Judul buku: Dari Dalam Kubur
Penulis: Soe Tjen Marching
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun terbit: 2020
Memuat 508 halaman dengan 5 bagian di dalamnya, “Dari Dalam Kubur” gubahan Soe Tjen Marching menceritakan kembali perjuangan tokoh Lidya Maria alias Djing Fei. Tokoh perempuan fiktif yang diciptakan untuk mengungkap tragedi 1965-1966 dari sudut pandang para eks-tapol yang dituduh PKI atau Gerwani.
Meski begitu, mahakaryanya ini dibuka lewat tokoh Karla—putri kandung Djing Fei sendiri. Dari sudut pandang Karla, Soe Tjen memperlihatkan bagaimana bingungnya seorang anak melihat gerak-gerik orang dewasa di sekitarnya pascaperistiwa 65-66. Penuh kecurigaan, rahasia, dan konflik dingin di sana-sini setiap harinya. Hal tersebut membuat Karla memiliki dendam pribadi pada keluarganya hingga dewasa.
Namun, ekspektasi Karla untuk membalas keluarganya, terutama sang ibu, dengan keadaan barunya tidak tersampaikan. Djing Fei yang sudah lemah tak berdaya di atas ranjang, Handoko (ayahnya) yang semakin senyap, dan Katon—sang kakak—yang banyak menghindar, tetap saja tidak bisa Karla kalahkan dengan kepemilikannya saat ini. Semua hancur berkat pembacaannya wasiat ibunya yang disimpan dan dihimpun oleh Wulan. Hal ini juga yang menyadarkan Karla bahwa keadaannya saat ini bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan, bukan keadaan yang istimewa bahkan tidak bisa dibilang normal.
Akhir cerita, untung tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak. Regang sudah nyawa Karla bersama anaknya dengan tragis. Pada akhirnya, semua kompleksitas itu dibawa oleh Ira—anak kandung Katon—sampai kepada Soe Tjen sendiri, yang tampak sengaja hadir dalam cerita untuk memberi petunjuk bahwa semua kisah benar adanya.
Nah, dari pembacaan saya terhadap novel sejarah di atas, ada beberapa hal yang saya soroti.
Pertama, bagaimana sebenarnya sastra secara harfiah dan denotatif yang benar-benar menjadi cermin atau refleksi dari masyarakatnya. Sebagaimana disebutkan Soe Tjen sendiri dalam wawancaranya dengan Ayu Utami di Siniar Salihara, sumber cerita yang ia tulis untuk novelnya “Dari Dalam Kubur” benar-benar berasal dari wawancaranya dengan para eksil. Utamanya, bagaimana para perempuan yang dituduh Gerwani dan PKI dirudapaksa dari penjara ke penjara. Menurutnya, semua itu dapat dibuktikan. Sayangnya, para eksil 65 meminta untuk tidak membeberkan beberapa cerita mereka, entah karena takut akan ancaman, trauma, dan sebagainya. Hal tersebut pun dijadikannya karya sastra sebagai analogi untuk menampung dan menyiarkan semua pengalaman para perempuan tertuduh Gerwani dan PKI.
Baca juga: Sikapi Pelanggaran HAM, Mahasiswa Gelar Aksi September Hitam
Kedua, kehadiran Soe Tjen Marching di penghujung cerita seakan memberikan tanda bahwa semua kisah benar adanya. Berikut beberapa kutipannya.
“Dalam daftar teman anaknya, Katon menemukan nama Soe Tjen Marching, Koordinator IPT ’65 di Inggris, yang cukup rajin memperbarui statusnya.”
“Soe Tjen ini orang Indonesia?” Ira mengangguk: “Asal Surabaya. Yang bikin majalah Bhinneka.”
Lebih lanjut lagi, bahkan beberapa status Soe Tjen juga dicantumkan sebagai bagian dari jalan menuju akhir cerita. Berikut ini salah satu kutipannya.
“10 November 2015 pukul 11.33:
Den Haag: Sidang sudah dimulai pagi ini dengan dakwaan dari jaksa yang dipimpin Todung Mulya Lubis. Akan dihadirkan korban, peneliti dan aktivis sebagai saksi; dan semua kesaksian akan diperiksa keabsahannya oleh hakim ahli dari berbagai negara.”
