Bincang Zine dengan ASAS dan ELF sebagai Media Bersastra

Muncul pertama kali tahun 1930-an di Amerika Serikat dengan judul The Comet. The Comet merupakan majalah yang dibuat fans fiksi ilmiah untuk saling bercerita. Majalah ini dipublikasi oleh The Science Correspondence Club, sekarang bernama The International Scientific Association (ISA). Jenis majalah tersebut dikenal dengan nama zine.

Mari Mengenal Zine

Zine, singkatan dari “magazine” atau “fanzine”, merupakan bentuk publikasi, bisa mandiri atau kelompok yang berisi teks dan gambar. Hal ini sejalan dengan Wildan Nurul Sani sebagai Ketua ASAS mengenai zine.

“Bicara soal zine ya, emang pada dasarnya berasal dari penyingkatan atau penggunaan lain dari magazine ataupun fanzine. Bisa dikatakan sebagai sesuatu yang dipublikasi dengan sederhana dan independen. Bisa dibuat juga dengan prinsip DIY (Do It Yourself) dan biasanya dicetak terbatas,” jelasnya.

Izzan Azka, sebagai Ketua English Literature Forum (ELF) menyebutkan soal zine yang berisi karya tulis dan bisa mencakup hampir semua hal.

“Zine itu sebuah karya tulis yang bisa dibuat siapapun. Mau itu perorangan ataupun kelompok. Isi dari zine juga bisa mencakup hampir semua hal,” ujarnya.

Ia  menambahkan pengalamannya soal isi dari zine yang mencakup banyak hal itu.

“Di awal tahun 2024 kemarin, ELF ikut Bandung Zine Fest. Nah, waktu di sana itu sempet nemuin salah satu kolektifan, mereka bikin zine itu Guide untuk Menemukan Nasi Goreng Terbaik di Bandung. Balik lagi, zine itu isinya bisa apa aja,” tambahnya.

Giant Hakim, sebagai anggota ELF, menjelaskan zine juga bisa menjadi upaya membuat media sendiri untuk hal yang disukai. 

“Ini juga sebuah upaya untuk membuat media sendiri tentang apa yang disukai. Entah itu zine berbentuk antologi karya seperti kumpulan cerpen sebuah kolektif. Bisa jadi zine ini menceritakan suatu hal atau mengangkat suatu isu. Seperti zine selebaran-selebaran Sabubukna dari kawan-kawan Dago Elos, zine punk rock dari Maximum Rocknroll,” jelasnya.

Zine menjadi karya independen yang bisa dibuat sederhana dengan isi yang bermacam-macam. Kreativitas dan tujuan pembuatnya menjadi acuan dari isi zine. Tidak ada patokan mengenai zine harus berisi apa saja. Semua hal yang akan dituangkan dalam zine dikembalikan kepada pembuatnya.

Apakah Bisa Cuan Lewat Zine?

Zine sebagai media karya tentu tidak hanya sebatas wadah. Karena bentuk dasarnya dari majalah, zine dengan ukuran yang tidak sebesar majalah bisa mendapat nilai jual sendiri. Izzan yang pernah mengikuti Bandung Zine Fest juga menjelaskan soal nilai jual dari zine.

“Kemarin di Bandung Zine Fest pun yang ikut banyak banget, entah itu perorangan ataupun kolektif. Di Bandung Zine Fest itu semua zine dijual,” jelasnya.

Ada juga nilai autentik yang dimiliki zine karena bentuknya sebagai media karya yang independen. Hal ini disebutkan Wildan yang pernah membaca zine.

“Kalau nilai jual tentu saja ada dan cukup menjanjikan, cuman skala pasarnya masih kecil dibanding produk besar lainnya. Kenapa dibilang cukup potensial diperjualbelikan? Karena zine ini punya keautentikan sendiri dan bisa sangat mewakili atau menggambarkan pembuatnya,” jelasnya.

Potensi zine untuk menjadi produk jual beli sangatlah bisa. Tidak hanya sebagai media berkarya, tapi juga bentuk karya dari zine bisa membuat untung pembuatnya secara penjualan. Namun, tidak bermaksud zine harus dijual. Hal ini juga disampaikan Giant mengenai zine yang tidak harus selalu dijual.

