Mungkin orang-orang pernah menyangka, kota adalah tempat para migrasi memungut rupiah. Semakin terkenal kota itu, orang semakin mengira-ngira lembaran uang bergelimang di atas bangunan-bangunan pabrik atau perusahaan yang menjulang ke langit. Namun, selepas orang-orang menjumpai kota, limpah ruah harta hanya jadi pikiran yang memudal lalu hilang, seperti seorang pecandu rokok yang menghisap asap, menghilang selepas membumbung ke udara.
Alih-alih sekumpulan makhluk migrasi harusnya mendapat mata uang, malah yang didapat air mata pengangguran yang berkepanjangan. Orang-orang berkumpul seperti kemacetan Bandung yang belum pernah rampung untuk memenangkan lamaran kerja.
Polusi sudah pasti makanan sehari-hari para migrasi. Deru dan klakson kendaraan yang semakin memadat di telinga-telinga PSK (Pekerja Seks Komersial) yang tak terbagi lapangan kerja, gelandangan-gelandangan, pengamen-pengamen, pengemis-pengemis, preman-preman, dan polisi-polisi yang tentu harus bekerja ekstra. Namun sayangnya, deru itu tak sampai ke telinga para pejabat. Kehidupan kota sangat nyaring di kepala para buruh, tetapi sunyi di otak para konglomerat.
GELANGGANG EPILOG KOTA
Di tengah nyaringnya monolog para rakyat, mereka terbungkam bila mulai mengepalkan tangan dan berteriak “keadilan”. Mereka akan dipukul atau mulutnya disumpal uang cepean. Selepasnya, pikiran-pikiran pejabat kembali sunyi, sesunyi magrib tanpa jangkrik. Dari kecemasan itu, segerombol makhluk berakal berulah.
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia, semester 4C mengadakan rapat Drama Perwakilan Rakyat (DPR) di gedung Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) yang di dalamnya tentu, bukan berisi undang-undang embel-embel, melainkan rancangan-rancangan pertunjukan drama rakyat untuk mewakili suara yang terbungkam.
Epilog Kota terlahir sebagai judul dari rancangan pertunjukan drama itu. Teater ini menyuguhkan cerita surealis yang melukiskan para pendatang dari desa yang berkunjung ke kota, dengan niatan mendapatkan cuan lebih banyak. Akan tetapi, kenyataan melahap ilusi mereka. Orang-orang migrasi justru mendapatkan air mata pengangguran, bahkan parahnya perempuan-perempuan menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial) karena tak kunjung mendapatkan peluang kerja.
Pertunjukan ini bukan hanya membicarakan kecemasan para buruh, melainkan juga menceritakan kesumpekan kota. Macet sepanjang jalan sudah seperti jumlah korupsi pemerintah yang menumpuk di catatan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), polusi udara yang makin tercemar, dan klakson yang sudah jadi pameran orkestra. Semuanya diceritakan secara tersirat di teater Epilog Kota ini.
KEPADA KESUNYIAN, EPILOG KOTA BERTERIAK
Teater Epilog Kota bergaung, berteriak di atas panggung meminta peluasan dan pemerataan lapangan kerja untuk 7, 28 juta pengangguran di Indonesia. Jumlah yang besar, meski masih terbilang normal di mata negara-negara berkembang. 7, 28 juta pengangguran ini terpampang di halaman website Badan Pusat Statistik terbaru 2025. Sejalan dengan itu, migrasi-migrasi juga membuat jalanan semakin padat dan gersang.
Tom Tom perusahaan navigasi dunia memantau kemacetan di Indonesia. Laporan Tom Tom Traffic Index 2024 menyatakan Bandung sebagai kota termacet pertama di Indonesia dengan jarak tempuh 32 menit 37 detik perkilo, Medan rata-rata waktu tempuh 32 menit 3 detik, Palembang 27 menit 55 detik, Surabaya 26 menit 59 detik, dan Jakarta 25 menit 59 detik.
