FOPO atau Fear Out of Other People's Opinions Bisa Membegal Potensi Kamu

FOPO Bisa Membegal Potensi Kamu

Pernah nggak sih kamu merasa takut terhadap opini orang lain? Nah, kondisi ini dikenal dengan istilah FOPO atau “Fear of Other People’s Opinions”. Selain istilah FOMO, akhir-akhir ini FOPO juga makin ramai dibahas di media sosial dan obrolan sehari-hari. Lalu, apa sih sebenarnya FOPO itu?

PDKT dengan FOPO

Berbeda dengan FOMO (Fear of Missing Out) yang berarti takut ketinggalan tren, FOPO merupakan rasa takut yang muncul ketika kamu terlalu memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang dirimu. Contohnya kamu mau pakai baju warna cerah, tetapi langsung insecure karena takut orang lain akan berkomentar negatif atau kamu sebenarnya punya ide keren di kelas, tetapi memilih diam karena khawatir dianggap aneh.

Banyak orang di luar sana juga merasakan hal yang sama, apalagi di era digital. Tekanan untuk tampil ‘sempurna’ di mata orang lain bisa berujung pada overthinking.

Baca Juga: Perokok Bijak Hanyalah Omong Kosong – Literat

Kenapa Bisa Terjadi?

FOPO biasanya muncul karena beberapa alasan. Pertama, ekspektasi sosial yang tinggi. Orang-orang cenderung merasa harus memenuhi standar tertentu agar diterima di dunia saat ini yang serba cepat dan kompetitif. Oleh karena itu, secara langsung maupun tidak langsung, orang dituntut untuk menjadi ‘sesuatu’ dengan bersandar pada standar tersebut. Padahal standar tersebut tentu tidak bisa dipukul rata, bahkan terkadang hanya asumsi belaka.

Kedua, media sosial. Siapa sih yang nggak merasa minder melihat postingan orang lain terlihat bahagia terus, tampil dengan baju dan celana yang selalu matching, serta feed Instagram yang selalu aesthetic? Padahal apa yang terlihat di layar belum tentu mencerminkan kenyataan. Terlebih dalam setiap unggahan, suka atau komentar bisa memicu perasaan cemas akan bagaimana orang lain memandang kamu. 

Sebuah penelitian berjudul Adiksi Media Sosial, Depresi, Kecemasan, dan Stres Pada Generasi Z di Era Society 5.0 membuktikan adanya hubungan yang signifikan antara adiksi media sosial dengan depresi, kecemasan, dan stres pada generasi Z di zaman sekarang. Artinya, makin  tinggi  adiksi  generasi  Z dalam menggunakan media sosial, maka makin tinggi pula tingkat depresi, kecemasan, dan stres yang dimiliki. Begitu pula sebaliknya.

Ketiga, spotlight effect. Ini merupakan kondisi psikologis ketika seseorang merasa selalu diperhatikan. Yupziee, sesuai namanya, orang yang merasakan spotlight effect selalu merasa ada ada ‘sorotan lampu’ yang mengarah kepadanya setiap saat. Padahal kenyataannya nggak selalu. Orang lain mungkin tidak terlalu memperhatikan atau bahkan tidak menyadari keberadaan kamu sebanyak yang kamu kira.

Gilovich, Medvec, dan Savitsky (2000) melakukan sebuah penelitian menggunakan lima studi kasus. Pada studi kasus pertama dan kedua, peserta diminta mengenakan kaus bergambar yang mencolok atau memalukan. Mereka melebih-lebihkan jumlah orang yang akan mengingat gambar tersebut. Studi kasus ketiga, peserta dalam diskusi kelompok melebih-lebihkan seberapa menonjol ucapan positif dan negatif mereka bagi peserta diskusi lainnya. Sementara pada studi kasus keempat dan kelima, peneliti menggunakan teori anchoring and adjustment. Hasilnya membuktikan peserta cenderung ‘berlabuh’ (anchor) pada pengalaman subjektif mereka sendiri (seperti perasaan cemas atau fokus pada diri sendiri) dan gagal menyesuaikan (adjust) perspektif untuk memahami bahwa orang lain tidak sefokus itu pada mereka.

Kalau masih bingung, begini sederhananya:

  • Situasi: Kamu memakai baju baru dan merasa semua orang memperhatikan.
  • Anchoring: Kamu sangat fokus pada baju itu dan merasa baju tersebut mencolok.
  • Adjustment: Kamu menebak jika orang lain memperhatikan, tetapi penilaianmu masih dipengaruhi oleh fokusmu sendiri.
  • Hasil: Kamu mengira banyak orang yang memperhatikan, padahal kenyataannya tidak.

Apa Dampak FOPO? 

