Pementasan teater yang menampilkan lima aktor dengan kostum khas, menggambarkan adegan emosional antara perempuan berhijab dan seorang pria berseragam dinas.

Jejak Tiga Luka: Dilema Seorang Sarjana Perempuan

Ketika kedua orang tuamu sudah mengeluarkan semua yang dimilikinya agar kamu bisa berkuliah, tetapi ketika lulus kamu tidak memberikan timbal balik yang setara. Kira-kira akan seperti apa?

“Jejak Tiga Luka” yang dipentaskan oleh Pagelaran Adhikara mencoba untuk memotret fenomena tersebut. Linda, seorang perempuan yang baru menjadi sarjana pendidikan harus mengalami banyak tekanan dari sang Ibu. Alasannya karena ia tidak kunjung mendapatkan pekerjaan meski sudah menjadi sarjana.

Tidak hanya itu, “Jejak Tiga Luka” juga membungkus kisah Linda dengan realitas sosial. Pementasan tidak hanya terpusat pada Linda sebagai tokoh utama, tetapi juga tokoh-tokoh lain yang hidup di dunia sekitarnya. Hal tersebut membuat dunia “Jejak Tiga Luka” menjadi hidup dan membuat masalah yang Linda alami berkembang menjadi masalah sosial yang besar, yakni tidak hanya di lingkungan keluarganya, tetapi juga sampai di lingkungan rumahnya.

Selayang Pandang

Setelah master of ceremony  turun dari panggung, seluruh lampu mati sehingga membuat seluruh gedung pertunjukkan menjadi gelap gulita. Kemudian lampu di panggung mulai menyala dan menampilkan sejumlah penari. Para penari ini merupakan penggambaran dari alam bawah sadar Linda yang merasa tertekan karena tuntutan sang Ibu yang terus menekannya untuk mendapatkan pekerjaan dan selalu mengungkit gelar sarjananya.

Suara hati Linda keluar melalui mulut para penari, seperti “kalian menertawakanku”, “kalian meremehkanku”, dan “kalian semua menertawakanku, mencibirku, seolah gelar sarjana ini hanya kertas tanpa arti”. Kemudian latar alam bawah sadar Linda berganti ke kenyataan.

Setelah itu, kita dibawa berkenalan dengan dunia Linda. Kita berkenalan dengan Ibu, Bapak, Ceu Eha, Dahlia, dan lain sebagainya. Melalui kehidupan Linda, kita mengetahui konflik antara Ibu Linda dan Ceu Eha, yang membuat Ibu mendapatkan tekanan sosial. Ibu merasa kalah saing dengan Ceu Eha karena anak Ceu Eha, Dahlia yang hanya lulusan SMA, bisa mendapatkan pekerjaan sebagai guru, sementara Linda yang sudah sarjana masih kesulitan mendapatkan pekerjaan.

Di sisi lain, Linda menjadi sulit mendapatkan pekerjaan bukan karena kompetensinya yang kurang, tetapi karena tuntutan ibunya yang tinggi. Karena hal tersebut, Linda mencoba untuk mendapatkan pekerjaan yang bisa memuaskan Ibu. Namun akhirnya, karena tidak kunjung mendapatkan pekerjaan, Linda memilih menjadi guru.

Linda dan Dahlia sedang mengobrol dalam pementasan “Jejak Tiga Luka” pada Sabtu (05/07/2025). (Foto: Saddam Nurhatami/Literat)

Keputusan Linda menjadi guru pun masih mendapat tantangan. Ibunya merasa bahwa menjadi guru di sekolah yang sama dengan Dahlia tidak bisa mengangkat derajatnya. Namun, Linda dapat membuktikan kepada Ibu bahwa ia memiliki kompetensi mengajar yang lebih baik dari Dahlia, yang lulusan SMA. Dahlia bisa mengajar karena sempat diminta oleh pamannya dan tidak terdapat tenaga pengajar lain di desanya yang bisa mengajar dalam waktu yang lama.

Akhirnya, Linda mendapatkan pengakuan bukan hanya dari Ibunya, tetapi juga dari seluruh lingkungannya. Ia dinilai memiliki kompetensi yang lebih baik oleh beberapa orang tua murid dan murid-muridnya, bahkan diminta untuk memberikan pelajaran di luar kelas terhadap salah satu muridnya.