Berangkat dari itu, teater Epilog Kota melukiskan keabsurdan urbanisasi. Ia memunculkan adegan-adegan yang penuh simbol, seperti seorang wanita berpakaian petani serba putih menari dengan anggun, seorang serba hitam membawa karung yang berisi tepung-tepung dan segenggam jerami, pelelangan-pelelangan politik, pertukangan, perdagangan-perdangan, ibu-ibu gibah, dan adegan lainnya. Semuanya dihidangkan dengan matang.
Baca juga: Bisikan-bisikan Kecil dalam Epilog Kota dari Mereka yang Terpinggirkan
ADEGAN-ADEGAN EPILOG KOTA
Awal adegan penonton disuguhkan dengan seorang wanita berpakaian layaknya petani mapan serba putih menari dan berlenggang dengan anggun. Penari ini sangat apik di setiap gerakannya membuat penonton tertegun. Ditambah, ia mengenakan topi jerami, seperti memberi kesan kewibawaan dan keeleganan sebagai seorang petani yang menghidupi rakyat.


Selanjutnya, seorang PSK muncul dengan gaun merah lalu pinggulnya mulai berlenggang sambil bernyanyi. Adegan ini menyimpan jenaka ketika empat ibu-ibu datang berpakaian hijab ala-ala desa. Mereka merumpi pekerjaan-pekerjaan di kota salah satunya PSK. Mereka saling sindir, cibir, dan kelakuan jenaka lainnya.


SUREALIS ANGKOT
Dijemput dengan adegan selanjutnya, sopir-sopir angkot datang mencari dan menarik penumpang. Panggung riuh dengan suara deru dan klakson. Bentuk angkot di adegan ini dibuat sesurealis mungkin dengan bambu-bambu panjang yang ditopang tiga orang. Mereka bercakap-cakap mengenai kepadatan jalan, pekerjaan-pekerjaan yang sulit, dan keluhan penumpang rempong.
Ketika asyik bercakap, mereka kedapatan tiga penumpang dan salah satunya pedagang cangcimen. Dalam angkot itu, mereka mendengar jelas perbincangan panas penumpang mengenai kegersangan dan kesengsaraan kota. Sedikit-sedikit, mereka ikut nimbrung percakapan penumpang.

Tak kalah menariknya dengan adegan jenaka, teater ini menghidangkan adegan bergidik, seperti ketika orang-orang serba hitam muncul dari samping-samping panggung membawa karung berisi tepung. Mereka berjalan sambil mengepal karung berisi tepung lalu ditebarkan. Selain itu, ada juga saat-saat mereka membawa segenggam jerami, diangkatnya sambil berteriak keadilan.
Baca juga: Mitomania: Ketika Kejujuran Terlalu Menyakitkan


Adegan tercengang lainnya adalah ketika pelelangan-pelelangan politik mulai digelar. Seorang lelaki menaiki bambu yang ditopang orang-orangan berbaju hitam. Ia juru lelang menawarkan harga-harga kursi pejabat, lapangan pekerjaan, keresahan-keresahan rakyat, dan politik lainnya.

Sampai pada penghujung babak, ketegangan masih menyelimuti ruang drama. Penonton seperti diseret ke lorong-lorong ruang yang tak memiliki oksigen, pengap karena adegan di bawakan dengan begitu mencekik. Seorang perempuan serba putih diikat di bagian kedua tangan, perut, dan ditarik dari berbagai sisi oleh orang-orang serba hitam. Ia menjerit kesakitan sampai ruang drama disekap kengerian.
Baca juga: Bumi Owah: Kehancuran Alam Akibat Pejabat Negeri

EPILOG KOTA SIMBOL YANG MENYAYAT
Ketika sunyi lebih nyaring dari keramaian. Ketika mereka yang hidup nyaris tak terlihat. Kota yang tumbuh dari deru mesin dan ambisi, tapi siapa yang akan mendengar jeritannya?
