Lomba Baca Puisi Piala Rendra diadakan kembali setelah 5 tahun vakum.

Piala Rendra Kembali Mendapatkan Kampiun Baru Setelah 5 Tahun Vakum

Nama W.S Rendra selalu menggema di dunia kesusastraan Indonesia. Beliau dijuluki sebagai “Si Burung Merak” karena penampilan-penampilannya selalu penuh dengan pesonanya sendiri. Karya-karyanya sarat akan kritik sosial yang tajam dengan penggunaan metafora yang menggelitik. Tak perlu diragukan lagi bahwa W.S Rendra banyak meninggalkan warisan yang cukup mendalam sampai hari ini. Salah satu dari warisan tersebut adalah Piala Rendra.

Selasa, 5 November 2024, Hima Satrasia FPBS UPI menggelar Gebyar Bahasa dan Sastra Indonesia (GBSI) yang berlangsung sampai hari Jumat, 8 November 2024, di Universitas Pendidikan Indonesia. Salah satu rangkaian dari acaranya adalah Lomba Baca Puisi Piala Rendra (LBPPR).

Jovita, selaku panitia dari GBSI, mengatakan bahwa tujuan dari acara tersebut adalah untuk melestarikan kembali kegiatan yang sudah 5 tahun vakum. Selain itu, ia juga berharap agar kegiatan ini bisa menjaga dan mewariskan karya-karya dari W.S Rendra kepada generasi baru.

“Kegiatan seperti ini tuh mendukung perkembangan sastra, karena dalam setahun kayaknya cukup jarang dan bisa dihitung jari kegiatan yang berbau sastra,” ujar Jovita.

Baca Juga: Kirab Kebudayaan GBSI

Pewaris Semangat Rendra

Desi Fitriani, Ketua Umum Hima Satrasia FPBS UPI sekaligus penanggung jawab dari GBSI, menceritakan awal-mula Hima Satrasia diberi amanah untuk melanjutkan semangat W.S Rendra. Ia mengatakan bahwa sejarah Piala Rendra memiliki beberapa versi.

“Awalnya, Rendra lagi berkelana di Indonesia. Tujuannya kurang tahu pasti. Tapi, tiba saatnya dia sampe di Bandung, terus menetap di Bandung. Nah pada saat itu, ia ingin membuat suatu ajang untuk melanjutkan perjuangannya atau spirit-nya,” ujar Desi.

Piala Rendra sendiri tidak langsung jatuh ke tangan Hima Satrasia. Banyak proses campur tangan beberapa orang, di antaranya seperti Iman Soleh dari CCL dan Prof. Dr. Sumiyadi, M.Hum yang pada saat itu masih menjadi mahasiswa pada tahun 80-90an.

“Hima Satrasia bisa terpilih menjadi pemegang amanah karena pada zaman itu temen-temen Hima Satrasia sering turun ke jalan. Orasi, seperti baca-baca puisi, dimanapun yang mereka sukai,” ungkap Desi.

Bentuk Piala Rendra yang sekarang sebetulnya bukan bentuk pertamanya. Desi mengatakan bahwa bentuk pertama Piala Rendra berbahan kayu yang cukup besar. Kemudian, diubah bentuknya menjadi burung merak untuk merepresentasikan W.S Rendra itu sendiri.

Baca Juga: Berkenalan dengan Burung Merak yang Berkicau untuk Keadilan, W.S. Rendra

Pawang Baru Piala Burung Merak

Dalam pelaksanaanya, LBPPR membagi perlombaan menjadi 2 kategori, yaitu kategori umum dan kategori pelajar. Lalu juara pertama dari 2 kategori tersebut akan dipilih salah-satunya untuk menjadi pemenang dari Piala Rendra.

LBPPR pada tahun ini dimenangkan oleh Bagia Nufandira (21 tahun) dari Lembang. Ia merupakan seorang mahasiswa semester 5 jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

“Saya melihat Piala Rendra sebagai pembentukan karakter dan skill, karena saya mengalami betul dari kelas 6 SD sampai sekarang,” ujar Bagia.

Bagia sendiri sebelumnya merupakan juara Piala Rendra pada tahun 2015. Ia sangat bersyukur karena berhasil memenangkan piala dari penyair favoritnya, yaitu W.S Rendra.

“Saya merasa tidak menang sendiri, karena semuanya bantuan dari orang-orang yang saya cintai. Makanya, kegiatan sastra seperti ini harus dilestarikan. Panjang umur Sastra Indonesia,” ungkap Bagia.

Dalam penjuriannya, GBSI memilih 3 orang yang bergiat di dunia kesusastraan untuk menilai para peserta. Di antaranya ada Willy Fahmy Agiska, penyair asal Ciamis, Wida Waridah, penulis puisi dan cerpen, dan terakhir Peri Sandi Huizche, yang dikenal karena kepiawaiannya dalam menulis dan membaca puisi.

Willy mengemukakan bahwa kriteria dalam memilih pemenang Piala Rendra salah satunya adalah dari kerja tafsiran. Menurutnya, puisi tidak hanya kalimat, tapi ada kerja pemaknaan dan penafsiran.

Ia juga memberi contoh menggunakan kata “astaga” dari puisi Sajak Tangan karya W.S Rendra. Kata tersebut bisa memiliki kesan yang berbeda. Bisa menjadi ekspresi kaget atau kesal atau yang lainnya.

“Ada tonasi, mimik tubuh, gesture, yang bisa digunakan dalam kerja pemaknaan atau tafsiran suatu puisi. Kita membaca puisi itu belajar empati, wujud empati terhadap apapun,” ujar Willy saat memberi kata pengantar sebelum mengumumkan semifinalis.

Baca Juga: Lima Rekomendasi Puisi-Puisi Fenomenal W.S. Rendra yang Patut Dibaca

Author: Reihan Adilfhi Tafta Aunillah
Editor: Alma Fadila Rahmah