FOPO bisa buat kamu kehilangan jati diri. Kalau terlalu sering memikirkan opini orang lain, kamu bisa jadi sulit untuk mengambil keputusan sendiri. Dilansir dari Forbes, Michael Gervais, seorang psikolog yang fokus pada hubungan antara pikiran dan kinerja manusia, mengungkapkan bahwa FOPO merupakan epidemi tersembunyi yang serius dan dapat membatasi potensi manusia. 

For your information, epidemi merupakan penyebaran penyakit secara cepat ke sejumlah besar orang dalam waktu singkat. Pada konteks ini, epidemi tersembunyi merujuk pada masalah yang luas dan berdampak besar pada banyak orang, tetapi tidak disadari.

Balik lagi ke Michael Gervais, menurutnya kecemasan terhadap pendapat orang lain telah berkembang menjadi obsesi yang tidak sehat, tidak logis, dan tidak bermanfaat. Akibatnya, orang yang terjebak dalam kondisi ini sering kali kehilangan rasa percaya diri sehingga kemampuan mereka untuk melakukan sesuatu secara maksimal juga menurun.

Kondisi ini bisa membegal potensi kamu. Ide-ide yang ada di kepala, rencana-rencana yang tinggal kamu eksekusi, bisa jadi tertunda atau bahkan urung terlaksana hanya karena opini orang lain. Tentu tak ada jaminan untuk berhasil melakukan apa pun, tetapi barangkali bisa jadi lebih buruk apabila melewatkan kesempatan untuk melakukannya.

Gimana Cara Mengatasi FOPO?

Nah, ini bagian yang perlu kamu tahu. Ada beberapa cara yang bisa kamu coba buat mengatasi FOPO, yaitu:

  1. Kenali dan Terima Diri Sendiri: Kamu adalah kamu. Setiap orang punya keunikan masing-masing. Jangan sampai opini orang lain membuat kamu lupa siapa dirimu sebenarnya.
  2. Kurangi Penggunaan Media Sosial: Detoks dari media sosial bisa membantu kamu untuk lebih fokus pada hal-hal yang benar-benar penting.
  3. Latih Keberanian: Mulailah dengan hal-hal kecil. Misalnya, pakai baju yang kamu suka tanpa memikirkan komentar orang untuk kamu lebih terbiasa. Terkadang bagus atau tidaknya sesuatu, hanya perihal terbiasa atau tidak.
  4. Cari Dukungan: Ceritakan perasaanmu ke teman dekat atau keluarga. Mereka bisa jadi support system yang membantu kamu merasa lebih percaya diri.

Baca Juga: Dialog Perdamaian dan Perempuan sebagai Narasi Kehidupan – Literat

FOPO memang sesuatu yang nyata dan bisa dialami oleh siapa saja. Namun, jangan sampai opini orang lain justru menjadi penghambat ketika kamu melakukan sesuatu atau bahkan menjegal mimpi besar kamu. Ingat, hidupmu adalah milikmu, bukan milik orang lain, apalagi harus bergantung pada opini mereka. 

Terlepas dari benar atau salah, kamu juga harus menyadari bahwa tidak semua orang selalu memperhatikan apa yang kamu lakukan. It’s okay, untuk pakai baju dengan warna cerah atau gelap, tampil dengan rambut gaya baru, memakai make-up untuk pertama kalinya, mengunggah feed Instagram dengan biasa-biasa saja, ataupun mulai berolahraga lagi setelah sekian lama. Tak ada yang salah dengan semua itu. Toh, semua orang juga berfokus pada diri mereka sendiri. Namun, belajar untuk tidak FOPO bukan berarti menutup telinga sepenuhnya dari pandangan orang lain. Adakalanya kamu harus mendengarkan apa yang mereka katakan untuk terus menjadi lebih baik. Hanya saja, jangan sampai kendalinya berada pada orang lain. Jangan sampai setir di hidupmu justru dikemudikan oleh orang lain. 

“You have power over your mind—not outside events. Realize this, and you will find strength.”

– Marcus Aurelius.

Lakukan sesuatu dengan segala risiko yang ada, ambil keputusan, dan bertanggung jawablah dengan hidup kamu sendiri. Kalau pun salah, maka kamu selalu berhak untuk terus belajar.

Penulis: Hilmi Aziz Rakhmatullah

Editor: Mahmudah Salma Nur Iftikhar

Referensi:

Forbes. Is Fear Of Other People’s Opinions Holding You Back?

Research Gate. Konferensi Mahasiswa Psikologi Indonesia 3.0: Adiksi Media Sosial, Depresi, Kecemasan, dan Stres pada Generasi Z di Era Society 5.0.

National Library of Medicine. The Spotlight Effect In Social Judgment: An Egocentric Bias In Estimates Of The Salience Of One’s Own Actions And Appearance.