Teater Epilog Kota menyembunyikan setiap makna, dalam simbol-simbol yang senyap akan kegamblangan penderitaan yang redam dari jeritan orang-orang kota, seperti penggalan puisi yang terpampang di sebelumnya. Simbol-simbol yang sebenarnya menyayat bila dikupas makna terluar dan terdalam.
Dalam hal ini, Roland Barthes pengembang pemikiran-pemikiran Saussure mengatakan sebuah simbol akan dapat dimaknai melalui semiologi. Barthes melalui pengembangannya menyebut simbol itu sebagai penanda dan petanda. Penanda sebagai bentuk, sedang petanda makna dari bentuk itu. Lebih lanjutnya, Barthes juga membagi dua antara bahasa atau langue, sebagai sistem komunikasi yang disepakati masyarakat dan wicara atau parole, sebagai tindakan dari bahasa itu sendiri. Bahasa dan wicara sudah menjadi darah daging, tak dapat dipisahkan.
SUNYI, NYARING, KERAMAIAN
Ketika sunyi lebih nyaring dari keramaian, penanda dari kalimat itu, yaitu sunyi, nyaring, dan keramaian. Sedangkan, petandanya keramaian lebih sepi dibanding sunyi yang berarti adanya suatu pergulatan batin manusia, entah emosi yang teredam atau kecemasan yang terbenam dan sulit terbit.
Ketika mereka yang hidup nyaris tak terlihat. kota yang tumbuh dari deru mesin dan ambisi, tapi siapa yang akan mendengar jeritannya?, penanda petikan ini, yaitu mereka, hidup, tak terlihat, kota, mesin, ambisi, dan jeritan. Sedangkan, petandanya meniadakan orang-orang yang ada, berarti adanya sebuah ketidakpedulian.
Selanjutnya, kata tumbuh, deru, dan ambisi mengarah ke sebuah ambisi dan angan orang-orang yang tinggi pada sebuah kota yang tidak manusiawi. Kalimat-kalimat ini dipetik sebagai contoh pengamalan dari teori Barthes. Selanjutnya, teater ini dikupas melalui bahasa (langue) dan wicara (parole) untuk memperoleh kerangka makna, sedang nanti penanda dan petanda akan menjelaskan isi maknanya.
SIMBOL PATRIARKI
Beralih ke teater Epilog Kota yang dipenuhi simbol-simbol sunyi, seperti pada adegan seorang perempuan berpakaian serba putih dan bertopi jerami menari anggun. Tentu, warna putih menandakan kesucian dan topi jerami mengarah ke profesi sebagai petani. Lalu bagaimana dengan tariannya? Sesaat, sutradara sempat diwawancarai mengenai simbol ini selepas pagelaran usai.
Menurutnya, tarian di awal adegan adalah persembahan untuk patriarki yang mengekang seorang perempuan. “Nah itu simbolis bahwasannya, itu gerakan patriarki, sebagai seorang simbolis seorang perempuan, kalau semisal di kampung terkadang ada masih gambaran-gambaran orang tua. Bahwasannya, perempuan tidak boleh memiliki cita-cita yang lebih tinggi gitu, jadi tarian itu disembahkan sebagai kebebasan seorang perempuan gitu untuk mempresentasikan dirinya sendiri begitu” ujar sutradara. Artinya, tarian itu merupakan ekspresi perempuan dalam memperjuangkan kebebasan dari kekangan patriarki.
Jika disandingkan antara pakaian putih, topi jerami, dan tarian, adegan ini bermakna heroiknya atau mulianya seorang petani yang menghidupi rakyat, tetapi jarang dipedulikan petinggi-petinggi terhadap pengelolaan daerah, khususnya pemerataan lapangan kerja. Sehingga, orang-orang desa menjelma menjadi orang-orangan urban yang datang ke kota demi mendapatkan pekerjaan.
