Sebagai catatan, ini bukan esai ekonomi & bisnis.
Dan esai ini dibuat sambal mendengarkan Album baru Valla-Gemini, tentu anda bisa mendengarkannya juga di spotify
Persoalan Ekonomi
Bagi warga Britania Raya, sebuah merk coklat Bernama Freddo adalah salah satu barometer keuangan nasional. Saya kira ini hanya akal-akalan negara bagian pertama dalam memperolok lebih jauh daya pikir poskolonial kita, atau cuman sekadar urban legend, tapi ternyata hal itu tidak mengada-ngada! Usut punya usut, Freddo ini merk coklat termurah yang beredar di sana. Memang sedari penampakannya saja kita bisa menilai, Freddo ini lebih mirip kemasan makanan ringan KW3 di warung dekat rumah. Walau bagaimanapun, kita tak bisa menyangkal fakta besar yang tlah disebutkan di atas: freddo adalah barometer keuangan nasional Inggris! Harga Freddo standar adalah £0.20 (Rp4000), kalau tiba-tiba harganya jadi £0.50 (Rp10000) sudah bisa kita pastikan bahwa sebagian besar populasi negara Elizabeth itu bakal ketar-ketir, gusar, dan resah.
Mendengar fakta itu, ada tiga buah pikiran muncul di dalam kepala saya: 1) Kok bisa bangsa semaju itu yang Impreiumnya mencakup 1/3 jagat dunia masih berpikir setolol itu? 2) Apakah ini bukti dari sebuah kesuksesan system perhitungan harga yang begitu ciamik (sampai bisa menyimpulkan fenomena moneter dengan sesederhana harga coklat). Dan 3) Apakah karena mereka sudah terlalu maju, sampai-sampai tak perlu terlalu khawatir terhadap harga karya sastra ataupun karya seni yang bisa dibeli dengan harga gratisan.
Bukan apa-apa, harga sebuah buku di Inggris tak kurang dari £7 (Rp140.000) baik yang cetak maupun yang elektronik. Untuk yang elektronik mungkin akan lebih murah dua sampai tiga angka di bawah buku cetaknya. Terlepas dari kualitasnya, tapi itulah standar harga sebuah buku di Britania Raya. Tentu saja, buku yang makin berkualitas maka semakin tinggi harganya. Sukar sekali menemukan buku bagus dengan muatan yang segar dengan harga kurang dari standar, apalagi yang sebatas harga sebuah Freddo.
Dengan fakta-fakta di atas, tentu saya tak habis pikir kalau di Indonesia, ada buku yang harganya bahkan setengah dari Freddo. Buku ini adalah Katebelece Roti Kepada Pagi karya R. Abdul Azis dan Keluarga Bahagia karya Angga PSP (Bassist Valla yang baru rilis albumnya itu).
Tentu saya tak bisa menyembunyikan fakta bahwa perbandingan yang dihadirkan barusan tidaklah vis a vis dengan kondisi ekonomi ataupun literasi Indonesia. Toh sedari dunia saja kita berbeda 2 lantai, sudah jelaslah kalau tataran ekonominyapun berbeda jauh. Namun sialnya, harga sebuah buku di sini tak lebih dari setengah harga coklat paling anjlok di Inggris.
Tapi masalah ini bukan hanya masalah perbandingan dua negara dan ekonominya. Ini adalah urusan harga. Bahkan untuk ukuran standar harga Indonesia sendiri, kedua buku ini adalah ¼ secangkir kopi di kafe, ½ harga dari satu paket makanan di warteg, atau setara 3 batang rokok yang jika dikonversikan dihisap terus menerus tanpa henti bisa habis dalam 45 menit saja.
Membaca karya bagus adalah pilihan, kenapa memilih tidak membaca kalau yang ada di depan mata (di karyakarsa.com) harganya tak lebih dari setengah, bahkan seperempat dari beberapa aktivitas yang berlalu begitu saja? Kurang ajar sekali!
