
Pada Minggu, 23 Maret 2025, Front Mahasiswa Nasional (FMN) menggelar Mimbar Bebas di depan Gedung Sate untuk menolak UU TNI. FMN berperan sebagai fasilitator bagi massa aksi dari berbagai kalangan, baik mahasiswa maupun masyarakat umum, untuk menyuarakan keresahan mereka.
Fadel, selaku dinamisator lapangan, mengungkapkan bahwa kegiatan ini bertujuan menjaga semangat perlawanan massa aksi di Bandung, setelah dua hari aksi sebelumnya. “Supaya gerakan di Bandung ini tetap panas dan terus berkelanjutan sampai UU TNI ini dicabut,” ungkapnya. Selain itu, ia berharap UU TNI dapat segera dicabut. “Kalau bisa, saat saya sedang berbicara sekarang ini, UU TNI bisa dicabut,” tambahnya.
Baca juga: UU TNI: Potensi Hilangnya Kebebasan Berekspresi
Mahasiswa dan Warga Angkat Suara: Poster Diangkat, Pengeras Suara Menggema, Tolak UU TNI!
Kegiatan ini dimulai sekitar pukul 13.30 siang. Massa aksi yang datang secara bersamaan dari kampus UPI langsung membentangkan spanduk serta mengangkat poster berisi penolakan terhadap UU TNI dan militerisasi. Sepanjang aksi, seruan seperti, “Kembalikan TNI ke Barak!” terus menggema, menegaskan penolakan terhadap UU TNI.
Setelah kegiatan ini dibuka, massa aksi bergantian memakai pengeras suara di depan barisan untuk manyampaikan pendapat mereka. Selain mahasiswa, aksi ini juga dihadiri oleh masyarakat umum, salah satunya Abi Aiman, yang datang bersama dua temannya dari Tegalega untuk turut menyuarakan keresahannya terhadap UU TNI.
Beberapa massa aksi maju mengambil pengeras suara yang ada di depan mereka dan berbicara secara bergantian. Meski berbeda cara dalam menyuarakan keresahan, massa aksi memiliki tujuan yang sama, yakni menuntut pencabutan UU TNI agar TNI kembali pada fungsi semestinya tanpa campur tangan dalam urusan sipil.
Baca juga: Vandalisme Tidak Lahir dari Ruang Hampa, Tembok Menjadi Saksi Kecacatan Demokrasi
Menyuarakan Penolakan UU TNI dengan Performance Art
Selain menyampaikan secara langsung, beberapa massa aksi mengungkapkan keresahannya melalui penampilan kebudayaan, berupa pembacaan puisi dan performance art. Pembacaan puisi dilakukan di sela-sela aksi massa lainnya. Sementara untuk performance art sendiri dilaksanakan di akhir kegiatan.
Performance art dilakukan oleh seorang seniman yang tidak mengungkapkan identitasnya. Ia mengajak massa aksi untuk berpasangan dan memegang tali rafia dalam formasi lingkaran. Setelah itu, ia meminta bantuan dari massa aksi lainnya untuk memasang kertas-kertas berisi keresahan terhadap kondisi sosial-politik saat ini, seperti anggaran Polri yang menggelembung, dwifungsi TNI, dan berbagai situasi suram lainnya. Setelah semua kertas terpasang, massa aksi diminta untuk mengguntingnya, lalu menggantinya dengan kertas baru yang memuat catatan kekejaman terhadap rakyat, seperti kriminalisasi warga Dago Elos, penggusuran Tamansari, pemerkosaan massal tahun 1998, tragedi Semanggi, dan lain sebagainya.
Pada saat yang sama, seniman berbaju putih itu meminta massa aksi untuk menuliskan nama-nama pelaku kekejaman, seperti Gatot Nurmantyo dan Listyo Sigit, di bajunya. Setelah baju itu penuh dengan tulisan, ia melepasnya, lalu membiarkan massa aksi mengguntingnya. Setelah itu, ia mulai memukul-mukuli aspal dengan martil, di atasnya berserakan potongan kertas dan sisa-sisa baju yang telah digunting. Penampilan diakhirinya dengan memakan satu per satu kertas bertuliskan kekejaman terhadap rakyat hingga menampilkan ekspresi mual. Sementara itu, tali rafia yang dipegang oleh massa aksi dipotong satu per satu.
Setelah penampilan performance art selesai, kegiatan ini ditutup. Massa aksi kemudian mengumpulkan sampah hasil penampilan tadi dan membakarnya sebagai bentuk kemarahan terhadap kekejaman yang selalu terjadi terhadap rakyat.
Penulis: Rihan Athsari
Editor: Muhammad Hilmy Harizaputra