Indonesia dinobatkan sebagai satu di antara negara dengan tingkat literasi terendah di dunia. Namun, rendahnya tingkat literasi ini mungkin bukan sepenuhnya disebabkan oleh minat baca masyarakat, melainkan oleh keterbatasan akses terhadap buku-buku berkualitas. Tingginya harga buku menjadi penghalang utama bagi banyak masyarakat untuk mendapatkan bahan bacaan. Hal ini mendorong masyarakat memilih alternatif lain seperti mengakses buku bajakan.
Buku bajakan adalah buku yang dicetak atau didistribusikan tanpa izin dari penulis maupun penerbit. Buku-buku ini dapat dijual dalam bentuk fisik maupun digital dengan harga yang jauh lebih murah bahkan gratis. Harga murah tersebut memungkinkan karena pembajak tidak membayar pajak, royalti kepada penulis, atau biaya distribusi resmi.
Fenomena buku bajakan terus berkembang terutama setelah hadirnya platform digital yang mempermudah penyebaran buku bajakan. Menurut survei Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada 2021, sekitar 75 persen penerbit di Indonesia mendapati buku yang mereka terbitkan telah dibajak dan dijual di pasaran. Angka ini menghasilkan kerugian yang tidak main-main, yakni hingga ratusan miliar rupiah.
Mengapa Buku Bajakan Diminati?
Faktor utama yang mendorong maraknya penggunaan buku bajakan adalah ekonomi. Harga buku di Indonesia sering kali tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat. Sebagai perbandingan, harga buku lokal dapat berkisar antara Rp50.000 hingga Rp150.000, sedangkan pendapatan rata-rata penduduk kelas menengah ke bawah masih jauh dari cukup untuk menjadikan buku sebagai prioritas.
Selain itu, kemudahan akses melalui internet juga menjadi pemicu. Buku digital bajakan yang berbentuk PDF tersebar luas di berbagai platform daring. Beberapa di antaranya bahkan dibagikan secara gratis dengan dalih mempermudah akses literasi bagi kalangan kurang mampu. Meskipun terdengar seperti “Robin Hood”, tindakan tersebut tetap melanggar hukum dan tidak dapat dibenarkan.
Dampak Pembajakan Buku
Dampak utama dari pembajakan buku adalah kerugian ekonomi bagi para penulis dan penerbit. Penulis tidak menerima royalti yang seharusnya menjadi hak mereka atas setiap buku yang terjual. Royalti adalah sumber pendapatan penting, terutama bagi penulis independen atau mereka yang baru memulai kariernya.
Kerugian ini juga berdampak secara berantai. Penerbit yang kehilangan pendapatan akan kesulitan membiayai produksi buku berikutnya. Sementara pekerja percetakan, distributor, dan toko buku turut terancam kehilangan pekerjaan. Jika kondisi ini dibiarkan, industri penerbitan bisa mengalami stagnan bahkan kebangkrutan.
Namun, sebagian orang berpendapat bahwa buku bajakan dapat menjadi solusi sementara untuk meningkatkan budaya membaca di tengah keterbatasan ekonomi. Paulo Coelho, penulis novel terkenal asal Brasil dalam cuitannya ia mengatakan bahwa tidak ada penghargaan yang lebih besar bagi seorang penulis selain karyanya dibaca oleh banyak orang, meskipun ilegal. Tapi, pandangan ini tentu tidak berlaku bagi semua penulis, terutama mereka yang sangat bergantung pada penjualan buku untuk memenuhi kebutuhan hidup.
“Some call this ‘piracy’. I call it a medal to any writer who understands that there are no better reward than to be read”. (isi cuitan akun X (Twitter) Paul Coelho menanggapi postingan penjualan buku bajakan).
Baca Juga: Metode Meningkatkan Minat Literasi: Pesta Buku Isola GBSI × Baca Bareng UPI
Hukum Pembajakan Buku di Indonesia
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta telah mengatur dengan tegas perlindungan terhadap kekayaan intelektual. Pasal 1 Ayat 23 menyatakan bahwa pembajakan adalah penggandaan dan pendistribusian buku tanpa izin untuk memeroleh keuntungan ekonomi. Pelaku pembajakan dapat dikenai hukuman pidana hingga 10 tahun penjara dan/atau denda sebesar 4 miliar rupiah.
Nyatanya, hukum yang mengatur tentang pembajakan buku ini masih lemah. Buku-buku bajakan yang disebarkan secara daring berupa file PDF masih sering lolos dari pelanggaran hak cipta. Pelaku pembajakan menggunakan UU ITE untuk memvalidasi tindakannya yang mengatakan bahwa teknologi informasi harus dimanfaatkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia.
Pelaku mengeklaim bahwa tindakannya benar karena tujuannya adalah untuk mengedukasi masyarakat. Lalu bagaimana dengan UU Hak Cipta? Dalam Pasal 1 Ayat 23 dijelaskan bahwa pembajakan adalah penggandaan dan pendistribusian buku tanpa izin untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Sedangkan, banyak pembajak buku menyebarkan file PDF buku-buku bajakannya secara gratis. Secara hukum, tentu saja hal tersebut tidak tergolong pelanggaran hak cipta. Tindakan tersebut jelas melanggar hak kekayaaan intelektual dan berpotensi merugikan industri secara luas.
Alternatif untuk Mengatasi Buku Bajakan
Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan dan bekerja sama dengan platform daring untuk menindak penjualan buku ilegal. Meskipun pembajakan buku sulit dihentikan sepenuhnya, setidaknya ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampaknya. Satu di antaranya adalah meningkatkan akses masyarakat terhadap buku legal dengan harga terjangkau. Misalnya melalui aplikasi seperti iPusnas yang menyediakan layanan pinjam buku digital secara gratis.
Selain itu, perpustakaan umum juga perlu ditingkatkan baik dari segi koleksi buku maupun fasilitasnya agar masyarakat lebih terdorong untuk memanfaatkan layanan tersebut. Komunitas membaca juga dapat berperan penting dengan menyediakan buku-buku legal untuk dibaca bersama.
Pemerintah dan industri penerbitan juga perlu terus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menghargai hak cipta. Meningkatkan kesadaran akan dampak buruk dari pembajakan buku dapat menjadi langkah awal untuk mengubah kebiasaan masyarakat.
Simpulan
Pembajakan buku merupakan tindakan tidak terpuji yang dapat menjadi dilema besar, antara keinginan meningkatkan literasi dan menghargai hak cipta. Mahalnya harga buku tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan etika dan hukum. Dukungan terhadap buku legal akan membantu menciptakan ekosistem literasi yang sehat. Mari kita baca buku dengan bijak dan dukung karya legal untuk masa depan literasi yang lebih baik.
Penulis: Wirza Iqbal
Editor: Diana
Baca Juga: Senja Anugrah: Penutupan Gebyar Bahasa dan Sastra Indonesia