Kiw, cewek, mau kemananih?
Sendiri aja neng, mau abang temenin?
Hai cantik, boleh kenalanga?
Mungkin, bagi beberapa orang, terutama perempuan, sudah tidak asing dengan kalimat tersebut, Kalimat-kalimat tersebut merupakan contoh dari catcalling.
Catcalling? Apa itu?
Catcalling dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai siulan, teriakan, dan komentar mengenai hal-hal yang bersifat seksual, seperti mengomentari bentuk tubuh hingga menggoda. Biasanya, hal itu dialami perempuan di ruang publik. Banyak orang yang belum mengerti apa itu catcalling, karena tindakan ini masih dianggap sebagai sebuah lelucon. Namun, pada kenyataannya, catcalling termasuk kedalam salah satu bentuk pelecehan seksual secara verbal yang mengganggu hak perempuan dalam menikmati kebebasan ruang publik.
Kampus merupakan salah satu ruang publik dimana kita sering menjumpai peristiwa catcalling ini. Hal ini menyebabkan kampus menjadi ruang yang tidak aman bagi perempuan. Peristiwa catcalling juga tidak ditindaklanjuti oleh masyarakat dan juga pihak berwenang di kampus. Alasannya, tentu seperti yang sudah dituliskan di awal, banyak yang masih berpikir bahwa hal tersebut hanyalah candaan dan tindakan iseng. Lebih parahnya, catcalling acap kali justru menyalahkan korban.
Apa penyebabnya?
Budaya patriarki yang masih berlangsung hingga saat ini adalah salah satu penyebab utama mengapa perempuan kerap mengalami berbagai tindakan pelecehan, seperti catcalling, pemerkosaan, bahkan sampai mengalami kekerasan seksual. Masyarakat masih beranggapan bahwa lelaki memiliki derajat yang lebih tinggi daripada perempuan. Hal itu membuka kesempatan untuk lelaki melancarkan aksi tidak menyenangkan kepada lawan jenisnya. Kurangnya kesadaran terhadap kesetaraan gender juga memperluas kemungkinan terjadinya peristiwa catcalling ini, hal ini berkaitan kembali dengan budaya patriarki di mana banyak
lelaki yang tidak menyadari bahwa seharusnya lelaki dan perempuan itu memiliki derajat yang sama.
Dampak dari catcalling
Seorang peneliti kekerasan seksual asal Universitas Illinois di Urbana Champaign, Louise F Fitzgerald, menunjukkan bahwa dampak pelecehan seksual seperti catcalling adalah perasaan direndahkan sebagai perempuan, perasaan takut, dan perasaan tidak berdaya sebagai perempuan.
Ada pula dalam sebuah penelitian pada 2012 oleh Holly Kearl yang merupakan seorang ahli topik kekerasan berbasis gender menyatakan dampak dari catcalling dapat menimbulkan perasaan kurang aman ketika berada di ruang publik, membatasi waktu, dan menyebabkan kerusakan emosional.
Apa yang bisa kita lakukan?
Dalam mengatasi permasalahan catcalling ini terutama dalam lingkungan kampus, pihak berwenang di kampus bisa membuka ruang diskusi mengenai tindakan pelecehan seksual di area kampus agar mahasiswa dan juga warga kampus bisa paham sebab dan akibat dari pelecehan seksual ini. Kampus juga bisa menindaklanjuti kasus-kasus serupa dengan serius dan tidak memojokkan korban sebagai pihak yang salah.
Masyarakat lainnya juga bisa memperkaya diri mereka sendiri dengan pengetahuan mengenai pelecehan seksual agar kita semakin sadar bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan yang salah dan bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dari individu lain.
Untuk menanggapi tindakan catcalling, kita bisa dengan tegas mengatakan “stop!” agar mereka bisa berhenti atau langsung melaporkan tindakan tersebut. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Kimberly Fairchild pada tahun 2008, wanita yang berani mengonfrontasi pelecehnya tidak merasakan dampak negatif yang sama dengan wanita yang membiarkannya berlalu begitu saja.
Setelah mengetahui penyebab, dampak, dan pencegahan dari peristiwa catcalling ini, kita mungkin bisa mengurangi terjadinya fenomena catcalling yang masih meresahkan banyak perempuan dan memberikan kebebasan dan kenyamanan ruang publik bagi semua orang.
Semua orang berhak mendapatkan kenyamanan di ruang publik dan diperlakukan selayaknya manusia.
Baca juga: Mata Kuliah Kewirausahaan: Solusi Kaum Labil Mahasiswa Depdiksatrasia
Biodata Penulis
Larasati Eka Putri, mahasiswa baru di Universitas Pendidikan Indonesia, tertarik dengan banyak hal terutama hewan dan feminisme. Masih banyak belajar untuk terus berkembang menjadi manusia yang lebih baik.
Sumber:
TRIWIJATI, NK Endah. Pelecehan Seksual: Tinjauan Psikologis. Fakultas Psikologi Universitas Surabaya dan Savy Amira Women’ s Crisis Center, 2005.
Damanik. P. (2018). Catcalling dan Hak Perempuan Atas Ruang Publik[Online]. Diakses dari https://magdalene.co/story/catcalling-dan-hak-perempuan-atas-ruang-publik
MM. (2016). ‘Catcall’ Tak Bisa Ditoleransi. [Online]. Diakses dari https://magdalene.co/story/catcall-tak-bisa-ditoleransi
Mekar. A. (2018). “Catcalling”, Pelecehan Seksual Secara Verbal dan Dampak Psikologisnya. [Online]. Diakses dari http://www.indopositive.org/2018/11/catcalling-pelecehan-seksual-secara.html