Kebebasan perempuan terhadap patriarki bersinggungan dengan hasrat kebebasan orang-orang desa dari permainan sistem kapitalisme. Bisa ditarik benang merahnya, bahasa atau langue dan penanda, yaitu pakain putih menandakan mulia, topi jerami profesi sebagai petani dan wicara atau parolenya, yaitu tarian seorang perempuan. Sedangkan, petandanya menggambarkan ketidakpedulian pemerintah dalam mengelola lapangan kerja dan hasrat kebebasan orang-orang desa terhadap sistem kapitalisme.
Baca juga: Semikolon (;): Bukan Akhir, Hanya Jeda untuk Bertahan
PSK BERGAUN MERAH
Berputar layaknya detik dan menit, adegan selanjutnya seorang PSK yang berjoget berpakaian gaun merah dan ibu-ibu rumpi dengan kostum ala-ala hijab kampung. Secara langue dan penanda, gaun merah menjadi kepercayaan budaya akan kegairahan seksual dan romantisme. Sedangkan, kostum hijab yang dikenakan ibu-ibu rumpi mengarah ke geografis budaya pedesaan.
Tambahan lagi, ibu-ibu yang merumpi akan kegersangan pekerjaan kota dan penyurutan lapangan kerja di desa memberi kesan keibu-ibuan di desa yang selalu berkumpul dan berbagi cerita, gibah, dan lainnya. Petanda dari semua kerangka makna ini merujuk pada situasi yang tidak seimbang, antara kota dan desa, di antara keduanya menyimpan kesenjangan sosial. Khususnya masih dalam ranah lapangan pekerjaan dan gambaran keruh kota-kota dan kekolotan desa.
SIMBOL BAMBU-BAMBU PANJANG
Berlanjut layaknya dunia game, adegan tiga orang membawa bambu-bambu panjang yang merujuk pada simbol bentuk angkot. Bambu-bambu panjang yang ditopang tiga orang merupakan gambaran dari kendaraan-kendaraan yang padat. Suara-suara deru dan klakson memenuhi ruang drama.
Langue dan penanda suara deru dan klakson cukup mempresentasikan kemacetan. Sedangkan, parole bambu-bambu sebagai ekspresi individu panggung atau teater itu sendiri yang melukiskan kesumpekan kendaraan. Petanda adegan ini tentu menyampaikan makna perkembangbiakan kendaraan yang tumbuh subur memenuhi daerah perkotaan. Dengan kata lain, macet menjalar dan merajalela di kota-kota besar.
Adegan masih berlanjut ke bagian orang-orangan hitam yang membawa segenggam karung berisi tepung yang ditebarkan dan jerami-jerami. Dalam kasus ini, sutradara diwawancarai mengenai orang-orangan hitam yang menggenggam karung dan terigu. Sutradara menjelaskan karung diibaratkan sesuatu yang di bawa dari desa, sedang terigu perumpamaan dari polusi udara.
Ujarnya seperti ini “itu mempresentasikan dari urbanisasi gitu yah, yang terigu itu sebagai yang ngebul gitu, itu tuh sebagai polusi yang ada di kota begitu kami mengambilnya. Nah terus sebagai karung, karung itu yang di bawa dari desa, jadi urbanisasi orang-orang kan, seperti kalau semisal sayur-sayuran kan dibawa ke kota pasti dikarung, nah sebagai pembawaan dari kampung ke kota yah itu”.
Baca juga: Dari Leila S. Chudori hingga Enggano: Jurnalisme dan Kebenaran Motto
SEGENGGAM JERAMI
Berlainan umpamaan dengan segenggam jerami, orang-orang hitam membawa segenggam jerami adalah umpamaan dari kebutuhan pokok manusia. Mereka mengangkat jerami sambil meminta keadilan, berarti ada ketidakadilan yang berkaitan dengan kebutuhan pokok orang-orang. Ada perenggutan hak rakyat oleh para pemimpinnya, entah dari gaji, harga bahan pakan naik, atau hal lainnya yang membuat kesejahteraan rakyat tercekik.
