Mahasiswa seringkali terjebak sistem pendidikan untuk tidak bersuara kritis. Mahasiswa dirasa masih mengambang karena tidak tahu pokok permasalahan yang terjadi pada sistem ini. Di sisi lain ada juga mahasiswa yang ingin bersuara kritis, tetapi tidak ada tempat untuk menyampaikannya. Bahkan, edukasi mengenai urgensi demokrasi dan berpikir kritis tidak diajarkan dalam sistem perkuliahan di kampus. Mahasiswa tidak diberikan pengembangan kritis dan terjebak dalam sistem pendidikan kampus yang semu.
Salah satu contoh dalam satu tahun terakhir, Universitas Pendidikan Indonesia secara resmi menambah golongan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dari 8 golongan menjadi 11 golongan. Hal ini tertera pada Permendikbudristek no 2 tahun 2024. Tentunya kenaikan golongan ini menjadikan sebagian golongan mahasiswa menjadi human capital yang hanya mementingkan diri sendiri dikarenakan beban kuliah yang sangat berat. Kolektivitas untuk berani bersuara semakin terbelenggu karena sistem pendidikan kapital yang mengikat.
Baca Juga: Bincang Zine dengan ASAS dan ELF sebagai Media Bersastra – Literat
Pada hari sabtu 12 April 2025, Bandung Bergerak (BB), komunitas masyarakat dan media partner yang terhubung menginisiasi seluruh elemen masyarakat Kota Bandung untuk berkumpul dalam acara Festival Bandung Menggugat (FBM) di Dago Elos. FBM dilatarbelakangi oleh program sayembara esai di bulan Desember lalu oleh BB dengan tema “Selama Mahasiswa Berani Bersuara, Kampus Belum Akan Mampus”. Festival ini menjadi puncak program dari tema sayembara esai tersebut yang telah dibukukkan dan terdapat 28 esai terpilih dari ratusan esai.
“Festival ini menjadi puncak dan sekaligus penutup dari program sayembara esai”, jelas Tofan selaku perwakilan panitia FBM.
Tofan juga menjelaskan diadakannya program FBM ini untuk memberitahu masyarakat Bandung khususnya mahasiswa bahwa berbagai isu di tingkat lokal mesti dikritisi.
“Upaya ini sebenarnya wadah untuk merawat suara-suara kritis dari orang muda khususnya mahasiswa”, ucapnya.
Biaya kuliah yang mahal menjadi alasan gerakan mahasiswa menurun
Sesi diskusi #1, “Selagi Mahasiswa Berani Bersuara, Kampus Belum Akan Mampus” menjadi rangkaian pertama pada festival ini. Dihadiri oleh pemantik Cindy Veronica sebagai penulis esai terpilih di sayembara esai BB, Bivitri Susanti selaku dosen dan kolumnis harian Kompas & Tempo, dan Pemimpin Redaksi Narasi Zen RS. Pada sesi ini dibahas mengenai kondisi berpikir kritis dan kolektivitas mahasiswa. Keduanya dinilai semakin mengalami kemunduran karena sistem pendidikan kampus yang diatur oleh birokrat.

(Foto: Literat/Saddam Nurhatami)
Kenaikan UKT menjadi sebab kolektivitas mahasiswa menjadi menurun dalam berpikir kritis menyuarakan berbagai isu-isu yang kini terjadi. Sebagian dari mereka merasa acuh, tetapi ketika bertindak dihalangi dinding tebal yang bernama kapitalisme birokrat. Ada juga yang tidak acuh karena kepentingan dirinya hanya untuk kuliah sebab biaya UKT yang tinggi.
Sistem Pendidikan Kapitalis Harus Dibongkar
Penguasa sistem pendidikan telah membuat skenario supaya mahasiswa tidak lagi berpikir kritis dan terbiasa menunduk terhadap aturan yang ada. Bahkan dalam konsep dasar berpikir kritis, kampus kurang memberikan akses dan edukasi supaya mahasiswa menjadi gerakan perubahan. Pastinya di dalam perkuliahan, mahasiswa tidak akan menerima pengajaran untuk bersikap kritis terhadap isu-isu yang tengah terjadi. Salah satu upaya untuk bisa mengakses ini adalah dengan kesadaran individu untuk mau belajar di luar akses perkuliahan yang diberikan pihak kampus.
