UKT, Apakah Itu?
Sebagai mahasiswa yang terbilang angkatan baru, proses pembayaran per-semester tidaklah menjadi hal yang ganjil. Biasa saja: bayar semesteran terus kuliah dan na ni nu lainnya. Namun, setelah melewati hari-hari dengan berdiskusi, tentang sejarah sampai dengan bobroknya sistem di kampus kita. Pertanyaan itu muncul ke permukaan “Apa bedanya sih UKT dan SPP?”
Uang Kuliah Tunggal (UKT) adalah sebuah sistem pembayaran yang saat ini diberlakukan pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Suatu besaran biaya yang harus mahasiswa bayar di setiap semester. UKT memiliki golongan-golongan yang besarannya berbeda sesuai dengan pendapatan orang tua. Untuk menentukan nominal UKT, kita perlu meninjau pendapatan orang tua per bulan, gaji & tunjangan, luas tanah, banyak rumah, banyak mobil, banyak motor, juga pengeluaran seperti biaya hidup, biaya pendidikan anak, dan sebagainya. Sistem pembayaran biaya semester sebelumnya ialah SPP atau Sumbangan Pembinaan Pendidikan. Berbeda dengan UKT, SPP tidak memiliki golongan karena ditentukan dari jalur masuk yang ditempuh dan besarannya bisa berbeda ketika ditentukan dari berapa banyak SKS yang dikontrak.
Regulasi
Tidak serta-merta program UKT ini hadir begitu saja. Bagaimana proses pemberlakuan UKT ini dari mulai lahir hingga pembaptisannya? Titik awalnya adalah saat disahkannya kebijakan Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Seperti yang tertera pada pasal 1 ayat (1) sampai (4):
(1) Biaya Kuliah Tunggal merupakan keseluruhan biaya operasional per-mahasiswa per-semester pada program studi di Perguruan Tinggi Negeri.
(2) Biaya Kuliah Tunggal digunakan sebagai dasar penetapan biaya yang dibebankan kepada Mahasiswa, Masyarakat, dan Pemerintah.
(3) Uang Kuliah Tunggal merupakan sebagian Biaya Kuliah Tunggal yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya.
(4) Uang Kuliah Tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan Biaya Kuliah Tunggal dikurangi biaya yang ditanggung oleh Pemerintah.
Dan pada peraturan ini diberlakukan sistem golongan atau kelompok pembayaran. Seperti pada pasal 2, pemberlakuan beberapa kelompok berdasarkan kemampuan ekonomi keluarga. Hal tersebut diperinci pada pasal 4:
(1) Uang Kuliah Tunggal kelompok I sebagaimana dimaksud dalam Lampiran diterapkan paling sedikit 5 (lima) persen dari jumlah mahasiswa yang diterima di setiap Perguruan Tinggi Negeri.
(2) Uang Kuliah Tunggal kelompok II sebagaimana dimaksud dalam Lampiran diterapkan paling sedikit 5 (lima) persen dari jumlah mahasiswa yang diterima di setiap Perguruan Tinggi Negeri.
Dari peraturan tersebutlah cikal bakal UKT ini diberlakukan di Perguruan Tinggi Negeri dengan berbagai dosa-dosa yang dibuatnya.
Baca juga: UKT Mencekik, Aliansi Mahasiswa Bandung Raya (Ambyar) Menggalang Aksi Langsung
Onar
Dalam kurun waktu kurang lebih 5 sampai 6 tahun setelah diberlakukannya Permendikbud No. 55 Tahun 2013 ini, banyak hal yang terjadi dan berubah. Konflik-konflik terbangun atas ketidaksesuaian yang terjadi di lingkungan mahasiswa. Alih-alih berteduh pada payung keadilan, justru malah berujung pada benih baru permasalahan mahasiswa di lingkungan pendidikan. Layaknya negara api yang menyerang, “malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih”, mahasiswa malah menjadi obyek dari kebijakan tersebut. Itulah salah satu dari banyaknya hal untuk mewujudkan cita-cita mahasiswa yang memiliki kampus demokratis dan paling anti pada komersialisasi pendidikan.
Mahasiswa sebagai pelajar terdidik dan dituntut untuk berfikir kritis yang (katanya) sekaligus menjadi agen perubahan, sudah seharusnya menanggapi isu-isu yang terjadi di lingkungannya. Kasus yang terjadi di kampus-kampus bertaraf Negeri, termasuk di UPI memang sudah menjadi isu tahunan, bahkan semenjak awal UKT itu diberlakukan. Beberapa tuntutan yang dilayangkan kepada pihak birokrat hanya menjadi angin malam semata.
Sikap
Keinginan mahasiswa untuk ikut andil dalam perumusan kebijakan yang disahkan oleh kampus itu sendiri memang seharusnya terjadi. Kita mesti mengetahui ke mana arah uang kita dialokasikan, untuk fasilitas kah? Untuk akademik kah? Atau untuk kepentingan yang lainnya yang sampai saat ini transparansi tersebut belum diketahui? Bagaimana catatan anggaran yang jelasnya? Dan sampai saat ini, hal tersebut tetap digelorakan oleh mahasiswa se-Indonesia terlebih di UPI “tercinta”.
Kita dalam melihat kembali respon-respon tersebut dalam sejarah. Pada tahun 2016, Aliansi Mahasiswa UPI mengangkat permasalahan penentuan golongan UKT yang tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi. Pada tahun 2017, Aliansi Mahasiswa UPI mengangkat isu UKT dengan tuntutan transparansi penyelenggaraan UKT, verifikasi UKT bagi mahasiswa yang membutuhkan, dan menolak pemberlakuan UKT terhadap mahasiswa semester 9 ke atas. Pada tahun 2018, Forum Aksi Mahasiswa UPI (FAMU) kembali melakukan aksi yang menyuarakan 3 tuntutan: pertama adalah menghapuskan uang pangkal; kedua adalah menuntut adanya bidikmisi untuk seleksi mandiri UPI; dan ketiga adalah transparansi dan verifikasi ulang UKT.
Dari tahun ke tahun aksi terus dilaksanakan, guna menjaga prinsip mahasiswa untuk terus menguak segala hal yang merugikan. Kecacatan prosedur yang dimiliki oleh birokrat menjadi senjata utama mahasiswa untuk tidak berhenti meminta transparansi UKT tersebut. Di sisi lain, aksi UKT terus menjadi acara musiman sampai gugatan-gugatan itu diterima. Walau belum sampai pada keberhasilan total, kekuatan itu akan tetap tumbuh dan berkembang. Karena kebenaran tak akan pernah mati.
Salam demokrasi!
Baca juga: Penyerahan Naskah “Isola Menggugat” dan Beberapa Tanggapan Rektor
Penulis: Muhammad Fadlan