Sekilas judul yang kawan-kawan baca itu sedikit berlebihan, atau bahkan ada yang menilai hal tersebut sedikit menyeramkan. “Apa hubungannya antara berorganisasi dan membunuh?” Mungkin itu pertanyaan yang terbesit pertama kali ketika membaca judul tersebut. Namun perlu digaris bawahi, bahwa arti membunuh di dalam judul tersebut tidak seperti apa yang dibayangkan.
Ketika kawan-kawan mendengar kata membunuh itu erat hubungannya dengan darah dan alat tajam atau seperti di film The Silence of The Lambs karya Jonathan Demme. Hal tersebut tidak akan kalian temui di dalam tulisan ini karena arti membunuh di sini berbeda. Mari kita bahas lebih dalam mengenai arti serta korelasi antara berorganisasi dan membunuh di dalam tulisan ini.
Sebelum membahas perihal organisasi, saya akan sedikit bercerita mengenai diri saya dan organisasi. Dahulu sebelum saya berkuliah, mendengar kata organisasi itu seperti mendengar nama mantan (menjijikan), karena saya melihat bahwa organisasi itu adalah tempat untuk menyibukkan diri, contohnya seperti menghadiri agenda rapat-rapat yang padat, merancang program kerja yang entah tujuannya untuk apa, bahkan membicarakan orang lain yang kadang tidak ada hubungannya dengan organisasi (khusus di beberapa organisasi). Hal-hal tersebut lah yang menjadikan saya kurang terlalu suka berorganisasi. Namun, setelah saya diterima di Perguruan Tinggi, lalu mencoba mengikuti organisasi yang ada, barulah saya menyadari suatu hal tentang organisasi. Bahwa dahulu saya kurang begitu mengenal organisasi.
Kata berorganisasi pasti sering kawan-kawan jumpai di kehidupan sehari-hari, apalagi jika kalian di sini berstatus sebagai mahasiswa, pasti mengenal yang namanya organisasi. Namun, apa kalian tahu perbedaan berorganisasi dan organisasi? Berorganisasi berasal dari kata ‘ber’ dan ‘organisasi’ yang merujuk tindakan satu atau sekelompok orang yang berpartisipasi aktif dalam organisasi. Sementara itu organisasi, adalah sekelompok individu yang berada dalam satu wahana dan terikat secara program, tujuan, dan kepentingan yang sama. Oleh karena itu, dalam praktiknya, organisasi harus memberikan dampak positif, baik secara luas dalam masyarakat, maupun anggotanya sendiri.
Organisasi cenderung dipandang sebagai pengisi waktu luang atau sebuah wadah yang mungkin orang-orang mendapatkan sesuatu dari padanya. Pengalaman, softskill, atau hal-hal klise lainnya. Tidak salah dan memang benar, banyak dari kita yang aktif bahkan lulus dalam kegiatan keorganisasian memiliki tingkat kepercayaan diri dan kemahiran-kemahiran tubuh dan mental yang mungkin lebih baik dari mereka yang tidak. Karena memang sudah tabiatnya sebuah organisasi menampung dan mengembangkan potensi lain yang mungkin tidak dikembangkan di perkuliahan.
Kenyataannya masih banyak orang-orang termasuk mahasiswa yang masih enggan untuk berorganisasi. Melihat fenomena tersebut sebenarnya saya mewajarkan karena ketika berorganisasi akan cukup sulit bagi kita untuk menghasilkan keuntungan secara materil, apalagi organisasi mahasiswa. Contohnya seperti uang, perhiasan, nilai akademik yang tinggi, atau bahkan seorang pacar (sepertinya poin keempat tidak termasuk).
Baca juga: Jakarta vs Everybody: Secuil Kisah Kerasnya Bertahan Hidup di Ibu Kota
Dalam hal ini setiap organisasi memerlukan suatu tawaran yang memastikan bagi setiap orang yang berpraktik di dalamnya. Bukan hanya memberikan pengalaman atau relasi, lebih dari itu organisasi perlu memberikan tawaran yang konkret atas apa yang menjadi permasalahan saat di organisasi. Lantas apa yang dimaksud dalam tawaran konkret tersebut?
1. Pola Pikir
Salah satu tawaran konkret yang seharusnya diberikan oleh organisasi terhadap orang-orang yang berada di dalamnya adalah dengan mengubah mindset atau pola pikir. Salah satu pola pikir yang perlu diubah di dalam paradigma masyarakat adalah tentang orientasi kerja.