Baca juga : Konversi Kampus Mengajar: Ada yang Iri Tapi Tak Dengki
Persoalan Bacaan Bagus dan Kritik Atas Puisi Jelek
Terlepas dari Angga yang kurang percaya diri, dengan menyebut karyanya sebagai pwisi jelek. Sekeras apapun Angga mau bilang karyanya jelek, tapi saya akan tetap bilang bahwa karya-karya di Keluarga Bahagia adalah kacamata paling jujur untuk melihat berbagai peristiwa hari ini.
Lihatlah betapa konsistennya Angga bilang kepada kita bahwa ini adalah kumpulan puisi jelek. Tapi, tunggu sebentar. Puisi jelek? Rasa-rasanya tidak asing mendengarkan puisi jelek akhir-akhir ini. Rasanya seperti mendengar sebuah festival huru-hara instastory yang dibikin Afrizal Malna tengah tahun ini. Afrizal cs. seakan memberikan blueprint pada kita semua: “Hai kawan-kawankuh yang budiman, ini dia standardisasi puisi jelek, terima kasih, muach”. Ya, gaya semacam itu juga yang jadi katalis stilistik karya-karya yang terpengaruh dari festival tersebut.
Dari berbagai puisi jelek (yang lebih mirip ke eksperimental, karena festival puisi jelek tidak mengikutsertakan kaum-kaum puisi jelek di langfess, atau base-base sastra sachet lainnya). Tapi karya Angga adalah pengecualian. Karya-karya ini mau disebut eksperimental-segala-elemen-masuk juga tidak, mau disebut menggugat estetika sastra Indonesia yang dihegemoni juga tidak. Angga sudah melampaui tahapan itu, hal-hal yang barusan itu hanyalah sebatas recehan baginya, puisinya tidak menghardik siapa-siapa di estetika. Puisi-puisinya menyerang keseharian. Kalau disepertikan, cobalah ingat-ingat kawan kecilmu yang memutuskan memanggil dirinya sendiri jelek, dan tidak pede menggunakan pakaian adat di hari kartini, tapi tampak flawless tanpa mesti dipermak sana-sini. Kiranya begitulah puisi Angga. Buku bagus ini berisi 12 puisi. Kalau kita bedah semuanya di sini, enak sekali anda. Ongkang-ongkang kaki, membaca paper ini, menikmati karya bagus yang harganya sepermpat cangkir kopimu secara gratisan. Tidak, saya tidak akan membiarkan itu terjadi. Saya akan menunjukan kegemilangannya lewat satu puisi saja. Satu puisi yang membuat benak saya berteriak kurang ajar saat pertama kali membacanya.
Keluarga Bahagia
Di belakang mobil orang-orang
Tak percaya diri tertempel
Sticker Happy Family
Ayah, Bunda, Dinda
dan Dandi terlihat
rapi senyumnya.
Senyum yang palsu
Senyum yang tak pernah
kelihatan di rumah
//
Sering ‘kan melihat stiker ini? Entah anda mengalaminya juga atau tidak, seringkali ketika melihat stiker yang semacam ini, saya menebak-nebak apakah keluarga itu benar bahagia atau tidak. Sekali waktu pernah saya tengok keluarga yang menempel stiker ini berjalan menuju mobilnya selepas berbelanja di mall. Si ibu menenteng tas H&M, si anak bungsu membawa kantong kresek besar mainan Nerf terbaru, si kakak dengan berbagai pernak pernik Strawberry Shortcake-nya, dan si ayah dengan baju polo berjalan cepat memencet tombol kunci mobil. Semuanya tampak sibuk dengan diri sendiri, dan otot wajahnya terlihat lelah karena jarang tersenyum. Mari kita lanjut.
Dinda sibuk marah-marah
ke entah siapa di sosial media
Mencari perhatian yang tidak dia
dapat di rumah.
Dandi sibuk mencari
Selangkangan yang bisa ia cium
Lalu seenaknya pergi
Ayah sibuk memukul Bunda
yang tak becus membuat
nilai sekolah anak jadi bagus.
Bunda sibuk memaki Ayah
yang tidak bisa mengisi
Louis Vuitton di kamar Bunda.
Tak pernah ada ketenangan
Di rumah mereka, kecuali
Saat mereka semua tertidur
Atau saat mereka berada
Di dalam Sticker.
