UPI, Sejarah dan Riwayatmu Kini: Dari Isola Ke Bumi Siliwangi (Bagian Pertama)

“Bandoeng is het paradijs, der aardsche schoonen; Daarom is het goed daar te women.”
– Wadjah Bandoeng Tempo Doeloe

Prolog

Beberapa waktu ke belakang, Covid-19 mengalihkan perhatian saya. Sampai-sampai saya lupa menyambut mahasiswa-mahasiswi gemes yang diterima di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Selamat datang dan semoga tidak menyesal!

Bagaimanapun, inilah hasil perjuangan kawan-kawan. Walaupun kemarin-kemarin banyak yang bilang kalian angkatan give away, bagi saya, sebagai mahasiswa, cara masuk bukanlah yang utama. Bagaimanapun caranya kawan-kawan masuk, labelnya tetaplah sama kan, “mahasiswa”? Tapi, lebih daripada itu, yang penting adalah seberapa besar manfaat kawan-kawan selama dan setelah menjadi mahasiswa, bagi lingkungan ataupun masyarakat.

Saya yakin, ada berbagai macam alasan kawan-kawan masuk kesini. Bisa jadi karena memang berniat jadi guru, dekat dengan rumah, dipaksa orang tua, atau memang kejeblos aja karena kebetulan cuma kampus ini yang mau menerima kawan-kawan (biasanya alasan terakhir yang paling banyak). Namun, apapun alasannya, yang jelas, ketika kawan-kawan memilih untuk melanjutkan, itu artinya kawan-kawan juga mesti bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar.

Jika melihat tahun-tahun sebelumnya, alasan pertama kawan-kawan mesti datang ke UPI adalah daftar ulang. Namun, dengan situasi seperti sekarang, semuanya akan berbeda. Saya tidak bisa meramal kapan teman-teman bisa datang ke kampus, dan melihat markas dari Sunda Empire. Bahkan, tahun ini pun MOKA-KU akan berbentuk daring.

Adapun maksud tulisan ini adalah agar kawan-kawan nantinya tidak gagap saat masuk, dan menjalani hari-hari di lingkungan kampus. Yakali kita kuliah, tapi kita tidak tahu asal-usul tempat kuliah kita. Setidaknya dengan tau sedikit sejarahnya, kita gak bakal mendikte kampus kita bekas kerajaan ataupun kuburan (sejak saya SD sampai SMA, semuanya memiliki sejarah sama: bekas kuburan).

Berkenalan dengan Kampus UPI

Di sini, saya akan sedikit mendongeng mengenai sejarah kampus ini. Jadi, ntar kalau kawan-kawan ditanya, “Bro, kok lu kuliah di kawasan Sunda Empire? Pasti lu mau daftar jadi anggotanya juga yak?”, kawan-kawan bisa menyanggah hal tersebut. Mengenai sumber, dikarenakan saya parnoan, nggak mungkin saya bertanya kepada Anna, anak dari pendiri sekaligus penunggu Gedung Isola yang konon tewas gantung diri di halaman sekitar gedung tersebut. Makanya, saya mengambil dari sumber lain: Buku Dari Isola ke Bumi Siliwangi karya Rudini Sirat, dkk., serta literatur-literatur lainnya. Saya akan membabak dongeng ini menjadi tiga bagian: Sebelum Kelahiran, Setelah Kelahiran, dan Menjadi Mandiri. Oke, jadi begini dongengnya!

Sebelum Kelahiran

Berawal dari Dominique Willem Berretty, milyader sekaligus pendiri kantor berita ANETA, yang mendirikan bangunan di kawasan Bandung Utara. Bangunan bergaya hias Art Deco tersebut dirancang oleh C. P. Wolff Schoemaker. Namun sayang, pria beristri enam tersebut mengalami kecelakaan pesawat  pada 20 Desember 1934. Bangunan ini pun mesti terbengkalai dua tahun lamanya. Sampai akhirnya, manajemen Hotel Savoy Homann tertarik dengan villa tersebut. Dengan persetujuan dari ahli waris Berretty, villa tersebut akhirnya ditanggungjawabi oleh pihak hotel tersebut. Namanya pun diganti: Villa Isola. Nama ini diambil dari falsafah Berretty, M ‘Isolo E Vivo, saya mengasingkan diri, dan saya bertahan hidup.

Di masa selanjutnya, bangunan ini juga ikut andil dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Bukti sejarahnya adalah nama-nama jalan di sekitar kampus UPI: Dr. Setiabudi, Kapten Hamid, Sersan Bajuri, dan Sersan Surip. Selain itu, adapun senjata-senjata bekas perjuangan di masa itu disimpan di Museum Pendidikan Nasional.