“Struktur ekonomi politik universitas secara umum tidak memungkinkan itu terjadi, maka mahasiswa harus terlibat dalam sekolah-sekolah liar tentang pendidikan karena itu semua tidak ada di dalam kampus”, ujar Zen RS.
Baca Juga: Masih 01, 02, 03? Stop Menyalahkan Sesama, Saatnya Bersama – Literat
Mahasiswa dinilai jarang diberi gagasan bahwa pendidikan murah itu bisa dihadirkan. Namun, birokrat kampus yang tunduk pada pemerintahan justru membuat pendidikan semakin mahal. Padahal, pada dasarnya pendidikan adalah unsur yang sangat penting untuk memajukan bangsa. Realitanya, tidak semua golongan muda dapat mengakses pendidikan tinggi karena biaya kuliah yang semakin mahal. Bahkan mahasiswa yang mendapat akses tersebut hanya terbelenggu pada formalitas kampus dan beban akademik.
“Sistem pendidikan seperti ini yang harus dibongkar, hanya mendorong mahasiswa untuk dapat IP tinggi dan mengisi pasar kerja, padahal bisa lho pendidikan murah bahkan gratis kalau penguasa mau”, tegas Bivitri Susanti.
Ketidakadilan dan ketimpangan sistem pendidikan semakin nyata dengan selalu naiknya biaya kuliah. Hal ini akan membuat golongan muda tidak dapat mencapai pendidikan tinggi. Kesadaran ini yang mesti diedukasi kepada seluruh mahasiswa bahwa ada sistem yang mengakibatkan kesenjangan pendidikan.
“Kita harus sadari bahwa ada ketidakadilan dan hubungan yang timpang yang harus dilawan, itu yang harus jadi dasar pijakan kita”, ucap Cindy Veronica.
Upaya dalam membangun kolektivitas dan sikap kritis
Ketika sistem pendidikan kampus membatasi akses mahasiswa untuk berpikir kritis, mahasiswa perlu memiliki kesadaran kolektif. Dengan kesadaran itu, mereka bisa mencari orang-orang yang memiliki gagasan yang sama. Tidak sampai di situ, merangkul dan merawat golongan muda di luar formalitas kampus menjadi upaya dalam membentuk kelompok mahasiswa untuk berani bersikap kritis dan membangun kolektivitas.
“Kita mencari kelompok-kelompok yang satu pikiran, setelahnya harus membangun kolektivitas karena dalam situasi sekarang, berpikir kritis tidak murni hanya di kampus”, ujar Bivitri Susanti.
Selain itu, dengan membangun keberanian, berjejaring ke luar kampus, dan merawat sikap kritis dapat menjadi upaya yang bisa mahasiswa lakukan.
“Bisa dengan membangun keberanian, berjejaring banyak ke luar kampus untuk melihat realitas kehidupan”, tambah Cindy Veronica.
Baca Juga: RUU TNI Disahkan: Kemunduran Demokrasi atau Kebijakan Strategis? – Literat
Selain itu, mahasiswa harus mempunyai gerakan yang mengakar ke bawah dan memiliki pegangan ke atas. Hal ini disebutkan oleh Zen RS karena selama ini mahasiswa hanya bergerak secara horizontal yang seharusnya bisa bergerak secara progresif.
“Pergerakan mahasiswa terlihat horizontal yang hanya berangkat dari isu, gerakan mahasiswa harus mengakar ke bawah dan memiliki cantolan ke atas”, ungkap Zen RS.
Dapat dilihat bahwa sebenarnya kesadaran kolektivitas dan berpikir kritis bisa dibangun secara bertahap. Langkah awalnya adalah dengan mencari dan masuk ke dalam kelompok yang memiliki sikap kritis. Setelah itu, penting untuk membangun jejaring sebagai upaya melawan ketidakadilan dalam sistem pendidikan.
Gerakan mahasiswa bisa tumbuh dengan dasar dan pegangan yang kuat. Namun, perlu diperhatikan bahwa perjuangan melawan kapitalis dan merubah sistem pendidikan yang sangat mahal tidak bisa secara instan. Perubahan bisa memulai dari hal-hal kecil seperti merawat hubungan kelompok. Selain itu, dengan membangun kesadaran mahasiswa melalui pengajaran di luar kampus dan menanamkan sikap keberanian merupakan langkah penting yang harus ditanamkan.
Penulis: Saddam Nurhatami
Editor: Rifa Nabila