Praktik kapitalisme serta imprealisme yang sekarang menjadi poros sistem dunia yang menjadi salah satu dampak dari perubahan pola pikir yang ada di masyarakat. Seorang pekerja menggunakan sebagian waktu kerjanya untuk menutup biaya hidupnya dan keluarganya (mendapat upah), sebagian lain waktu kerjanya digunakan tanpa mendapat upah, semata-mata hanya mendatangkan nilai lebih untuk para pemilik modal. Nilai lebih merupakan sumber keuntungan, sumber kemakmuran bagi kelas pemilik modal. Akibatnya ada eksploitasi besar-besaran kaum borjuis (pemilik alat produksi) atas kaum proletar (kelas buruh).
Seharusnya organisasi bisa mengorientasi kembali hakikat manusia itu seperti apa, jika menilik dalam Q.S An-Naml ayat 62 Allah SWT berfirman, yang artinya “Dan (Dialah) yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi.” Atas dasar tersebut maka sudah jelas bahwa hakikat manusia itu menjadi seorang pemimpin, baik untuk diri sendiri maupun khalayak umum.
Peran organisasi untuk bisa melahirkan pemimpin-pemimpin yang kelak akan menciptakan perubahan sosial. Asupan pemahaman serta praktik memimpin ataupun dipimpin perlu selalu disesuaikan dengan kondisi yang terjadi bagi setiap organisasi. Hal tersebut akan sangat berpengaruh bagi pembentukan mental seorang pemimpin ketika menghadapi perubahan.
Organisasi perlu menanamkan mental-mental pemimpin bagi setiap anggota serta membunuh pola pikir bahwa mereka tidak sanggup untuk menjadi pemimpin. Setiap manusia dikaruniai sebuah kemampuan untuk memimpin, minimal memimpin dirinya sendiri. Tidak sedikit orang-orang yang sudah berorganisasi belum terbentuk sifat kepemimpinannnya, entah karena kurangnya pertisipatif anggota atau memang pemberian pemahaman yang kurang maksimal dari organisasi. Hal tersebut menjadi PR tersendiri bagi setiap organisasi yang ingin melahirkan seorang pemimpin.
2. Individualisme
Perkembangan teknologi yang sangat pesat membuat kita semakin mudah dalam melaksanakan aktivitas. Contohnya dalam berkomunikasi, kita bisa dengan mudah memberikan informasi atau pesan hanya melalui alat yang sering kita sebut sebagai Hape (dalam bahasa sunda).
Hape atau Handphone merupakan produk yang lahir dari perkembangan teknologi, memang banyak sekali membawa kemudahan bagi setiap manusia, tetapi bukan hanya dampak positif yang dirasakan, tetapi dampak negatif pun ikut terlibat di dalam perkembangan teknologi ini.
Pada saat ini tanpa kita sadari sikap individualisme ini telah berkembang pesat di kehidupan masyarakat bahkan banyak orang yang mengabaikan lingkungan di sekitarnya. Individualisme ini pada dasarnya diasumsikan bahwa individu manusia bersifat mandiri dan mementingkan dirinya sendiri.
Berkembangnya individualisme pada saat ini banyak sekali masyarakat yang mulai bersikap dan berperilaku individualisme mereka berpikir bahwa diri sendiri atau kepentingannya jauh lebih penting dibandingkan dengan orang lain, mengapa hal ini bisa terjadi? Tentu saja banyak sekali pengaruh yang menjadikan masyarakat bersikap individualis terutama adanya pengaruh globalisasi dan teknologi yang akhirnya masyarakat kehilangan rasa solidaritas terhadap sesama, kemudian egoisme yang tak terbatas, dan juga kesulitan dalam bersosialisasi dengan yang lain.
Melihat hal tersebut organisasi bisa berperan sebagai Batman di film The Dark Knight karya Christopher Nolan, Batman di film tersebut menjadi superhero dan menumpas kejahatan-kejahatan yang ada di Gotham City. Organisasi menjadi salah satu karakter yang bisa membunuh sifat-sifat individualisme. Dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang bisa menciptakan momen kebersamaan, bahkan di beberapa organisasi menerapkan asas kekeluargaan demi bisa membunuh sifat individualisme.
3. Senioritas
Anggapan senioritas di dalam paradigma masyarakat Indonesia diibaratkan seperti pedang bermata dua yang artinya mempunyai dua sisi yang berdampak positif dan negatif. Pada dasarnya, senioritas diartikan sebagai keadaan yang lebih tinggi dalam hal pangkat, usia, dan pengalaman seseorang. Namun, sikap senioritas kadang kala menjadi pengganggu atau menghadirkan ketidaknyamanan, bahkan marabahaya bagi mereka yang dianggap sebagai junior. Tetapi di sisi lain bisa menjadi salah satu opsi untuk membentuk karakter seseorang agar lebih senantiasa menghormati kepada orang yang lebih tua.