Baca juga: Tugas Kuliah: Lockdown versi Lite

Bagi masyarakat kala itu, Villa Isola memberikan kesan perlawanan dalam menentang kekuasaan asing. Awalnya, Villa Isolla dijadikan pos pertahanan pertama untuk menghadang lawan agar tidak masuk ke markas utama di Lembang. Korban yang gugur tidak sedikit. Sampai-sampai, Villa Isola dijadikan lambang panji Batalyon TKR Bandung Utara. Gambarnya ditempelkan di atas warna merah sedangkan latarnya berwarna kuning. Begitupun dalam peristiwa Bandung Lautan Api, para pejuang merasa tak sanggup harus membakar bangunan yang penuh kenangan dalam mempertahankan kemerdekaan ini.

Pada tahun-tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 1954, dimulai dari keresahan Mohammad Yamin akan mutu guru di Indonesia, didirikanlah Perguruan Tinggi Pendidikan Guru di Indonesia. Bandung menjadi salah satu kota yang dipilih dalam pembangunan PTPG tersebut (kota lainnya adalah Malang, Batu Sangkar, dan Tondano). Peresmian PTPG di Bandung dihadiri oleh orang-orang penting, salah satunya adalah Mohammad Yamin yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K). Dalam pidatonya, Mohammad Yamin enggan menyebut nama Isola, beliau menggantinya dengan nama Bumi Siliwangi.

“Nama Bumi Siliwangi tempat berkuliah adalah sindiran kepada gria tempat kediaman yang menyinarkan cahaja dan rasa kepahlawanan bersejarah. Nama Siliwangi membawa jiwa pendidik ke alam sakti tanah Pasundan dan memperingatkan kita kepada kebaktian dan jasa pemuda-pejuang dalam zaman Revolusi ketika menegakkan dan memelihara negara kesatuan Republik Indonesia.”

Selain dalam pidatonya, nama Bumi Siliwangi juga hadir dalam bentuk Soneta yang ditulis dan dibaca oleh Mohammad Yamin di Halaman Villa Isola.

Bumi Siliwangi

Dari bumi indah dan permai
Waktu siang pembukaan raja
Tampak Parahiangan bergunung sungai
Dipagari bukit dataran bertjahaja.

Waktu kelam ditinggalkan matahari
Kemarin malam pernah kemari
Sinar seminar dikaki bumi
Mandi tjahja lampu berseri.

Siang malam meriah melimpah
Bumi Siliwangi landjutkan sedjarah
Di tengah alam gembira meriah.

Wahai pemuda harapan bangsa
Menuntut ilmu radjinlah senantiasa
Agar nanti menjuluhi masa

(Pikiran Rakjat, 21/10/1954)

Dalam peresmian tersebut, dilakukan penandatangan prasasti oleh Perdana Menteri RI Ali Sastroamidjojo (dalam literatur lain, beliau tidak menghadiri kegiatan peresemian tersebut). Setelah penandatanganan prasasti, dilakukan penanaman pohon beringin (pohon tersebut sampai sekarang masih tumbuh di Taman Partere) yang dilakukan oleh Ny. Mohammad Yamin (sebab Ny. Ali Sastromidjojo tidak bisa hadir). Pohon beringin di sini menyimbolkan persatuan dan kesatuan. Dengan diresmikannya PTPG Bandung, tujuan Mohammad Yamin dalam pendidikan dan pengajaran, yaitu membentuk manusia yang berakhlak mulia dan menyejahterahkan masyarakat, baru saja dimulai.

Setelah Kelahiran

Tiga tahun setelahnya, berdiri Universitas di Bandung. Universitas tersebut bernama Universitas Negeri Padjajaran (Unpad). Hal ini membuat PTPG Bandung berubah menjadi FKIP Unpad. Awalnya mahasiswa dan dosen menolak hal tersebut. Hanya saja, setelah diyakinkan bahwa FKIP Unpad akan mendapatkan otonomi lembaga, maka disepakatilah hal tersebut.

Baca juga: Surat Terbuka: Pak, Sesulit Inikah Mendapat Pendidikan di Kampus Pendidikan?

Pada masa-masa selanjutnya, terjadi pertentangan politik yang juga memengaruhi sistem pendidikan di Indonesia. Inti dari pertentangan tersebut dimulai ketika adanya keinginan dari menteri Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PD dan K), untuk mengubah FKIP tidak lagi berada dalam naungan Departemen Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP). Namun gagasannya gagal. Kegagalan itu berbuah menjadi kebijakan Prijono, menteri PD dan K kala itu, membentuk lembaga baru yaitu Institut Pendidikan Guru (IPG). Ini yang membuat terjadi dualisme dalam pendidikan kala itu.