Di konteks ini kita bisa melihat realitas keluarga kelas menengah, yang mungkin tak setajir keluarga yang pernah saya lihat di mall waktu itu. Sedikitnya, berbagai ketidakbahagiaan di happy family ini bisa kita tengok sebagai kepalsuan dari tampang stabil realitas sosial kita hari ini.
Konflik yang sering kita temui ini adalah ekspektasi-ekspektasi sosial dalam susunan keluarga yang mengakar pada kapitalisme hari ini. Beberapa fakta tersebut kita bisa tengok dalam penjelasan Engels menyoal keluarga: Dominasi suami kepada istri, lalu ekspektasi istri dalam konsumerisme, sekaligus berbagai kenakalan yang dilakukan Dandi, sekaligus amarah Dinda atas kondisi populer-tak-populer, yang adalah akumulasi dari relasi sosial keluarga dalam satu sirkuit kapital.
Baca juga : Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan.
Persoalan Rangkuman dan Mata Lain Seorang Penulis
Sebelum saya mencari apa itu Katebelece di internet sebagaimana anak-anak di generasi saya melakukannya, saya bertanya dulu ke ibu. Apa itu Katebelece? Dengan semangat menggebu-gebu ibu saya menceritakan pengalamannya soal katabelece, dia menjelaskan kalau Katebelece itu surat sakti. Biasanya dipakai untuk berhadapan dengan birokrasi yang kelabut dan membuang-buang usia. Katebelece bisa jadi solusi bagi orang-orang gedongan untuk keluar dari neraka itu.
Lepas itu, saya membaca puisi-puisi di buku Katebelece Roti Kepada Pagi. Ow! Ya! Ini dia surat sakti ihwal peristiwa sehari-hari!
Tapi, entah karena trust issue kepada penjelasan ibu saya sebetulnya yang meyakinkan, atau memang cross-check harus dilaukan, saya kemudian mencari makna lain katebelece di internet. Oh, ternyata, selain surat sakti, katebelece bisa berarti juga surat pendek untuk memberitahukan hal yang seperlunya saja. Saya menemukan pula bahwa Katebelece berasal dari istilah belanda Kattebeletje, yang artinya sama. Kata ini beberapa kali disinggung di sidang DPR dan Pengadilan medio 2010-2015 yang menyangkut Angelina Sondakh, Hambalang dan lain-lainnya.
Dengan seperangkat pengetahuan itu, saya jadi paham berbagai maksud yang ada di berbagai katebelece dalam buku ini. Surat-surat sakti di sini banyak perihalnya, entah kepada yang terkasih, atau kepada kawan ataupun kepada alam sekalian. Konsep buku puisi seperti ini sebenarnya tak asing, banyak pula yang mengonsepkan buku puisi selayaknya catatan harian, surat, dll. Tapi di luar dugaan, Katebelece Roti Kepada Pagi bukan hal gula-gula seperti itu. Ini adalah surat sakti!
Jangan salah, jalannya sejarah Indonesia tak lepas dari berbagai surat sakti. Soekarno diganti juga dengan surat sakti, kesepakatan-kesepakatan reformasi banyak juga dihiasi dengan surat sakti, orang masuk kerja dengan surat sakti, anak baru lahir juga bisa berbuah surat sakti kalau misalkan bapak ibunya tak mau ribet berbagai urusan administrasi.
Konsep surat sakti untuk berbagai urusan sehari-hari bagi saya adalah mata seorang penulis. Mata seorang penulis bukan hanya melihat hal-hal sebagaimana kotak adalah kotak, dan cinta adalah serangkaian makan malam dan jalan-jalan. Meskipun seorang penulis tetap akan melakukannya juga, tapi cinta yang ini lain. Mari kita tengok saja satu.
“Hey kenapa tidak 2 atau 3?” tanyamu,
Maka akan ku jawab “beli dan baca sendiri, dasar lintah berkaki dua”.
Katebelece Pecel Lele Kepada Tanganmu
ini ringkuk tubuhku, cubitlah yang paling garing
ciciplah ini gurih
biar lepuh cokelat tubuhku, biar tinggal tulang nanti
resapi aku sebagai nikmat terakhir
dan biar disediakan secukupnya sambal di gigir
kelak lidahmu berjelir
Seberapa sering sih kita mengabaikan kenikmatan yang biasa kita jumpai sehari-hari? Lalu membiarkannya terbenam begitu saja dengan berbagai rutinitas, sehingga yang tersisa hanyalah remah-remah sedih yang dikunyah saban penghujung hari?
