Sejarah perkembangan aksara: dari hieroglif Mesir, Fenisia, Yunani, hingga Romawi yang melahirkan alfabet Latin modern.

Dari Mesopotamia sampai Roma, Alfabet Menjelma Pengembara

Di seberang Mesopotamia, beberapa waktu setelah aksara Paku diciptakan oleh bangsa Sumeria, tibalah giliran bangsa Mesir melanjutkan perkembangan sistem penulisan. Itu terjadi sekitar tahun 2.700 sebelum masehi, ketika tebing dan gurun mulai membebaskan diri dari sepi. Bangsa Mesir memanfaatkan simbol-simbol, mulai dari bentuk hewan, ruang, hingga peralatan untuk mewakili maksud dan tujuan. Hasilnya kemudian dikenal dengan hieroglif: terdiri dari kombinasi ideogram dan fonogram.

Jejak Awal Perkembangan

Memasuki tahun 1.700 sebelum masehi, hieroglif menyebar dan berkembang terutama di wilayah Levant. Periode ini ditandai dengan diciptakannya proto-sinaitik oleh bangsa Semit. Secara konsep, proto-sinaitik tak jauh berbeda dengan hieroglif yang terdiri dari ragam gambar; masih rumit, dan hanya dapat dipahami kalangan elit.

Seiring berjalannya zaman, proto-sinaitik pun mengalami banyak perubahan. Ini menjadi titik balik yang cukup krusial, sebab setelahnya lahirlah aksara Fenisia. Tidak sesulit menafsirkan gambar seperti dalam hieroglif, dan hanya terdiri dari dua lusin huruf yang berbeda, aksara Fenisia dianggap jauh lebih sederhana sehingga dapat dipahami dan digunakan para pedagang biasa. Kelebihan lainnya, karena aksara ini mencatat kata-kata secara fonemik dan dapat menuliskan bahasa-bahasa yang berbeda. 

Letak geografis Mediterania memiliki peran penting dalam penyebaran aksara Fenisia: tempat ini pada masanya memang menjelma pusat perdagangan dunia. Dalam prosesnya, pedagang dari berbagai belahan dunia datang ke sana dan mendapati adanya sebuah sistem aksara yang sederhana. Mereka kemudian mempelajari dan menyebarkan kembali di daerah asalnya. Proses itu membuat aksara Fenisia secara organik menjadi cikal-bakal lahirnya sistem-sistem penulisan lain, di antaranya: aksara Ibrani, Arab, dan Brahmi.

Baca juga: Bahasa pun Merdeka: Menilik Ejaan dalam Teks Proklamasi

Dari Yunani ke Romawi

Tidak hanya di wilayah Timur, sistem penulisan Fenisia merambat juga di Barat. Bangsa Yunani mengadopsi aksara ini dan melakukan beberapa revisi terhadapnya. Mereka menambahkan beberapa huruf, dan konsonan yang tidak memiliki bunyi dalam bahasa mereka ditetapkan sebagai representasi vokal. 

Keunikan penulisan Yunani terdapat pada sistem boustrophedon-nya. Gaya ini diilhami pola kerbau membajak tanah, dari kiri ke kanan, lalu kanan ke kiri, dan begitu seterusnya. Tapi beberapa waktu kemudian, tepatnya pada abad ke-5 SM, sistem boustrophedon ditinggalkan sehingga pola penulisan menjadi stabil dari kiri ke kanan. 

Alfabet Yunani lalu dibawa ke tanah Italia oleh para penjajah dari Euboea. Mereka banyak menulis bahasa-bahasa Italik menggunakan alfabetnya. Melalui dominasi ini, alfabet Yunani akhirnya diserap dan diadaptasi menjadi alfabet Romawi — tercermin dalam prasasti Marsiliana milik bangsa Etruria yang ditemukan di wilayah Napoli, sekitar abad ke-8 sebelum masehi. 

Bangsa Romawi merevisi huruf C, G, L, S, P, R, D, V. Mereka juga menggunakan kembali huruf F dan Q yang sebelumnya telah ditinggalkan bangsa Yunani. Sementara itu, huruf A, B, E, Z, H, I, K, M, N, O, T, X, Y, merupakan tiga belas huruf Yunani yang tidak diubah sama sekali. 

Pada masanya, alfabet ini ditetapkan sebagai aksara resmi kekaisaran Romawi. Ia menyebar ke seluruh Eropa, seiring perluasan kekaisaran dan penyebaran Gereja Katolik Roma. Meski pada akhirnya kekaisaran itu runtuh, alfabet Romawi tetap bertahan, melampaui zaman, dan berkembang di banyak peradaban. Dengan penambahan huruf J, U, dan W sempurnalah alfabet ini menjadi aksara latin modern yang kita kenal sekarang. 

Penulis: Alwan Abdulhadi
Editor: Allysa Maulia Rahman

Baca juga: Jika Membaca Bukan Prioritas: Realitas Minat Baca di Desa Pangauban