Pernahkah kita merasa tiba-tiba kelu saat ingin mengungkapkan sesuatu? Kita bingung memilih kata, bahkan kehilangan arah ketika berbicara. Padahal, isi kepala sudah penuh oleh banyak hal yang menuntut untuk dikeluarkan. Hingga akhirnya, kita memilih diam atau berkutat pada pola tuturan yang tidak jelas. Lantas, sebagian dari kita menganggap hal ini terbentuk dengan sendirinya, menjadi karakter yang timbul apa adanya atau kemampuan komunikasi yang kurang terasah. Padahal, akar perkaranya lebih dalam daripada itu. Barangkali hal ini dipengaruhi pola asuh orang tua di masa lalu. Ada bagian dari inner child kita yang tak pernah disediakan ruang bersuara, atau justru dibesarkan dalam lingkungan yang tidak terbiasa mengungkapkan emosi.
Pengaruh Pola Asuh Orang Tua pada Masa Golden Age Anak
Orang tua merupakan model sekaligus pendidik pertama bagi anaknya, sehingga tiap-tiap perilaku mereka akan otomatis terekam dalam memori anak. Hal ini disebabkan karena mereka menjadi pihak yang paling sering berinteraksi, maka sang anak akan menyalin tindakan mereka termasuk dalam hal cara berkomunikasi. Hal ini dapat berlangsung pada anak usia dini terutama ketika berada pada masa Golden Age (0-6 tahun). Pada usia ini anak mengalami pembentukan karakter yang akan berdampak terhadap perkembangan mereka di periode selanjutnya. Sayangnya dalam kondisi tersebut, banyak orang tua yang tanpa sadar menerapkan pola asuh keliru yang menghambat tumbuh kembang anak.
Baca Juga: Ngobrol Ala Ekstrovert vs Introvert: Mana yang Lebih Kamu Banget? – Literat
Inner child merupakan sisi kepribadian seseorang yang terbentuk dari pengalaman masa kecil atau pola asuh orang tua. Baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyakitkan, keduanya dapat berpengaruh terhadap tumbuh kembang kita. Ketika menginjak dewasa, tanpa disadari, inner child menjelma dalam bentuk tingkah laku, cara berpikir, dan kondisi emosional kita. Itulah sebabnya, sebagian dari kita tumbuh dengan mentalitas yang selalu takut untuk berbicara, merasa terancam jika mengungkapkan emosi, dan sulit untuk terbuka pada orang lain.
Apa Saja Faktor Penyebab Hal ini Bisa Terjadi?
Berdasarkan teori perkembangan kognitif Jean Piaget, setiap anak memiliki tahapan perkembangan berpikir yang dimulai dari tahap sensorimotor, praoperasional, hingga operasional konkret. Dalam konteks kemampuan berbahasa, tiap tahapan ini menyediakan ruang bagi anak untuk belajar simbol, menambah perbendaharaan kosakata, dan berlatih menyusun kalimat. Namun, apa yang terjadi jika masa kanak-kanak kita tidak diberikan stimulus yang ideal?
Baca Juga: Puisi “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” – Literat
Anak yang jarang disediakan ruang berbicara atau mendengarkan cerita pada tahap praoperasional yakni 2-7 tahun, sebenarnya sedang melewatkan masa emas untuk menyerap bahasa. Waktu yang seharusnya dipakai untuk mempelajari simbol bahasa dari lingkungannya akan menjadi tidak optimal. Akibatnya, proses internalisasi bahasa tidak berlangsung secara maksimal. Anak mungkin bisa saja berbicara, tetapi akan miskin kosakata.
Bila kita tumbuh di rumah yang penuh dengan larangan, kritik, atau tidak diberi ruang kesempatan untuk bertanya, maka dengan sendirinya inner child kita mengenal suatu ancaman jika kita berbicara. Sehingga muncullah kepercayaan yang kita yakini sebagai aturan tak tertulis bahwa, ‘lebih aman diam daripada menyampaikan pikiran’. Perlahan, pola-pola tersebut menekan rasa percaya diri kita dan menimbulkan keraguan setiap kali berbicara dengan orang lain. Akibatnya, perkembangan kemampuan berbahasa pun ikut terhambat hingga dewasa
Penulis: Helma Mardiana
Editor: Rifa Nabila