“Benar kalau zine ada nilai jual, tapi ga berarti harus dijual juga. Balik lagi dalam membuat zine, kita yang menentukan medianya mau gimana. Kalau distribusinya mau gratis ya gapapa, cuma kalau mau dijual juga ya gapapa,” tuturnya.

Zine dikembalikan ke maksud dan tujuan pembuatannya. Karena zine muncul sebagai media untuk berkarya, bukan semata-mata untuk berjualan.

Zine Sebagai Wadah Karya Sastra

Zine bisa berisi apapun sesuai pembuatnya, salah satunya berisi sastra. Wildan menjelaskan kalau zine bisa menjadi wadah potensial untuk sastra. Karya bisa dibuat melalui zine sesuai keinginan dan kreativitas pribadi pembuatnya yang ingin mencoba hal baru.

“Zine itu sangat potensial sebagai media ataupun sebagai wadah untuk sastra jika dikaitkan dengannya. Maksudnya, kan penerbitan atau publikasi yang independen atau mandiri. Zine ini bisa jadi media eksperimen, untuk coba-coba,” jelasnya.

Rumah Kata dari ELF merupakan salah satu contoh zine yang dibuat mahasiswa sastra untuk berkarya. Izzan menyebutkan kalau ELF membuat zine sebagai wadah untuk mahasiswa menuangkan karya tulisnya dengan visual.

“Kalau ambil contoh dari ELF sendiri, di tahun kemarin dan tahun ini berisi karya tulis dan seni rupa yang berbentuk art visual. ELF juga dari dua volume yang kita buat itu bisa jadi prosa, juga bisa jadi puisi,” tuturnya.

Giant juga menambahkan alasan adanya zine yang dibuat ELF sampai sekarang.

“Kenapa diputuskan jadinya zine? Karena dari ELF pengen ngehidupin lagi kultur berkarya cetak, terutama zine. Selain itu, harapannya semoga menumbuhkan hasrat diskusi karyanya lebih lanjut dari anak-anak ELF,” jelasnya.

ASAS juga yang menjadi tempat mahasiswa sastra berkarya sempat membuat zine. Wildan menjelaskan kalau zine sempat terhenti pembuatannya karena adanya pandemi. Harapannya zine dari ASAS bisa kembali aktif sebagai media berkarya dalam sastra.

“Zine versi ASAS itu bisa dikategorikan zine sastra yang isinya sekumpulan atau potongan-potongan cerita yang disatukan. Ceritanya tuh bener-bener out of the box, out of nowhere, dan absurd pun ada banyak banget,” jelasnya.

Bagaimana Cara Membuat Zine?

Proses pembuatan zine tidak langsung jadi dan ada bentuknya. Zine harus ditentukan ide isinya dulu agar bisa memuat konten di dalamnya. Ide bisa bermacam-macam. Mulai dari sosial, lagu, film, sastra, sejarah, dan hal lainnya. Kembali lagi, membuat zine tidak ada patokan. Pembuatnya bebas memasukkan konten apapun dalam zine yang ada. Izzan menyebutkan kalau di ELF itu punya tahapannya sendiri. 

“Di ELF sendiri, kita desainnya dibuat digital dulu. Tapi, sebelum ke desain, kita biasanya bikin main theme dulu atau tema utamanya dulu dari volume ini. Untuk kertas segala macam juga tidak harus spesifik. Karena zine itu mau art paper boleh, mau fotocopy hvs juga boleh. Sempet nemuin juga di Bandung Zine Fest itu pakai kertas yang kombinasi jenisnya. Penggunaan kertas segala macam itu kembali ke kreativitas,” jelasnya.

Ide dan konten yang sudah ada bisa dikumpulkan dan disusun. Ini tergantung juga pada kreativitas pembuatnya. Jika ingin menggunakan jenis kertas yang lebih dari satu, pembuatnya bisa memikirkan material kertas yang digunakan apa saja. Sementara itu, jika hanya satu bisa mulai disusun satu per satu halaman dari zine. Tidak lupa soal desain juga. Desain dari zine akan menentukan penyusunan isinya. Bisa dengan dibuat digital dulu lalu pembuatnya tinggal mencontohkan dari hasil digitalnya.

