Lelucon-Lelucon Ganjil Pergelaran Kesusastraan

SEBELUM REPOT-REPOT membuat akun pribadi Instagram menjadi akun paid promote, dagang makanan di kelas yang akhirnya dibeli sendiri karena belum sarapan, atau mengumpulkan baju bekas dan berharap semua laku terjual di Gasibu tiap hari Minggu, ada baiknya sempatkan waktu membaca tulisan ini dulu. Namun, saya yakin sekali sudah ada beberapa orang yang terburu-buru dan melakukan kegiatan dana usaha yang telah disebutkan di atas.

Saya memang mengamini kalau ini saat yang wajar untuk panik, terutama bagi kawan-kawan semester empat. Panik karena barangkali panitia besar belum terbentuk. Atau, barangkali dana yang diperlukan untuk mementaskan teater belum cukup. Atau, bila itu telah terpenuhi, barangkali naskah yang dipilih oleh sutradara tidak disetujui oleh banyak warga kelas. Atau, bila semua aspek itu sudah clear, barangkali ada yang masih bingung memikirkan harga jual tiket. Atau, semua itu tidak dipikirkan, karena yang terus-menerus ditekankan dalam pikiran kawan-kawan adalah: jangan sampai ada interupsi dari senior. Hehe.

Terkadang kita luput memikirkan hal-hal penting karena panik lebih awal menjemput. Kita lupa menanyakan pada dosen, sebetulnya bagaimana cara mengadaptasi cerpen, penggalan novel, atau bahkan puisi sekalipun menjadi naskah drama yang bagus untuk dipentaskan. Kita lupa menanyakan pada dosen “mengapa tidak ada materi adaptasi dalam buku yang dijual ke mahasiswa itu”. Atau, bahkan kita lupa menanyakan pada dosen, mengapa pergelaran sastra mesti berupa pementasan teater.

Sebetulnya saya tidak mempermasalahkan mengapa tidak ada materi tentang adaptasi naskah. Sebab, di angkatan sebelum-sebelumnya hal itu telah dilakukan, meski hasilnya buruk tidak maksimal. Semua itu tidak masalah, hanya saja mengapa yang ditekankan oleh dosen itu materi tentang pengalaman artistik dan pengalaman estetik? Padahal masalah yang dihadapi pertama kali adalah pengadaptasian genre sastra lain menjadi naskah drama. Syukur-syukur jika tidak diharuskan mengadaptasi genre lain menjadi naskah drama, dengan kata lain diberikan pilihan untuk mementaskan naskah drama langsung. Namun, saran saya, kawan-kawan mesti menanyakan itu pada dosen-dosen yang mengajar di kelas nanti. Tentu pertanyaan itu mesti dituturkan sebaik-baiknya, selembut-lembutnya. Sehingga efek sok kritis yang muncul di air muka kalian dapat dihilangkan ditekan.

Selain itu, harapan kawan-kawan untuk tidak diinterupsi senior sepertinya mesti pupus. Pasalnya, saya mendengar kabar bahwa departemen mengirimkan kawan-kawan semester enam untuk turun membantu manajemen produksi dan pementasan yang akan dilakukan oleh kawan-kawan semester empat nanti. Tak hanya dalam bentuk verbal, tetapi sudah dalam bentuk perubahan kurikulum. Begitu, kan? Hehe. Namun, mari lihat sisi positifnya: besar kecilnya bantuan dari kawan-kawan semester enam ini pasti sangat meringankan beban yang akan dihadapi.

Sebetulnya langkah yang dilakukan oleh departemen ini terlalu terburu-buru. Bukannya menyepelekan, saya yakin, dengan pengalaman yang telah didapatkan oleh kawan-kawan semester enam, bantuan itu akan nyata terasa. Namun, apakah mengirim bala bantuan, yang berasal dari orang-orang yang mungkin baru sekali saja mementaskan teater, akan efektif? Bukankah lebih efektif jika mengirim orang profesional di bidang teater? Sehingga baik kawan-kawan semester enam maupun semester empat, nantinya akan belajar bersama terkait manajemen produksi dan manajemen pementasan langsung dari ahlinya.

Jadi, daripada terus-terusan membaca ocehan saya ini, lebih baik lanjutkan kerja kalian. Teruslah membuat proposal dan mengajukannya ke instansi-instansi yang bisa membantu masalah pementasan. Mobil Indomaret, misalnya. Atau, pikirkanlah dulu suvenir apa yang akan diberikan pada penonton nantinya. Atau, mungkin bikin kaus panitia yang desainnya pergelaran banget? Bisa. Siapa tahu masalah-masalah pergelaran sastra ini bisa segera terselesaikan.[]

2020

Baca juga: Pergelaran Sanggar Sastra 2019: Memanusiakan Hewan dan Menghewankan Manusia

Penulis: Rauf Fauzy