Analisis Wacana Kritis Pernyataan Prabowo terkait Demo di X. LITERAT

Analisis Wacana Kritis dari Pernyataan Prabowo terkait Demo di X

Belakangan ini, Indonesia diguncang gelombang demonstrasi yang berujung pada luka mendalam. Nyawa Affan Kurniawan melayang di tangan aparat. Menyikapi situasi ini, Prabowo Subianto, Presiden Indonesia, menyampaikan pernyataan resmi dalam bentuk cuitan di media sosial X pada tanggal 29 Agustus 2025. Dalam pernyataannya, Prabowo menyampaikan duka cita dan janji untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Namun, di balik ungkapan simpati tersebut, tersimpan suatu pesan. Pesan yang berkaitan dengan bagaimana pemerintah mengelola narasi di tengah situasi sosial-politik yang sedang memanas.

Baca juga: Ojol Korban Brutalisme Aparat: Hukum Melindungi Siapa?
Posisi Kekuasaan dan Ideologi dalam Cuitan

Menilik pernyataannya, Prabowo menggunakan bahasa yang menekankan kepedulian pemerintah terhadap masyarakat. Pada saat yang sama, ia juga memosisikan diri sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Ia menyampaikan:

Atas nama pribadi dan Pemerintah Republik Indonesia, saya mengucapkan turut berduka cita dan menyampaikan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya. Saya sangat prihatin dan sangat sedih terjadi peristiwa ini.

Melalui bahasa yang dipilihnya, pemerintah dalam cuitan Prabowo tersebut memosisikan diri sebagai pihak yang berduka. Selain itu, pemerintah juga berusaha menunjukkan perhatian serius terhadap dampak sosial dari insiden tersebut. Hal ini tampak dari ungkapan seperti “turut berduka cita” dan “perhatian khusus”. Kemudian, ia pun menambahkan jaminan.

Pemerintah akan menjamin kehidupan keluarganya, serta memberikan perhatian khusus kepada orang tuanya, adik-adiknya, dan kakak-kakaknya.

Strategi penggunaan bahasa ini berfungsi sebagai upaya membangun legitimasi sekaligus mengendalikan narasi sosial yang berkembang. Namun, secara ideologis, cuitan ini juga mengandung kontrol sosial-politik. Melalui cuitan tersebut, pemerintah berusaha mempertahankan dominasinya melalui bahasa yang membatasi kritik. Publik pun diarahkan untuk melihat pemerintah sebagai pihak yang benar. Hal ini selaras dengan teori Fairclough dalam bukunya, Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language (1995) yang menyatakan bahwa wacana merupakan praktik sosial yang menjaga tatanan kekuasaan melalui bahasa.

Representasi Sosial dan Konstruksi Oposisi

Dalam bagian lain dari pernyataannya, Prabowo menegaskan sikap tegas terhadap kelompok yang dianggap sebagai pengacau keamanan.

Saya juga menghimbau kepada seluruh bangsa Indonesia untuk selalu waspada. Ada unsur-unsur yang selalu ingin huru-hara, yang ingin chaos.

Pernyataan ini secara jelas merepresentasikan kelompok pendemo dan kelompok penentang pemerintah sebagai ancaman. Ini dapat dilihat melalui kata-kata seperti “unsur-unsur yang selalu ingin huru-hara” dan “chaos”. Dengan demikian, terbentuklah oposisi sosial yang tegas. Di antaranya, ada “kami” yang mewakili pemerintah dan bangsa yang stabil, versus “mereka” yang dianggap sebagai pengacau. Representasi ini mempersempit ruang legitimasi kritik dan menegaskan posisi dominan pemerintah dalam wacana. Fenomena ini menunjukkan bagaimana bahasa berperan dalam menciptakan pembagian sosial yang memengaruhi persepsi publik. Hal ini sesuai dengan temuan Nasution, N. dkk. (2025) dalam penelitian berjudul “Analisis Wacana Kritis terhadap Tagline ‘Indonesia Gelap’
dalam Berita Detik.com
” bahwa wacana dapat merepresentasikan kelompok sosial secara berbeda untuk tujuan ideologis.

Baca juga: Vandalisme Tidak Lahir dari Ruang Hampa, Tembok Menjadi Saksi Kecacatan Demokrasi
Strategi Bahasa dan Fungsi Retorik

Janji penyelidikan yang tuntas dan tindakan tegas menjadi strategi retorik untuk menjaga citra pemerintah tanpa mengakui kesalahan secara eksplisit. 

Saya telah memerintahkan agar insiden tadi malam diusut secara tuntas dan transparan, serta petugas-petugas yang terlibat harus bertanggung jawab. Seandainya ditemukan bahwa mereka berbuat di luar kepatutan dan ketentuan yang berlaku, kita akan ambil tindakan sekeras-kerasnya sesuai hukum yang berlaku.

Pada analisis linguistik yang telah dilakukan Wodak & Meyer, dalam buku Methods of Critical Discourse Analysis (2009) ditunjukkan bahwa strategi ini berfungsi untuk mengarahkan opini publik dan mempertahankan kontrol sosial, sekaligus membatasi kritik yang dianggap merusak tatanan.

Implikasi Politik dan Sosial

Pernyataan Prabowo memang terdengar hangat dan penuh empati, tetapi jangan sampai itu hanya menjadi tepuk tangan kosong di tengah gejolak masyarakat. Bahasa yang digunakan pemerintah seolah-olah menunjukkan kepedulian, tetapi sesungguhnya adalah alat pintar untuk mempertahankan kekuasaan dan menutup rapat ruang kritik. Dalam situasi yang krusial ini, bahasa resmi seperti ini lebih mirip “tong kosong” yang “nyaring bunyinya”. Suaranya keras, tetapi tetap hampa karena tidak diikuti tindakan nyata. Masyarakat harus cerdas membaca strategi ini. Jika tidak, kita akan terus-menerus dimanipulasi oleh retorika yang hanya mengamankan posisi penguasa tanpa benar-benar menyelesaikan masalah di lapangan.

Penulis: Azila Fitria Ramadhani
Editor: Muhammad Hilmy Harizaputra

Baca juga: Sulit Bicara, Padahal Banyak yang Ingin disampaikan? Mungkin Masalahnya Ada pada Inner Child Kita