Selain untuk menekankan bahwa novel beliau adalah fakta yang lahir dari proses panjang, kutipan-kutipan di atas juga menunjukkan bahwa pengarang dan karyanya benar-benar terhubung.
Realitas yang dibangun memang agak membingungkan jika dilihat sekilas. Hal itu ditambah dengan kemunculan nama-nama nonfiktif lainnya. Misalnya saja Nursyahbani Katjasungkana, Saskia Wieringa, Aboeprijadi Santoso, dan masih banyak lagi. Setelah ditelusuri, nama-nama yang muncul memang sosok yang dalam kehidupan nyata bergelut sebagai pejuang hak-hak para eksil 65. Butuh riset lebih lanjut dan pembacaan yang lebih luas untuk mencari karya-karya lain yang memiliki konsep serupa.
Kemudian sorotan ketiga saya, sekaligus menjadi yang terakhir, mengenai sastra sebagai kontrol dan kritik sosial sangat dominan adanya. Dalam karya “Dari Dalam Kubur” ini, ditemukan banyak pemikiran lebih lanjut. Saya ambil contoh keluhan keluarga Freddy—tokoh pria yang menikahi Lan Ing, adik ipar Djing Fei.
“Keluarga Freddy sama sekali ndak begitu antusias waktu radio berbunyi: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.” Kemerdekaan dari siapa? Sang Papi dan Mami ndak merasa ada yang salah dengan pemerintah Belanda. Jadi ada apa harus diganti-ganti segala?“
Sebuah pertanyaan yang sebenarnya masih relevan hingga sekarang. Tidak hanya bagi Tanah Air, tetapi juga bangsa-bangsa di luar sana yang sudah atau bahkan masih mencoba melepaskan diri. Dari situ kita dapat melihat bagaimana ideologi nasionalisme diragukan sebab banyak faktor. Mulai dari kondisi ekonomi, politik, sosial, budaya, hingga agama yang semuanya tidak pernah stabil. Hal tersebut muncul dari pemikiran keluarga Freddy yang sudah mapan sejak penjajahan. Di luar sana, rakyat biasa yang mungkin merasa terjepit pasti bak melihat oase di tengah gurun. Senangnya bukan main. Meski yang dijumpai bukan kubangan raksasa berisi air segar, melainkan limbah dan air kotor yang tidak bisa dikonsumsi. Optimisme yang mulai pudar hari ini, sudah tumbuh sejak masa itu.
Selanjutnya ada juga kritik-kritik yang berbau feminisme yang dilontarkan oleh Lidya Maria atau Djing Fei. Misalnya saja ketika ia mengkritisi peringatan Hari Kartini di masa itu. Anak-anak perempuan harus patuh didandani, sulit bergerak karena kebaya dan kain jarik yang membungkus, serta kepala yang harus menahan berat sanggul. Mereka harus berpose semanis mungkin—atau saya lebih senang menyebutnya “sepalsu mungkin”—di depan orang banyak yang nantinya akan ditentukan siapa yang paling manis dan anggun. Tidak ada yang menyadari—termasuk saya selama ini—bahwa peringatan hari nasional terkadang tidak sesuai dengan yang seharusnya. Kartini yang kuat, gagah, cerdas, dan berani dirayakan dengan pose-pose tok! Tidak adakah cara lain yang lebih cocok?
Dari sini, saya dapat menyimpulkan mengapa para eksil dikabarkan menolak pulang dari luar negeri pada beberapa waktu lalu dan bersikap tegas terhadap pemerintah agar meminta maaf karena telah memutarbalikkan sejarah. Jawabannya jelas karena sejarah berpengaruh besar pada pola pikir masyarakatnya. Sejak kecil, kita belajar dan memahami masa lalu negeri ini pun melalui sejarah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sejarah adalah realitas sosial. Belajar sejarah sama artinya dengan belajar hidup dan bermasyarakat. Jika sejarahnya saja sudah banyak berbohong, bagaimana kondisi masyarakatnya hari ini? Kita juga tahu jawabannya.
Penulis: Ridwan Zamroni
Editor: Laksita Gati Widadi