Pesan WA dari Seorang Teman untuk Bimbim

Oleh: Ilham Abdul Malik

“Ketika mencoba untuk membuat bocor ban dosen saat kita terlanjur kesal akibat proposal skripsi yang dicorat-coret dan ditolak. Kita bisa saja mendapat musibah yang lebih besar, misal motor hilang atau lebih buruk dari itu,” tulis Jundun Yade Alfarid pada esai MENJADI BAIK, MENJADI JAHAT.

Dalam tulisannya Jundun mengingatkan kita bahwa karma bisa menimpa manusia kapan saja dan di mana saja dan dalam bentuk apa saja. Sehingga terkait nasib, apa yang akan kita dapat berasal dari kebaikan atau kejahatan yang kita perbuat.

Namun, apakah Anda tidak penasaran dengan apa yang akan terjadi pada mahasiswa malang tersebut? Atau apakah dosen yang dibuat bocor ban mobilnya itu pernah melakukan kejahatan sebelumnya? Tentu akan banyak kemungkinan yang hadir bila kita melihatnya dari hukum sebab akibat.

Agar lebih terbayang jelas, mari kita pertegas dengan mendekonstruksi ulang kasus tersebut.

Pada suatu semester ganjil yang indah mendekati pelaksanaan KKN, seorang mahasiswa bernama Bimbim. Ia berambut gondrong dengan tas selendang serta celana sobeknya sedang bimbingan dengan proposal skripsi yang ia kerjakan dengan sistem kebut semalam. Ia dibimbing oleh dosbim yang sedang kalut karena tunjangan penilitian yang ia harapkan dapat menutupi cicilan rumahnya di Malibu tak kunjung turun.

Pada saat sebelum bimbingan, keduanya berusaha tenang dengan keadaannya masing-masing~ Bimbim yang merasa senang karena kelompok KKN nya menjadikannya ketua dan ia pun sudah berhasil mengerjakan proposalnya pas di waktu akhir. Dan Dosbim tetap berniat mencerdaskan dengan bimbingannya meskipun ia tahu bahwa alamat Icloudnya sedang dilacak oleh para ajudan Realtor.

Kita bisa bayangkan apa yang akan terjadi bila keduanya terganggu oleh keadaan mereka sendiri. Kemungkinan cekcok dahsyat antara kedua orang itu tak mungkin terelakan. Bagaimana pembantaian dan pembenaran yang keluar dari mulut kedua orang itu, bila viral, dapat membuat jagat maya beserta lambe-lambenya kebanjiran like dan share tiada henti. Toh yang terjadi selanjutnya adalah ban mobil Dosbim bocor karena proposal Bimbim ditolak dan dicorat-coret.

Akan sangat clickbait bila tajuk video yang viral itu adalah:
Seorang mahasiswa nekat membocorkan ban mobilnya dosen karena kesal proposalnya tak kunjung diacc.

Apa yang dibayangkan penulis ketika bimbingan dahsyat itu berlangsung; kedua orang tersebut sama-sama beradu argumen tentang pembenarannnya masing-masing. Bimbim yang merasa cukup dengan mengerjakan proposalnya sesuai dengan waktu yang ditentukan dan Dosbim yang kecewa dengan hasil kerja itu menggunakan otoritasnya dengan mencorat-coret proposalnya sebagai bentuk mengingatkan.

Masing-masing dari mereka itu tidak ada yang salah, jika Bimbim membocorkan ban mobil dosennya sebagai bentuk perlawanan kepada pendidikan. Karena ia merasa Dosbim telah seenak jidatnya mencorat-corat serta menolak hasil jerih payah seharinya. Di lain sisi, Dosbim pun tepat melakukan hal tersebut karena dengan menolak proposalnya, Dosbim telah mendidik mental mahasiswa seperti Bimbim.

Meskipun selanjutnya, kita tidak bisa menebak karma buruk apa yang akan menimpa Dosbim dan Bimbim yang malang. Karena telah melakukan hal tersebut.

Dari kasus tersebut kita akan ingat doktrin Sokrates bahwa “tak seorangpun berbuat jahat dengan sengaja”. Apa maksudnya? Tak ada orang yang sengaja ingin berbuat jahat. Pun ketika seseorang membocorkan ban, vandal, mencorat-corat proposal dan mencuri uang Negara, maksud dalam pikirannya tentu bukan untuk berbuat jahat! Maksudnya selalu baik (entah sebagai bentuk kekecewaan, mendidik, meningkatkan level kehidupannya atau untuk menyekolahkan anaknya). Saat seorang menyontek pun, jarang kita temukan bahwa ia bermaksud untuk menjahati dosen, menjahati institusi, atau merusak integritas akademis pendidikan. Maksud si penyontek selalu “baik” karena ingin lulus, sibuk dengan prioritas lain yang lebih penting sehingga menyontek adalah jalan terbaik untuk menjalankan semua kesibukannya.

Namun, dari kasus yang jarang terjadi di institusi pendidikan itu, bakal menimbulkan pertanyaan besar.

Apakah kebaikan itu bersifat subjektif?

Bila pertanyaan tersebut terlintas dalam pikiran Anda, mari kita kembali ke jaman Yunani Klasik dan belajar ke sekolah Filsafat, dimana asal mula orang bijak ada, Akademeia.

Akademeia abad lima sebelum masehi: Plato mengajarkan untuk menjadikan Kebaikan sebagai “causa (sebab)” Ia tidak menganjurkan menjadikan Kejahatan sebagai “causa (sebab)” ia menjelaskan bahwa Kejahatan terjadi karena seseorang tidak tahu apa yang sebenar-benarnya baik. Hal itu (Kejahatan) muncul karena kesalahpahaman tentang Kebaikan.

Ia lalu berbicara dengan lantang bahwa, Kebaikan adalah satu-satunya kausalitas, bukan dalam arti Kebaikan memproduksi segala sesuatu. Melainkan, segala sesuatu di dunia ini muncul atas nama Kebaikan. Ia menekankan bahwa ilmu tertinggi Filsafat adalah ilmu yang membahas tentang “Kebaikan dan Kejahatan”. Pada level inilah kita akan menjadi seorang yang bijaksana.

Jika kita hubungkan dengan doktrin Sokrates sebelumnya. Kita dapat beranggapan bahwa “ketidak-tahuan” sebagai moral atau landasan untuk berbuat baik itu tidak tepat. Karena kebaikan itu bukanlah sebab, namun bersifat imanen. Dengan kata lain, kita tidak dapat berbuat baik tanpa kesadaran akan pengetahuannya.

Untuk itulah kita harus memanfaatkan Majelis Ta’lim seperti Kampus, Organisasi, Ruang kelas dan Masjid sebagai sarana untuk mencari kebaikan atas apa yang telah atau akan kita lakukan, bukan pembenaran atas apa yang telah atau akan kita lakukan. Seperti yang diterangkan pada firman Allah SWT:

“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebaikan. Di mana saja kamu berada Allah pasti mengumpulkan kamu sekalian pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Q.S Al-Baqarah:148)

Dan Pesan WA dari seorang teman untuk Bimbim yang malang: “Tidak ada Kebaikan yang memerlukan Pembenaran, dan tidak seluruhnya Pembenaran itu baik”

Fastabiqul Khairat.