Emansipatoris Citra Penulis Perempuan dalam Kesusastraan Indonesia

Dunia sastra telah berevolusi dalam beberapa kurun waktu terakhir. Perubahan tersebut ditandai dengan munculnya diskursus publik, yakni lahirnya beberapa penulis perempuan yang menciptakan esensi feminis dalam karyanya.

Penyajian karya tulis yang mereka sampaikan berbeda dengan penulis laki-laki yang kerap mengisahkan eksistensi perempuan dalam karya sastra seperti Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana, 1937), Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer, 1980), dan Belenggu (Armijn Pane, 1940).

Ketiga tokoh sastrawan tersebut telah memadukan unsur modernitas dan kultur barat mengenai feminisme dan emansipasi wanita dalam novelnya. Contohnya Bumi Manusia karya Pram yang telah mendobrak unsur-unsur penokohan perempuan yang seringkali dijadikan sebagai objek atau hanya pemanis dalam cerita. Akan tetapi, ia justru menonjolkan karakter perempuan mandiri, tangguh, dan cerdas dalam tokoh Nyai Ontosoroh di tetraloginya yang sangat terkenal.

Baca juga: Suara Akademisi untuk Demokrasi: Petisi Bumi Siliwangi Kampus Pejuang Pendidikan

Karya kanon milik Pram, Armijn Pane, maupun Alisjahbana dapat dibandingkan dengan karya populer milik Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, Tiga dalam Kayu. Ziggy telah merepresentasikan tokoh perempuan dengan citranya sebagai penulis perempuan yang menyuarakan pemikiran, perspektif, dan cara representasi yang berbeda dengan penulis laki-laki.

Di novelnya, Ziggy membuat karakter perempuan pemberani yang berhasil mendobrak peraturan demi mencapai harapannya. Ia telah menjadikan tokoh perempuan dalam novelnya sebagai tokoh sentral yang menunjukkan eksistensi perempuan dan perempuan sebagai subjek.

Ziggy tidak ingin karakter gender perempuan terbiaskan, maka ia membangun karakter sendiri dengan menghadirkan pemikiran-pemikiran perempuan di dalamnya. Tokoh perempuan sebagai sentral cerita yang digambarkan tangguh seperti laki-laki menghadirkan pemikiran dan pergerakan emansipatoris dalam posisinya di masyarakat. Ziggy memunculkan kesan tokoh perempuan yang memilih kehidupan bebas, lepas dari aturan yang mengikat, dan tidak terpinggirkan dari kehidupan sosial.

Namun, sejak awal kemunculannya, karya sastra yang ditulis oleh kemolekan tangan perempuan selalu menuai kualitas kritik dan emansipatoris dari masyarakat. Pasalnya, perempuan sangat terikat dengan stereotip dan budaya masyarakat yang berakar dari pemahaman patriarki sehingga ada batas ruang gerak yang dialami oleh perempuan. 

Inilah yang seringkali ditonjolkan para penulis perempuan dalam hal menafsirkan sensitivitas dan isu-isu gender. Peran perempuan sebagai penulis atau pun tokoh mencitrakan sosok keibuan, cerdas, berpendidikan, dan tangguh merupakan konstruksi yang berkaitan erat dengan budaya. Melihat adanya konstruksi budaya yang berkaitan dengan kodrat dan kontekstualitas gender, kita perlu membedakan antara keduanya.

Dari kuliah umum yang dilaksanakan pada (19/2) mengenai sensitivitas gender dalam cerita fiksi, Dr. Yostiani Noor, M. Hum. mengemukakan bahwa, “Berbicara pada konteks atribusi sosial budaya seperti laki-laki yang menangis dianggap cengeng. Padahal, laki-laki juga berhak untuk menangis dan mengekspresikan pendapatnya tanpa perlu dilabeli sebagai sosok yang cengeng. Kemudian, kita juga harus membedakan antara mana yang kuadrat dan mana yang memang dikonstruksikan seperti itu, misalnya perempuan yang dikodratkan untuk hamil, melahirkan, dan menyusui”.  

Inilah yang kemudian dikonstruksikan oleh para penulis, terutama perempuan dalam sebuah karya sastra yang menggambarkan adanya ketidakseimbangan terhadap isu-isu gender. Kemudian, hal ini tentunya lambat laun akan menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap penindasan ideologi patriarki dalam berbagai aspek: ekonomi, sosial, hukum, dan politik, yang banyak mempromosikan tatanan sosial agar menjadi seimbang antara hak laki-laki dan perempuan. 

Meskipun, penulis perempuan mengalami tantangan sendiri dalam dunia penerbitan yang acapkali tetap merasakan adanya perbedaan pandangan dari masyarakat mengenai perbedaan karya tulis laki-laki dan perempuan yang masih terpaut dengan label budaya patriarki. Dalam sesi tanya-jawab, Ziggy mengemukakan, “Penulis perempuan harus berserikat untuk saling support. Mulailah dengan menulis, kirimkan naskah, dan percayakan pada editor, karena dari editor, kita bisa belajar”.

Penulis: Icha Nur Octavianissa
Editor: Laksita Gati Widadi

Baca juga: Sastra dengan AU: Jadi AU Itu Genre Sastra Bukan, Sih?