Langue dan penanda dari adegan orang-orangan hitam itu, yaitu karung sebagai kebiasaan rakyat yang membawa sesuatu dari desa dengan karung, entah sayuran atau bahan-bahan makanan lainnya. Jerami penanda kebutuhan pokok masyarakat dan orang-orang hitam itu sendiri adalah gambaran kegelapan atau kemurungan kota.
Parolenya berbentuk adegan karung berisi tepung yang ditebarkan sebagai bentuk polusi dan jerami-jerami yang diangkat untuk meminta keadilan. Petanda, adegan ini mengisahkan orang-orang urbanisasi yang tercekik oleh permainan kapitalisme dan kemurungan kota yang gelap oleh kesejahteraan. pelelangan-pelelangan politik
PELELANGAN POLITIK
Satu lajur dengan adegan sebelumnya, pelelangan-pelelangan politik yang digelar menawarkan harga-harga kursi pejabat, lapangan pekerjaan, keresahan-keresahan rakyat, dan politik lainnya. Persoalan ini dapat ditakwilkan akan kegagalan pemerintah dalam mengelola kemakmuran dareah-daerah. Ini jadi sindiran halus, tetapi ketus bagi pemerintah yang masih memalingkan pandangan mereka dari rakyatnya.
Pelelangan politik bisa dikatakan sebagai langue dan penanda yang berarti gejolak ambisi tinggi untuk menduduki sebuah jabatan dengan uang besar. Sedangkan, pergelaran pelalangan-pelelangan politik itu sendiri sebagai parolenya. Secara petanda keseluruhan adegan ini mengartikan kegagalan pemerintah dalam menjaga kesejahteraan masyarakat, serta gejolak ambisi dan hasrat pemerintah yang membeli jabatan yang lebih tinggi.
Sampai juga dipenghujung adegan, seorang wanita yang menjerit terikat di bagian kedua tangan dan perut yang kemudian ditarik orang-orangan hitam. Tentu, adanya warna yang berantonim antara putih dan hitam yang mengartikan kegelapan dan kesucian bergulat (langue dan penanda).
Tali pengekang dari kemurungan kota, seperti siksaan bagi orang-orang desa (parole). Adegan ini bermakna kengerian, kecemasan, ketakutan, dan kemuraman yang bermuara dalam relung orang-orang urban dan pembungkaman terhadap jeritan-jeritan yang tak sampai ke telinga para pejabat (petanda).
Baca juga: Empat Kaki Baik, Dua Kaki Jahat: Simbol Kritik Kekuasaan dalam Rajas Tamas
AYAT AKHIR DARI EPILOG KOTA
kota yang tumbuh dari deru mesin dan ambisi, tapi siapa yang akan mendengar jeritannya?
Epilog Kota memotret jejak kesuraman kota. Teater yang menghidangkan sayatan di hati-hati penonton, serta gejolak emosi yang meletu-letup. Luka yang tersimpang di relung orang-orang urban kian berdenyut dan bergidik makin menjalar di tubuh-tubuh mereka. Jeritan-jeritan yang redam sampai harus terbungkam oleh apapun yang berkaitan dengan orang-orang berjas.
Orang-orang urban hendak mencari hidup lebih mapan ke luar desa menginjak kota, tetapi malah diguyur air mata pengangguran, dikelilingi asap-asap kendaraan, diiringi orkestra-orkestra klakson. Tiap harinya mulut hanya berkomat-kamit mengisahkan kegersangan kota. Berkeluh sampai benar-benar ada yang mendengar jeritannya, meski sudah dirapalkan seputik ayat terakhir puisi “kota yang tumbuh dari deru mesin dan ambisi, tapi siapa yang akan mendengar jeritannya?” tetap kehidupan harus berjalan layaknya waktu yang memutar.
Penulis: Ismail Nur Saputra
Editor: Allysa Maulia Rahman
Baca juga: Sebelum Benar-Benar Hilang, Revitalisasi Sastra Daerah Mesti Lekas Digaungkan
Baca juga: Halo, Maba! Yuk kenalan sama Istilah-Istilah di Perkuliahan!