Film Yuni: Upaya Melawan Islam Konservatif

Semoga tulisan ini tidak menghalangimu untuk nonton langsung filmnya, ya!

Film “Yuni” adalah salah satu film yang tepat di waktu yang salah. Yes, waktu tayangnya enggak tepat. Bioskop-bioskop di seluruh Indonesia lagi hectic nayangin film “Spiderman: No Way Home” yang ramenya enggak ada akhlak. Film “Yuni” jadi sedikit terabaikan dari pilihan penonton. Ya enggak apa-apa juga, sih. Setidaknya jadi enggak perlu cepet-cepetan buat check out tiket di aplikasi TIX ID dan studio bioskop jadi enggak terlalu sesak juga.

Awal ketertarikan saya terhadap film ini saat sedang scroll Instagram. Di beranda, muncul cuplikan film ini di akun InstagramSapardi Djoko Damono. Trailer-nya menarik bagi saya. Sempat mengira film ini merupakan ekranisasi dari karya Sapardi Djoko Damono, ternyata saya salah. Film ini bukan sebuah ekranisasi dari karya Sapardi Djoko Damono. Ya, konsepnya hampir mirip seperti film “Hujan Bulan Juni”; ada puisi-puisinya gitu.

Film yang disutradarai Kamila Andini ini mengambil latar di Cilegon, Banten. Jauh dari latar kebanyakan film masa kini yang berada di kota-kota besar dengan logat Lo-Gue. Yuni dan daerahnya berbahasa Jawa-Sunda Banten. Cukup agak bikin bingung penonton, sih. Namun, tak apa, lagipula di layar ada subtitle-nya, kok. Enggak bikin kita planga-plongo waktu nonton. Dalam ingatan saya—yang pendek ini—kira-kira beginilah review singkatnya.

Review Film “Yuni”

 Yuni adalah seorang siswi di salah satu SMA di Cilegon, Banten. Yuni adalah perempuan yang ungu banget. Mulai dari motor, buku, baju, tali sepatu, sampai celana dalam, selalu warna ungu.

Untuk yang terakhir, saya enggak asal ucap. Memang kenyataan di filmnya begitu. Nonton, deh kalo enggak percaya.

Yuni tinggal bersama neneknya (Nazla Thoyib). Orang tuanya berada di Jakarta untuk bekerja. Yuni tak ubahnya siswi biasa. Pergi sekolah, main, pulang, repeat.

Di satu waktu, sekolah Yuni kedatangan seorang pejabat perempuan. Saya lupa apakah ia lurah, camat, bupati, atau gubernur. Yang jelas, pejabat itu mencanangkan rencana membuat tes keperawanan bagi semua siswi di sekolah Yuni. Banyaknya kabar mengenai kehamilan di luar nikah menjadi alasan pejabat dalam mengadakan tes keperawanan. Cerita dalam film ini memang menunjukkan kenyataan itu.

Konflik mulai tercipta ketika Iman (Muhammad Khan) yang merupakan mandor di sebuah pabrik dekat tempat tinggal Yuni datang melamarnya. Iman—yang jelas mapan dalam segi keuangan—melamar Yuni secepat kilat, lewat pandangan pertama ketika Yuni mengirim bolu kukus—yang lagi-lagi berwarna ungu—ke tempat tinggal Iman. Namun, kemapanan Iman tidak menggoda Yuni. Ia menolak lamaran itu. Yuni lebih tertarik mengejar cita-citanya mendapat beasiswa untuk melanjutkan ke perguruan tinggi daripada menikah di usia dini. Penolakan itu jadi pembicaraan tetangga Yuni. Katanya, perempuan itu enggak perlu sekolah tinggi-tinggi, yang penting bisa mengurus sumur, dapur, dan kasur. Sebuah kredo yang bertentangan dengan nurani Yuni.

Tak berselang lama, lamaran kedua datang kepada Yuni. Kali ini, Mang Dodi (Toto ST Radik) yang melayangkan lamaran tersebut. Mang Dodi merupakan paman dari Sarah (Neneng Wulandari), ia termasuk orang yang lebih sabar, berani, dan kaya daripada Iman. Ia mau menunggu Yuni lulus SMA sebelum dinikahi dan memberikan panjer yang bisa Yuni gunakan untuk membeli motor baru—biar motornya enggak berwarna ungu terus. Mang Dodi cukup trengginas dalam urusan rumah tangga. Ia mau menjadikan Yuni sebagai istri kedua. Ia juga bersedia untuk memberikan uang tambahan yang nominalnya cukup besar kalau saat malam pertama Yuni masih perawan. Lagi-lagi Yuni menolak lamaran ini.