Dalam posisi saya menulis ini, terhitung sudah setahun kiranya tak makan pecel lele. Gara-gara puisi ini, hasrat kepingin mencicip gurih yang paling garing itu meronta-ronta dan siap memberontak kalau tak diberi. Memang dasar mata penulis, bisa saja menyerang berbagai sisi yang tak disangka-sangka, tak diduga-duga.
Sebenarnya R. Abdul Azis bisa saja membeberkan berbagai kenikmatan Pecel Lele dengan diksi-diksi kenikmatan yang lain, seperti: oh, Pecel Lele, nikmat yang tak terbanding di malam yang pupur ini. Dengan kesedihanku yang larut blablabla. Tapi tidak. R. Abdul Azis tidak perlu sehambur itu untuk menjelaskan kenikmatan surgawi dari ekor lele goreng yang renyah itu.
/Cubitlah yang paling garing/ adalah deskripsi paling sialan untuk membuat siapapun yang berhenti di puisi ini untuk setidaknya membayangkan kerenyahan tekstur badan ikan, ataupun ekor yang crispy itu. /biar lepuh cokelat tubuhku/ adalah combo selanjutnya. /disediakan sambal di gigir/ adalah finishing touch untuk melengkapi gambaran dalam kepala kita bahwa: ini dia sepiring lengkap pecel lele yang nikmat itu! Haha! Rasakan!
Deskripsi-deskripsi ini adalah isotop tekstur pecel lele. Secara teknis, penulis tak perlu repot-repot untuk memberikan gambaran surgawi yang macam-macam soal pecel lele. Biarkan saja pembaca yang menderuk-derukan gigi ataupun mencecap lidahnya sendiri saat membaca puisi ini. Luar biasa!
Persoalan Peluang
Rp6000! Bayangkan Rp6000! Mungkin kerak saldo Shopeepay, Gopay, OVO dll. Kita sudah cukup untuk karya-karya di atas! Satu sisi saya berbahagia karena karya bagus bisa diakses dengan mudah dan murah. Di satu sisi saya tak berhenti mendentum-dentumkan kaki: kok hanya segini sih!
Tapi tentu sayapun menyadari betul, bahkan karya bagus yang akses gratispun (bukan yang bajakan ya bangsat) tak begitu sumringah ditengok. Ini adalah tamparan keras untuk kita semua. Tapi ini juga merupakan sebuah sinyal bagus yang lebih menarik daripada rilisnya 5G di Indonesia.
Banyak di antara kita tak terlalu menelateni koran-koran minggu, ataupun penyair-penyair baru dari jalur itu. Banyak di antara kita yang muda ini adalah penghayat platform. Tak salah tentunya, ini didasari keseharian kita yang tak lepas dari ponsel pintar. Dengan rilisnya Katebelece Roti Kepada Pagi dan Keluarga Bahagia tentu membuka peluang untuk membaca karya-karya bagus yang ada di karyakarsa.
Juga peluang untuk penulis-penulis lainnya di ASAS supaya bisa gencar bereksperimen dan membentuk stensil-stensilnya dengan ulet. Kita bisa melihat moda baru (sebenarnya tidak terlalu baru, tapi mari kita biasakan) untuk mengapresiasi dan diapresiasi.
Baik karya Angga ataupun R. Abdul Azis ini seharusnya yang mengisi kolom-kolom buku puisi di Gramedia, meskipun sekarang kolom itu sudah disatukan dengan novel ataupun karya-karya lainnya. Satu kenyataan yang sangat menyedihkan.
Cherrio.
2021
Link pembelian karya:
Keluarga Bahagia (https://karyakarsa.com/anggaprihayadi/keluarga-bahagia-51426)
Katebelece Roti Kepada Pagi (https://karyakarsa.com/rabdulazis/katebelece-roti-kepada-pagi)
Baca juga : Antara Sumpah Pemuda dan Bulan Bahasa: Ada Fakta Apa di Baliknya?
Penulis : Rafqi Sadikin