Bahaya Institusionalisasi Perbudakan Modern: Kerja Sama UPI dengan KP2MI

Baru-baru ini, pada Juli 2025, Prof. Didi Sukyadi melakukan pertemuan bersama Kementerian Perlindungan Pekerja Migran. Hal tersebut dilakukan untuk membangun kesepakatan kerja sama dalam pengembangan layanan terpadu bagi Pekerja Migran Indonesia atau Migrant Centre. Layanan ini telah diresmikan pada tanggal 28 Agustus di Gedung Ahmad Sanusi. Kerja sama ini, dikemas dengan jargon “perlindungan” dan “peningkatan kompetensi”, hal ini kemudian menyimpan persoalan serius. Di balik retorika perlindungan buruh migran, terdapat skema sistematis yang menjadikan kampus sebagai pintu masuk mobilisasi tenaga kerja murah bagi kepentingan negara-negara imperialis.

Eksploitasi Buruh Migran Indonesia

Buruh migran Indonesia telah lama menjadi tulang punggung devisa negara. Menteri P2MI Abdul Karding mengungkapkan bahwasanya buruh migran telah menyumbangkan devisa senilai Rp 253,3 triliun dari remitansi, dan ditargetkan tembus Rp 433,6 triliun pada tahun ini.

Namun di balik angka remitansi yang sering dibanggakan pemerintah, buruh migran justru hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Mereka kerap menghadapi retribusi berlebihan, upah murah, kerja tanpa perlindungan hukum, hingga kekerasan fisik dan psikologis. Akar persoalan ini bukan sekadar lemahnya perlindungan, tetapi lebih dalam: ketergantungan Indonesia pada kapital internasional.

Hal ini disebabkan oleh tidak adanya industri nasional yang mampu menyediakan lapangan pekerjaan. Alih-alih menghantarkan rakyat ke luar negeri, yang seharusnya dilakukan adalah memberdayakan bonus demografi yang ada. Namun lagi-lagi negara justru menggencarkan swastanisasi pendidikan dengan menjadikan mahasiswa sebagai komoditas yang siap dijual ke pasar global.

Krisis Agraria dan Akar Migrasi Paksa

Di Indonesia, krisis sosial-ekonomi dan masifnya perampasan lahan telah mendorong rakyat mencari penghidupan di luar negeri. Rendahnya upah, tingginya biaya hidup, serta ketidakpastian kerja semakin memperparah keadaan tersebut.

Menurut KPA sejak 2015 terjadi ledakan konflik agraria di tanah seluas 7,4 juta ha dengan korban terdampak sebanyak 1,9 juta keluarga. Mayoritas perampasan lahan ini disebabkan oleh PSN, perkebunan besar seperti sawit dan pertambangan.

Bandung sendiri tidak lepas dari konflik perampasan lahan seperti misalnya yang terjadi di Sukahaji, Dago Elos, Taman Sari, dan beberapa lainnya. Kondisi ini menjadikan migrasi sebagai bentuk migrasi paksa, bukan pilihan bebas. Rakyat terpaksa mencari nafkah di negeri orang akibat dominasi imperialisme dan feodalisme yang masih bercokol keras hingga kini.

Baca Juga: Ketika Buku Kembali Disita: Ada Trauma yang Belum Usai – Literat

Hingga kini, lebih dari 7 juta warga Indonesia bekerja sebagai buruh migran di berbagai negara. Penempatan terbanyak terdapat di Hong Kong, Taiwan, Malaysia, dan Singapura. Namun, di balik itu mereka masih menghadapi pembebanan biaya yang berlebihan, ancaman perdagangan orang, dan minimnya perlindungan baik dari negara asal dan negara penempatan. Tidak sampai di situ, dampak yang tidak kalah kronis juga menimpa keluarga para buruh migran. Anak-anak mereka kehilangan sosok orang tua dan banyak yang putus sekolah karena ikut merantau ke daerah pedalaman dengan akses transportasi dan ekonomi yang tidak memadai. Selain itu, mereka juga harus menghadapi stigma sosial, seperti di Malaysia, di mana masyarakat sering melabeli orang-orang migran sebagai pendatang haram. Kondisi ini menunjukkan bahwa kehadiran buruh migran justru mempertajam kesenjangan kelas yang ada di masyarakat.

Pemuda dan Pendidikan dalam Skema Migrasi

Migrasi tenaga kerja saat ini tidak lagi berlangsung secara individual melalui agen swasta semata. Proses tersebut kini dilembagakan oleh negara untuk memenuhi tuntutan pasar imperialis terhadap tenaga kerja murah.

