Kehidupan Remaja Sinta yang Putus dan Pupus

Terkadang, ketika masalah di kehidupan kita makin lama kian menumpuk, pelarian yang paling sederhana ialah dengan melamun. Sambil menopang dagu dan menatap ke langit-langit, rasanya semua kebisingan akan menjadi sunyi, bahkan di tempat ramai sekalipun.

Sinta namanya, tokoh utama dalam pertunjukan teater berjudul Putus yang Pupus (kelas Nondik 4B, 2022) kedapatan melamun saat pertunjukan baru saja dimulai. Teman-temannya di kelas tak ia hiraukan waktu jam istirahat. Tatapannya kosong, seolah mengisyaratkan ada beban berat yang ia panggul di dalam hatinya. Sebuah tanda tanya apa sebenarnya yang terjadi pada kehidupan karakter utama ini.

Seperti anak SMA pada umumnya, Sinta memiliki beberapa teman sejoli, yakni Rihan, Fuad, dan Joan. Tiga teman Sinta ini menjadi pewarna dalam kehidupannya. Setidaknya membangunkan Sinta dari lamunan, dan mengajaknya ke kantin.

Konflik pertama pun terjadi, ketika mereka bertemu dengan geng anak cewek yang berasal dari sekolah lain, saat hendak menuju kantin. Perseteruan di antara mereka terpantik sebab geng anak cewe yang terdiri dari Hana, Dina, Cika, dan Putri, merasa bahwa Sinta adalah pelakor dari salah satu pasangannya geng anak cewek ini. Masing-masing dari mereka saling mengolok dan mengejek.

Baca Juga: Mahautpatti dan Problematika Negeri

Setelah perseteruan yang tidak memiliki kejelasan secara lanjut pada isi cerita, adegan beralih ke sebuah latar ruang tamu. Memperlihatkan seorang bapak (Ayah Sinta) yang sedang membaca koran. Di sebelah kiri panggung, terdapat sebuah pintu. Tak lama, Sinta mengetuk pintunya, dan masuk ke dalam rumah. Pada latar ruang tamu ini, permasalahan yang menerpa hidup Sinta, perlahan terungkap.

Kehidupan di rumah Sinta, dapat dikatakan tidak baik-baik saja. Ayahnya yang penganggur dan memiliki cara berpikir patriarki, serta Ibunya yang sering berada di luar, dengan alasan bekerja atau rapat. Setiap kali Ibu dan Ayahnya berada di rumah, mereka selalu bertengkar, sedang Sinta hanya meratapi dan berteriak sesekali untuk melampiaskan amarahnya. Keretakan keluarga Sinta tersimbolkan dalam pigura foto keluarganya yang tergantung miring pada tembok ruang tamu. Sampai pada akhirnya, Ayah Sinta memilih untuk minggat, dan Ibunya memilih untuk mencari pasangan lain.

Kesedihan Sinta dapat dirasakan saat ia melakukan interaksi dengan karakter lain, dan beberapa kesempatan dirinya bermonolog. Apalagi, ketika Sinta mengetahui bahwa ia mengidap penyakit Lupus. Penyakit yang selama ini juga menggerogoti kesehatannya. Penyakit yang membuat dirinya selalu tampak pucat, menambah beban pikiran dan jiwanya.

Putus yang Pupus merupakan pertunjukan kedua dari rangkaian pergelaran sastra jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (21 Mei 2024), yang mana pertunjukan kedua ini merupakan sebuah alih wahana dari novel karya Sinta Ridwan, berjudul Berteman dengan Kematian.

Secara keseluruhan, pertunjukan ini mengangkat isu tentang bagaimana kehidupan seorang anak yang hidup dari keluarga tidak harmonis. Depresi, merasa sendiri, dan kesepian adalah bagian hidup dari anak korban keluarga tidak harmonis. Setidaknya, tokoh Sinta dapat menggambarkan perasaan dari anak broken home kepada para penonton. Lalu, dalam pertunjukan ini, gambaran dari Ayah Sinta yang pemalas, pengangguran, dan hanya modal mokondo (Modal konsisten, malas, dan dongo), akan menjadi pemantik besar bagi keretakan suatu rumah tangga.

Akan tetapi, beberapa adegan dalam pertunjukan ini rasanya bagi saya cukup “lucu”. Seperti pada adegan Sinta disuruh oleh dokter —yang menyatakan dirinya mengidap penyakit Lupus, dan diperkirakan tiga tahun lagi ia akan mati— untuk mengikuti seminar lupus supaya mengetahui tentang apa itu lupus. Pertanyaan saya tentang adegan ini timbul di dalam hati, “Dokter macam apa ini. mendiagnosis pasiennya mengidap penyakit mematikan, dan tak lama lagi akan mati, tapi menunda untuk memberi penjelasan kepada pasiennya, dan malah promosi seminarnya.” Kemudian, kelucuannya berlanjut ketika dokter tersebut telat datang 15 menit saat mengisi acara seminarnya, demi kemungkinan memberi motif atau respons pada tokoh Sinta untuk pulang dari tempat seminarnya.

Selain itu, dialog antar-tokoh yang dihadirkan tampaknya terasa hambar. Ya, walaupun sedikit diselamatkan oleh tokoh Rihan yang memiliki karakter humoris, dan selalu berceloteh tentang makanan dan rasa lapar, dapat memecah kebosanan penonton. Meskipun jokesnya berulang-ulang digunakan.

Belum lagi, adanya konflik yang dirasa tidak berpengaruh terhadap pengembangan cerita, seperti pada konflik Sinta dan teman-temannya dengan geng cewek yang hanya sepintas lewat saja. Tidak menjelaskan apa dan kenapa konflik itu bisa terjadi. Kemudian, kematian mendadak Ayah Sinta yang dirasa terlalu tiba-tiba.

Baca Juga: Teater Kemat Jaran Goyang: Batas Tipis antara Cinta dan Obsesi

Pada bagian akhir adegan, terdapat Sinta (dengan menggunakan toga) dan beberapa aktor lainnya melakukan musikalisasi bersama. Sebuah penyelesaian akhir yang juga dirasa tiba-tiba. Amat sayang, gambaran bagaimana Sinta melawan penyakit lupus tidak ditampilkan. Padahal, ada kemungkinan upaya semangat Sinta akan mematahkan diagnosis dokter yang mengatakan bahwa dirinya tidak lama lagi akan mati.

Terlepas dari semua itu, pertunjukan teater yang ditampilkan oleh mereka dapat menggambarkan bahwa seseorang yang memiliki permasalahan rumit, seperti Sinta, masih bisa mengejar kehidupan yang baik di kemudian hari. Meski perlu menguras tenaga dan jiwa (dan jangan cuma melamun). Sekian.

Penulis: Muhammad Rifan Prianto (ASAS UPI)