Saat itu, Soekarno langsung turun tangan. Pada tanggal 31 Desember 1962, dilakukan rapat dengan bahasan FKIP dan IPG. Hasil dari rapat tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1963 tentang penyatuan  IPG dengan FKIP menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Lembaga tersebut menjadi satu-satunya lembaga pendidikan guru untuk sekolah lanjutan yang setingkat dengan universitas dalam lindungan Departemen PTIP. Disebabkan masih adanya benturan politik, baru pada tahun 1964 FKIP Unpad berubah statusnya menjadi IKIP Bandung.

Dua dasawarsa kemudian, muncul problematika baru. Salah satu problematika yang paling menonjol adalah lulusan IKIP sudah tak tertampung lagi menjadi guru dan Pegawai Negeri Sipil (PNS), sehingga banyak yang bekerja di luar bidang yang ditekuninya. Maka dari itu, Bank Dunia menilai peran IKIP sudah seharusnya melakukan perluasan misi, dengan kata lain tidak hanya menghasilkan sarjana pendidikan. Padahal, jika melihat sudut pandang lain, ini hanya pengambinghitaman. Sebab kampus lain seperti ITB pun banyak yang bekerja di luar bidang yang ditekuni.

Pada tahun 1995, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) menawarkan perluasan misi tersebut (disebut dengan wider mandate) kepada seluruh IKIP. Wider mandate ini merupakan sebuah tawaran untuk mengubah IKIP menjadi Universitas. Pada tahun 1998, IKIP Bandung menyetujui untuk membuka program nonkependidikan/keguruan. Di sinilah mulai mencuat bahwa IKIP Bandung akan berubah menjadi Universitas.

Pada rapat-rapat yang merumuskan perubahan ini, IKIP Bandung sepakat merubah statusnya menjadi universitas. Namun, setelah disepakati, muncul perdebatan yang unik: IKIP Bandung menolak menggunakan nama “Universitas Negeri” seperti IKIP-IKIP lainnya. Awalnya IKIP Bandung masih ingin menggunakan nama IKIP Bandung saja. Namun, pada rapat-rapat selanjutnya, akhirnya disepakati, IKIP Bandung akan mengganti namanya menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Nama tersebut mengandung arti bahwa universitas yang dikembangkan dari IKIP Bandung adalah universitas yang berbasis pendidikan.

Dalam waktu-waktu setelah perubahan, UPI melakukan pembangunan di mana-mana. Diawali dengan membagun gedung yang dananya berasal dari hibah Jepang. Sebetulnya, kerjasama ini sudah dimulai saat UPI masih berstatus menjadi IKIP. Japan International Cooperation Agency (JICA) tertarik menjalin kerjasama dengan UPI. Hibah yang diberikan JICA adalah pengembangan akademik, bantuan perlengkapan dan peralatan pembelajaran MIPA, serta gedung FPMIPA. Proyek pembangunan gedung FPMIPA ini baru selesai pada tahun 2002. Selain hibah dari Jepang, UPI juga mendapat bantuan dari Islamic Development Bank (IDB). Dengan dana yang didapat dari IDB, UPI benar-benar merombak kampusnya. Mulai dari gedung perkuliahan, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, University Center, Isola Resort, dan Islamic Tutorial Center (dulunya bernama masjid Al-Furqon). Ada dua latar belakang dalam pembagunan ini. Pertama, kondisi bangunan yang dimiliki tidak mendukung pengembangan UPI. Kedua, UPI memiliki peluang yang lebih besar menjadi kampus Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

BHMN adalah sistem yang dapat membuat perguruan tinggi menerima otonomi penuh dalam segala bidang. Awal mula lahirnya, BHMN ini didasari oleh persaingan antar bangsa, globalisasi, perdagangan bebas, serta didorong oleh adanya krisis di dalam negeri yang meyebabkan semakin menipisnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, khususnya karena PT (Perguruan Tinggi) di Indonesia tidak mampu sejajar dengan PT-PT terkemuka di kawasan Asia.

Pada tahun 2000, UI, UGM, IPB, dan ITB resmi mengubah status kampusnya menjadi BHMN. UPI tidak mau ketinggalan. Wacana mulai mencuat. Wacana pergantian status ini ditolak oleh mahasiswa UPI. Alasannya jelas, UPI akan menjadi kampus yang komersial karena privatisasi pendidikan atau pelepasan tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan. Tapi alasan tersebut tidak membuat kampus UPI berhenti. Pada tahun 2004, UPI resmi menjadi kampus ke-6 yang menyandang status BHMN, setelah USU pada tahun 2003.

Baca juga: UPI, Sejarah dan Riwayatmu Kini: Alasan Mengapa Mahasiwa-Mahasiswa Mesti “Demo” Sejak Pertama Masuk Kuliah (Bagian Kedua)

Penulis: Tofan Aditya