Baca Juga: Menilik peran AI dalam Sastra, Apakah sebagai Mitra atau Justru Ancaman berbahaya?

Tawa dan Tangis

Sepanjang pertunjukkan, kita dibawa tertawa dengan interaksi tokoh-tokoh di sekitar Linda. Semua tokoh dibangun dengan karakteristik khas masyarakat Sunda yang senang bercanda sehingga seringkali di setiap percakapan selalu terselip candaan. Salah satunya tokoh Bapak, yang paling sering mengeluarkan lelucon dan bertingkah lucu sehingga penonton tertawa.

Selain itu, interaksi tokoh-tokoh di tukang sayur dan para pemuda desa, Kusni beserta dua anak buahnya, sering membuat penonton tertawa karena interaksinya dengan Ceu Eha dan Ibu Kusni. Interaksi Kusni dengan Linda pun berhasil membuat penonton tertawa. Hal ini karena Kusni mengeluarkan macam-macam siasat untuk memikat Linda yang tidak begitu berhasil.

Selain itu, momen ketika Ibu kecewa terhadap Linda karena menjadi guru di sekolah yang sama dengan Dahlia membuat kita menangis. Linda yang sudah berusaha keras untuk mendapatkan pekerjaan pun menjadi hancur karena hanya mendapatkan kekecewaan dari Ibu.

Selain itu, momen ketika Dahlia mengatakan kepada Linda bahwa ia juga menginginkan kuliah pun membuat kita ikut miris melihat nasib Dahlia karena banyak orang yang menginginkan pendidikan tinggi, tetapi tidak bisa mendapatkannya karena terhalang ekonomi dan keluarga. Ibu Dahlia, Ceu Eha, menganggap kuliah tidak begitu penting, terutama bagi perempuan. Baginya, apabila perempuan menikahi lelaki kaya raya, maka kebahagiaan sudah pasti akan didapat.

Tekanan Sosial yang Mencekam

Erna Sari, sebagai penulis naskah, mengatakan bahwa naskah yang ia tulis bermula dari keresahannya terhadap stigma negatif di masyarakat yang muncul tentang seorang sarjana. Seorang sarjana seringkali dianggap memiliki kompetensi yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang tidak sarjana. Kenyataannya, meski seorang sarjana memiliki kompetensi yang lebih baik, persaingan di dunia kerja sangat sulit karena tidak tersedia lapangan kerja yang cukup, banyaknya saingan, dan lain sebagainya.

Para aktor pementasan “Jejak Tiga Luka” pada Sabtu (05/07/2025). (Foto: Saddam Nurhatami/Literat)

Adi Ziraan menambahkan bahwa naskah ini berusaha untuk menggambarkan realitas sosial sebagaimana mestinya. Dalam pementasan, penggunaan ponsel jarang terlihat sebab di realitas sosial kita sehari-hari. Meski ponsel bisa memudahkan komunikasi, tetapi seringkali mengalami kendala.

Pada akhirnya, interaksi/komunikasi secara langsung dirasa lebih efektif. Begitu pun dengan Linda yang kesulitan mencari pekerjaan digambarkan sangat masuk akal karena mulanya Ibu tidak merestui Linda menjadi guru. Namun, karena kesulitan mencari pekerjaan yang lain dan tidak memiliki kompetensi lain sebaik kompetensinya sebagai guru, Linda pun tetap menjadi guru.

Linda menjadi gambaran seorang sarjana yang mendapat tekanan dari lingkungan di sekitarnya yang berdampak pada psikologisnya. Bukannya tidak bisa memenuhi tuntutan dari lingkungan sekitarnya, melainkan karena Linda tidak bisa berbuat banyak terhadap kondisi sosial dan politik yang terjadi di dunianya hingga membuatnya tidak memenuhi tuntutan dari lingkungan sekitarnya.

“Jejak Tiga Langkah” berhasil menyampaikan semua pesannya dengan sangat baik, mulai dari pesan tentang keperempuanan, kependidikan, hingga kerukunan. Semua penonton dapat ikut terhibur sepanjang pertunjukkan. Penampilan tarian membuka pertunjukkan dengan manis dan permainan lampu membuat panggung menjadi sangat hidup.

Baca Juga: Menyimak Doa dalam Bait: Rekomendasi Puisi Bertema Agama

Penulis: Rihan Atshari
Editor: Laksita Gati Widadi