Jika dulu migrasi banyak menyasar pekerja rumah tangga, kini polanya bergeser ke pemuda yang memiliki keterampilan, sehingga biaya pelatihan dapat ditekan serendah mungkin. Terlebih lagi, imperialisme mendorong negara untuk sejak awal mempersiapkan pelajar dan mahasiswa agar siap diekspor menjadi tenaga migran.

Di perguruan tinggi, hal ini diwujudkan melalui program MBKM, sementara di sekolah menengah melalui program seperti “SMK Pusat Keunggulan.” Semua dibungkus dengan istilah “pemagangan” dan “pelatihan kerja” demi menghubungkan pendidikan dengan pasar global. Namun, status para pemuda ini tidak diakui sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI). Akibatnya, mereka tidak mendapatkan perlindungan hukum resmi, meskipun risiko yang dihadapi setara, bahkan bisa lebih besar.

Baca Juga: Makan Bergizi Gratis: Katanya Bergizi, Faktanya Kok Beracun? – Literat

Dalam situasi inilah, keberadaan Migrant Center di UPI harus dilihat secara kritis. Alih-alih sekadar ruang akademik yang melayani kebutuhan informasi atau perlindungan, pusat ini justru berpotensi menjadi bagian dari mekanisme transmisi dan pengiriman tenaga migran. Artinya, kampus tidak hanya diarahkan untuk menyalurkan mahasiswa menjadi buruh migran murah. Lebih dari itu, kampus justru mendorong mahasiswa masuk ke dalam pusaran politik migrasi paksa yang menguntungkan pihak asing, bertolak belakang dengan urgensi pembangunan industri nasional Indonesia.

Kasus program Ferienjob di Jerman menjadi bukti nyata. Sebanyak 1047 mahasiswa dari 33 kampus di Indonesia, termasuk kampus negeri, diterima melalui skema magang luar negeri yang dijual dengan janji gaji tinggi dan konversi SKS. Kenyataannya, mereka diperas dengan biaya keberangkatan hingga puluhan juta dan ditelantarkan di tempat penampungan yang tidak layak. Banyak dari mereka dipaksa bekerja berpindah-pindah tanpa kontrak yang jelas, bahkan sebagian tidak digaji sama sekali. Negara dan kampus cuci tangan, sementara korban dipaksa bungkam dan terjebak dalam timbunan hutang-piutang biaya keberangkatan

Perbudakan Modern dan Jalan Keluarnya

Melalui pendirian Migrant Center di UPI, skema serupa berpotensi dilembagakan secara resmi. Kampus tidak lagi sekadar menjadi ruang pendidikan, tetapi berubah menjadi perpanjangan tangan kapitalis birokrat yang melicinkan jalur pengiriman tenaga kerja murah ke luar negeri. Alih-alih memberi perlindungan, kerja sama ini justru mendorong kampus terlibat langsung dalam legalisasi perdagangan manusia atas nama “layanan terpadu” dan “peluang global”.

Inilah wajah baru dari perbudakan modern, di mana institusi pendidikan yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa dipaksa tunduk pada kepentingan pasar yang membutuhkan tenaga upah murah. Akibatnya, perguruan tinggi kehilangan peran sejatinya sebagai ruang pembentukan intelektual yang merdeka. Semua ini semakin diperparah oleh biaya kuliah yang terus melambung dan minimnya subsidi negara. Privatisasi pendidikan membuat kampus mencari jalan pintas pendanaan melalui kerja sama dengan korporasi dan lembaga asing.

Baca Juga: Lebih dari Sekadar Game: Roblox Sebagai Ruang Sosial Baru

Maka teranglah bahwa kerja sama Migrant Center di UPI hanyalah pintu masuk bagi praktik eksploitasi energi murah berkedok perlindungan. Jalan keluar yang sejati adalah menjamin perlindungan pekerja migran secara menyeluruh. Negara harus menghentikan komersialisasi dan swastanisasi pendidikan yang menjerumuskan mahasiswa ke dalam lingkaran eksploitasi tenaga murah. Solusi mendasar terletak pada pembangunan industri nasional yang mandiri dan berdaulat berbasis reforma agraria sejati agar rakyat tidak lagi menjadi budak di tanahnya sendiri.

Hari ini siapa pun dari kita bisa terdampak dari adanya perbudakan modern. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk tidak berjuang dan menyuarakan kebenaran. Sebagai mahasiswa yang mempunyai privilese intelektual yang mumpuni mestilah turut serta dalam memperjuangkan haknya di tengah-tengah massa. Hal ini bisa dimulai dengan membangkitkan kesadaran, mengorganisir, dan menggerakkan massa. Tujuannya adalah untuk memobilisasi perjuangan konkret yang demokratis dan nasional, menolak segala bentuk perbudakan modern berkedok kerja sama lewat pembangunan Migrant Center.

Penulis: Ainul Mardiah
Editor: Rifa Nabila