Di saat hati Yuni tak karuan setelah dua laki-laki melamarnya, muncul sosok Yoga (Kevin Ardilova), seorang adik kelas yang diam-diam naksir Yuni. Awalnya, ia menawarkan diri membantu menginterpretasikan puisi Sapardi Djoko Damono—yang notabene adalah tugas sekolah Yuni. Rasa cinta yang kadung terpantik di hati Yoga membuat ia sering mengirimi Yuni puisi legendaris Sapardi, seperti “Yang Fana adalah Waktu”, “Aku Ingin”, dan “Pada Suatu Hari Nanti”. Kelak, Yoga dan Yuni akhirnya terlena dalam budaya tak resmi anak-anak sebaya di lingkungannya; melakukan seks bebas.

Di akhir cerita, Pak Damar (Dimas Aditya) menjadi laki-laki yang ingin melamar Yuni. Kekaguman Yuni kepada kharisma Pak Damar selama di sekolah nyatanya tak mampu mengalahkan keinginan Yuni untuk melanjutkan pendidikannya setelah lulus SMA. Ia lebih memilih menikmati masa mudanya dengan bernyanyi dan berkumpul bersama teman-teman perempuannya. Tak peduli omongan tetangga tentang apa yang ia lakukan bersama Yoga atau keputusannya menolak lamaran sebanyak tiga kali. Konon, menurut kepercayaan masyarakat tempat Yuni tinggal, tak baik menolak lamaran lebih dari dua kali, nanti bisa susah dapat jodoh. Kredo ini hanya satu dari sekian banyak kredo dalam film ini yang mendiskreditkan perempuan. Pandangan masyarakat tempat Yuni tinggal yang masih terbilang Islam konservatif membuat Yuni harus tunduk. Film ini sarat akan isu-isu feminis—khususnya feminisme yang mendobrak nilai-nilai Islam konservatif.

Isu-Isu Feminisme dalam Film “Yuni”

Film “Yuni” hanya segelintir dari beberapa film yang fokus terhadap isu-isu perempuan. “Kartini”, “Perempuan Berkalung Sorban”, “Ronggeng Dukuh Paruk” adalah beberapa film yang mengangkat isu perempuan. Di mana isu perempuan diangkat, di situlah feminisme bertindak. Film “Yuni” mengangkat isu-isu feminisme, khususnya feminisme yang menentang konsep Islam konservatif.

Penganut agama Islam memiliki tafsiran yang beragam terhadap pemahaman dalam agamanya. Ada yang menafsirkannya secara tegas tanpa negosiasi (baca: saklek), yang dikenal dengan Islam konservatif, ada yang menafsirkannya secara fleksibel sesuai perkembangan zaman, dikenal dengan Islam liberal, dan ada yang menafsirkan secara netral, yang kita kenal sebagai Islam moderat.

Film “Yuni” sendiri secara khusus menyajikan isu-isu feminisme yang bertentangan dengan apa yang diyakini oleh kaum Islam konservatif. Setidaknya ada tiga isu menarik yang terdapat dalam film ini.

Baca juga : Setelah Membaca Akutagawa

1. Keperawanan Menjadi Penentu Perempuan Baik-Baik

Di bagian awal review film “Yuni”, saya menyampaikan mengenai munculnya wacana bahwa di sekolah Yuni akan diadakan tes keperawatan. Sebagai penonton, wacana tersebut cukup membuat saya bingung.

Sekolah ngapain bikin tes keperawanan?

Ternyata eh ternyata… tes keperawanan yang diwacanakan itu guna menyeleksi siswi yang akan mendapat beasiswa ke perguruan tinggi. Singkatnya begini. Perawan = dapet beasiswa. Enggak perawan = enggak dapet beasiswa. Keperawanan menjadi indikator dalam menilai seorang siswi itu perempuan pintar atau bodoh.

Maksud saya begini. Apakah keperawanan seseorang dapat mengindikasikan bahwa doi itu perempuan baik-baik? Bagaimana kalau justru perempuan yang sudah tidak perawan lebih pintar, bijaksana, dan dewasa daripada perempuan yang masih perawan?