Sering kita jumpai bahwa pengaplikasian budaya senioritas itu malah memperkeruh keadaan. Bukannya senantiasa menghormati kepada yang lebih tua, tetapi dijadikan sebagai ajang pembalasan karena merasa tidak terima atas perlakuan yang terjadi. Acap kali budaya tersebut menjadi suatu kebutuhan, bahkan dijadikan alat mendapat pengakuan oleh segelintir oknum senior mahasiswa.
Terlepas dari itu, di sini akan lebih menyoroti tentang tata krama. Dalam teori masyarakat dijelaskan bahwa yang muda harus menghormati yang tua, sedangkan yang tua harus menghargai yang muda. Semua itu harus saling bersinergi. Namun, realitanya adalah yang tua dapat semena-mena dengan yang muda, sedangkan yang muda akan ditindas. Apabila mereka memberontak, yang tua akan lebih bertindak keras.
Hal tersebut sangat tidak elok terjadi di kalangan mahasiswa yang di sering disebut-sebut sebagai agent of change (menurut sebagian mahasiswa). Diksi tersebut seolah menandakan adanya superioritas di antara golongan kelas yang ada di Indonesia. Pertentangan kelas tersebut diawali dengan adanya konsep senioritas di ranah kampus, yang membuat beberapa mahasiswa merasa superior terhadap apa yang diperbuatnya.
Bahkan praktik-praktik senioritas yang dilakukan oleh abang-abangan mahasiswa sering kali terjadi di dalam organisasi. Proses kaderisasi yang dilakukan di dalam organisasi dijadikan momentum untuk memuaskan hasratnya dalam menindas dan memperdaya mahasiswa baru. Menilik hal tersebut, berarti praktik di dalam organisasinya pun masih kacau jika masih menerapkan konsep senioritas yang menindas mahasiswa lain.
Dewasa ini seharusnya organisasi bisa membunuh budaya senioritas yang masih sering dijumpai di kalangan mahasiswa. Prinsip demokratis yang mengedepankan cara berpikir, bersikap, dan bertindak dalam menilai hak yang sama antara dirinya dengan orang lain perlu diterapkan. Kita juga perlu berani untuk melawan praktik senioritas dalam menciptakan konsep keadilan bagi setiap mahasiswa.
Ketiga hal tersebut harus menjadi tawaran konkret bagi setiap organisasi dalam memikat atau menstimulus anggotanya untuk berpartisipasi aktif. Mengingat saat ini masih banyak masiswa yang masih abai terhadap hal tersebut. Menormalisasikan sesuatu adalah kunci paling utama untuk menuntaskan suatu masalah. Padahal itu malah memperkeruh dan tidak memperbaiki apa-apa.
Sudah menjadi hal klise apabila tujuan dari mahasiswa adalah untuk belajar serta menimba ilmu, seharusnya kita sebagai mahasiswa yang diberi anugrah serta kesempatan untuk mendapatkan ilmu digunakan secara maksimal. Cara memaksimalkannya adalah dengan ikut memperjuangkan hal-hal yang dianggap merusak bagi kesejahteraan umat manusia.
Perubahan tidak akan terjadi jika hanya beberapa orang saja yang terlibat di dalam perjuangan ini. Kerja-kerja kolektif yang menjadi dasar dalam berorganisasi akan memudahkan kita dalam mencapai suatu tujuan. Sesuatu yang besar itu berasal dari hal-hal yang kecil, jika teman-teman menganggap apa yang saya sampaikan adalah suatu kebenaran, maka sebarkanlah. Sangat disayangkan jika kita hanya berdiam diri melihat kesemerawutan terjadi di depan mata kita. Jangan sampai kita hanya menutup diri dan bersikap acuh tak acuh terhadap kejadian yang terjadi saat ini.
Ketika kawan-kawan mengingat kembali judul yang saya hadirkan dan bertanya, apa yang sebenarnya dibunuh ketika kita berorganisasi. Sebenarnya arti membunuh di dalam KBBI itu dapat di definisikan menghilangkan (menghabisi; mencabut) nyawa. Namun pada kali ini nyawa dalam definisi tersebut diubah ke dalam 3 hal yang sedari tadi saya bahas diatas, yaitu pola pikir, individualisme, dan senioritas. Maka dari itu, organisasi memiliki peranan penting dalam mengupayakan pembunuhan untuk menghilangkan masalah yang terjadi.
Baca juga: “SAFARI SASTRA: Kuliah dan Diskusi Sastra Bersama Sastrawan” Upaya Mendorong Literasi di Indonesia
Penulis: Hasbi Ramadhan
Editor: Wulan Sari