Turki, khususnya bagi pemeluk agama muslim. Bagaimana tidak, Turki yang kental dengan khilafah Islamiah dengan mudahnya teralihkan oleh ideologi sekularisme dan menerapkan gaya hidup modernisasi barat. Contoh kebijakan sekular yang melenceng dari syariat Islam seperti, 1) memperbolehkan meminum alkohol secara terang-terangan; 2) mengarahkan Al-Qur’an dicetak dalam bahasa Turki; 3) mengubah masjid menjadi museum; 4) menutup masjid serta melarang untuk salat berjamaah; 5) menyuruh wanita dan pria menari di depan umum, dan lain-lain. Oleh karena itu, contoh kebijakan seperti di atas secara langsung telah membunuh syariat Islam dan meruntuhkan khilafah Islamiah.
Ketiga adalah simbol. Simbol berkaitan dengan penanda dan petandanya. Maksudnya, sesuatu itu disimbolkan melalui tanda yang disepakati oleh para petandanya sebagai acuan umum. Bisa dikatakan bahwa sekularisme ini di luar dari ajaran agama Islam. Bahkan, Mustafa Kemal Atatürk pernah menyampaikan bahwa “Saya tidak punya agama dan kadang-kadang saya berharap semua agama di dasar laut. Dia (Utsmaniyah) adalah penguasa yang lemah yang membutuhkan agama untuk menegakkan pemerintahannya; seolah-olah dia akan menangkap orang-orangnya dalam perangkap. Rakyat saya akan belajar prinsip-prinsip demokrasi, perintah kebenaran dan ajaran sains. Takhayul harus pergi. Biarkan mereka menyembah sesuka mereka; setiap orang dapat mengikuti hati nuraninya sendiri, asalkan itu tidak mengganggu alasan yang waras atau menawarnya terhadap kebebasan sesamanya” yang tertulis dalam buku Andrew Mango berjudul Atatürk: The Biography of the Founder of Modern Turkey (1999). Pendapat tersebut mau tidak mau harus disepakati oleh rakyat Turki pada masa itu karena dialah yang menjadi presiden sekaligus yang memiliki kuasa terhadap masa pemerintahannya.
Baca juga: Mengapa Indonesia Disebut sebagai Ibu Pertiwi?
Penulis : Astri Apriliani Putri