Polemik tes keperawanan di film ini juga mengindikasikan bahwa tidak perawannya seorang perempuan adalah hal yang hina, sebagaimana banyak dipercayai oleh kaum Islam konservatif. Kita enggak bisa men-judge bahwa perempuan yang sudah tidak perawan itu sebuah entitas hina yang mesti kita jauhi dalam kehidupan masyarakat. Saya haqqul yaqin, perempuan-perempuan di sana yang sudah tidak perawan pun punya masa lalu yang berbeda-beda. Apakah ia pernah menjadi korban pelecehan seksual, korban pemerkosaan, atau terjerumus kepada seks bebas bersama pacarnya. Kemungkinan-kemungkinan itu mungkin terjadi.

Saya jadi teringat ucapan Seno Gumira Ajidarma. Ia pernah berkata, “aku bukan jenis orang tolol yang menganggap keperawanan itu penting, dan mengukur kesucian seseorang hanya dari tubuhnya”. Berhenti bersikap seperti orang paling alim yang menilai kesucian seseorang dari fisiknya saja—dalam hal ini keperawanan.

2. Perempuan Terkungkung dalam Ruang Domestik

Di awal-awal film, ada bagian yang menunjukkan bagaimana Yuni susulumputan (baca: sembunyi-sembunyi) masuk ke rumah saat hari sudah malam. Ia lalu mendapat teguran dari neneknya yang bilang kalau perempuan itu enggak seharusnya pulang malam. Kesehariannya, ya, harus begini: sekolah, pulang, ngurus rumah.  

Padahal, walaupun Yuni sering pulang malam, ia tidak meninggalkan kewajibannya untuk mengurus rumah. Ia mencuci, menyapu, menjemur pakaian—walaupun dikerjakan di malam hari. Namun justru poinnya di situ. Yuni, selarut apapun ia pulang, tetap menjalankan kewajibannya mengurus rumah. Lalu, untuk apa tetap dipaksa pulang tepat waktu kalau pulang larut malam saja ia masih sanggup melaksanakan kerja-kerja domestik perempuan di rumah?

Pandangan Islam konservatif yang kolot justru menjadikannya intoleran terhadap perkembangan zaman. Kehidupan abad 21 jauh berbeda dengan kehidupan abad ke-13, atau yang lebih tua dari itu. Kehidupan modern butuh penyesuaian-penyesuaian supaya hidup jadi lebih tertata—tanpa mengesampingkan nilai agama. Yuni adalah salah satu contoh perempuan yang moderat. Ia mampu menyeimbangkan hak dan kewajibannya sebagai perempuan tanpa cela. Sebuah karakter yang patut ditiru.

3. Suara Perempuan adalah Aurat

Isu terakhir yang menarik dalam film “Yuni” adalah pandangan masyarakat bahwa suara perempuan adalah aurat. Karena suara perempuan adalah aurat, maka ia harus ditutup rapat. Begitu kira-kira.

Di bagian awal-awal film, Yuni bertemu dengan beberapa teman ekstrakulikuler musik di sekolahnya. Ia mendapat kabar bahwa rohis membekukan ekstrakulikuler musik karena musik itu dianggap haram dan suara perempuan adalah aurat. Sebuah pemahaman Islam konservatif yang sering jadi perdebatan di zaman modern ini.

Bagi saya,  film ini memaknai suara perempuan bukan hanya secara leksikal, yakni suara yang dihasilkan oleh perempuan. Lebih jauh dari itu, suara perempuan di film ini mengandung makna perlawanan terhadap tradisi Islam konservatif yang tidak memberikan ruang bagi kaum perempuan. Perempuan dipaksa untuk tak bersuara walaupun patriarki menginjak mereka. Makanya, tsuara perempuan disamakan seperti sebuah aurat yang wajib untuk ditutupi.

Boleh dibilang, film “Yuni” ini kental dengan wacana perlawanan kaum feminisme. Perlawanan itu saya lihat lebih menekan konsep Islam konservatif yang dianggap tak memberikan ruang kebebasan bagi perempuan. Perempuan hanya menjadi objek kaum laki-laki dalam hidup. Ia tak ubahnya seorang pesuruh, pelayan nafsu, dan pekerja domestik (baca: rumah). Tokoh Yuni mematahkan stigma ini dengan apik dalam filmnya. Ia memberikan pembuktian perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam hal memperoleh pendidikan, memilih pasangan hidup, dan melaksanakan tanggung jawab sebagai seorang perempuan. Hidup Yuni! Hidup perempuan Indonesia!

Baca juga: 4 Film Ini Akan Merubah Persepsimu Terhadap Perempuan: Part 2

Penulis: Daffa Imam Naufal
Editor: Algina Shofiyatul H