Kekerasan seksual di dunia pendidikan terus meningkat. Artikel ini membahas data, dampak, dan pentingnya menciptakan ruang aman bagi siswa.

Tak Ada Ruang Aman, Kekerasan Seksual Menyusup ke Dunia Pendidikan

Kekerasan seksual terus menjadi topik hangat dalam berbagai diskusi di media massa maupun media sosial. Fenomena ini marak terjadi di lingkungan sekitar dan dapat menimpa siapa pun, termasuk anak-anak dan siswa di sekolah. Padahal, secara ideal, sekolah seharusnya menjadi ruang aman bagi setiap siswa untuk belajar, bermain, dan tumbuh tanpa rasa takut. Namun, ruang aman itu kini semakin sulit ditemukan.

Peningkatan jumlah kasus kekerasan seksual setiap tahun menjadi salah satu indikator bahwa masalah ini belum tertangani dengan optimal. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap anak mencapai 11.057 kasus pada tahun 2019, 11.270 kasus pada 2020, dan 12.566 kasus hingga November 2021.

Baca juga: Jika Semua Sekolah Sama, Mengapa Kesempatan Kita Berbeda?

Selain itu, pada tahun 2017, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengidentifikasi 15 bentuk kekerasan seksual. Di dalamnya termasuk pemaksaan perkawinan, pemerkosaan, serta pelecehan. Temuan ini menjadi tantangan besar bagi para pendidik, orang tua, dan lingkungan sekolah, terutama ketika seorang siswa menjadi korban kekerasan seksual. Tak hanya memengaruhi kondisi psikologis, pelecehan seksual juga berdampak langsung terhadap perkembangan belajar siswa.

Korban kekerasan seksual kerap mengalami gangguan fungsi otak dan perkembangan psikologis. Hal ini menghambat proses belajar karena korban cenderung terus terbayang peristiwa traumatis yang dialaminya. Akibatnya, siswa menjadi murung, kehilangan semangat belajar, bahkan enggan bersosialisasi.

Baca juga: Hari Buku Nasional: Menengok Peran Buku di Era Media Sosial

Kasus-kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan pun mencuat dari berbagai daerah. Siswa di Karangasem, seorang anak berusia 10 tahun menjadi korban pencabulan oleh guru les pada hari pertama belajar. Di Bone, seorang siswi SMA diperkosa oleh 11 pria, salah satunya adalah pacarnya sendiri. Di Yogyakarta, terjadi pelecehan seksual berupa perekaman aktivitas perempuan di toilet kampus. Sementara itu, seorang siswi SMP di Jakarta Selatan diduga dicabuli oleh seorang pejabat. Keluarga korban menyebutkan bahwa nilai akademik anak tersebut menurun drastis hingga mencapai skor 40, 30, bahkan 20.

Dampak kekerasan seksual tidak berhenti pada penurunan prestasi akademik. Rasa malu, trauma, kehilangan harga diri, bahkan gangguan emosional seperti ketakutan berlebihan dan kecemasan pascakejadian menjadi efek lanjutan yang harus dihadapi korban. Menurut Supardi dan Sadarjoen (dalam Ramadhani, S. R., 2022), korban dapat merasa tercemar, terhina, dan kecewa mendalam. Sementara itu, Anindya (2020) menyebutkan bahwa kekerasan seksual dapat menyebabkan trauma berkepanjangan dan menurunkan motivasi belajar.

Dunia pendidikan seharusnya menjadi ruang yang menjamin rasa aman dan nyaman bagi seluruh peserta didik. Namun, kenyataan bahwa kekerasan seksual masih menyusup dan terjadi di lingkungan menunjukkan bahwa ruang aman itu masih jauh dari kata aman. Oleh karena itu, diperlukan perlindungan yang lebih ketat serta peran aktif dari orang tua, pendidik, dan masyarakat dalam mencegah serta menangani kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Dengan demikian, anak-anak dapat tumbuh dan belajar dengan tenang demi masa depan mereka yang masih panjang.

Baca juga: Bahasa yang Hampir Punah, Akankah Berakhir Musnah?