Baca Juga: Tren Sastra Digital: Media Sosial dan Perubahan Pola Baca-Tulis Gen Z

Kuantitas isi juga bergantung ke pembuatnya. Jika dibuat oleh perorangan, zine bisa ditentukan sendiri akan apa saja isinya. Akan tetapi, jika berkelompok, bisa juga ditentukan minimal atau maksimal isi karya dari zine yang dibuat. Giant menyebutkan kalau di ELF itu tergantung dari berapa banyak karya yang disubmit.

“Jadi, bikin submission dulu. Terus udah aja, siapa yang mau submit karya kelas gitu, tapi kalau ngga juga gapapa. Gak ada paksaan juga sih sebenernya dan kadang yang submit ga selalu orang sama, kadang juga yang sama lagi. Cuma kalau normalnya sih diliat-liat minimalnya ada lima karya,” jelasnya.

Waktu untuk seseorang membuat zine juga sebenarnya tidak ada. Zine diserahkan ke pembuatnya ingin memproduksi. Bisa beberapa minggu sekali, sebulan sekali, atau bisa bebas sesuai niat membuat zine. Contohnya, ELF yang membuat zine dalam 6 bulan sekali tiap volumenya.

Setelah semuanya terbentuk alias zine sudah jadi dibuat, langkah selanjutnya bisa didistribusikan. Pendistribusian ini juga tergantung pembuat zine, bisa saja diprint lalu disebar, atau dibuat ulang dengan material yang sama lalu disebar, atau hanya jadi barang eksklusif untuk sendiri. Poin utamanya dari membuat zine ini untuk eksperimen menuangkan karya ke dalam bentuk cetak.

Mari Berkarya Lewat Zine

Berkarya memang tidak ada batasannya. Zine merupakan salah satu bentuk dari segala cara untuk menuangkan karya kita. Marilah kita membuat bentuk karya yang bisa dibaca dan dijadikan inspirasi. Karena karya yang terbaik adalah karya yang selesai dan membuka sudut pandang baru. Izzan mengatakan untuk tetap optimis dalam berkarya seperti lewat zine.

“Kalau dari aku sih optimis aja gitu soal karya yang udah kita tulis. Kalau bisa tumbuhin rasa ingin dilihat orang soal karya. Jangan dulu sebagai kita, tapi orang-orang tuh harus liat tulisan kita. Jangan kita sebagai penulis, tapi karyanya dulu. Karena agak sayang kalau karya yang dibuat bagus di mata orang, tapi cuma disimpen di drive doang,” jelasnya.

Wildan juga menyebutkan soal kebiasaan untuk membaca dan menulis dulu. Hal ini dilakukan supaya jadi dasar untuk membuat suatu karya, salah satunya karya cetak seperti zine.

“Sebetulnya, terlepas apapun wadahnya menulis, tentu harus dibiasakan dulu menulis itu sendiri. Maksudnya, jangankan ingin membuat zine, ketika satu hari belum bisa menulis beberapa karya seperti satu dua puisi atau cerpen sehari, aku rasa simpen dulu keinginan untuk membuat zinenya. Selesaikan dulu di kegiatan menulisnya. Modal dasarnya itu menulis dulu, jangan langsung ke zinenya,” jelasnya.

Zine muncul sebagai wadah berkarya seseorang. Akan tetapi, bagi seorang mahasiswa sastra, sebaiknya dibiasakan untuk membuat karya tulis dulu. Karya tulis yang tentunya dibuat sendiri dengan optimis. Kebiasaan menulis tersebut menjadi modal untuk meneruskan karya kita ke wadah yang lebih besar lagi, seperti zine.

Penulis: Nabil Atiqi Putra Amory
Editor: Auliya Nur Affifah

Baca Juga: Sastra Cyber: Lahir dari Sebuah Kemajuan, Dianaktirikan oleh Sebagian Pihak