KKN (Kita Kudu Ngapain) 

Tepat pada tanggal 26 Juli kami berangkat menjalankan tugas akademik yang cukup merepotkan. Eitss, jangan salah paham dulu, kami repot bukan karena harus berinteraksi dengan masyarakat sekitar, bukan pula repot dengan kerja-kerja sosial yang akan kami lakukan, kami repot dengan berbagai hal yang menurut kami kurang sepadan. Oke, agar tidak menjadi salah paham, kami akan coba kasih paham.

1. Kuota kelompok tidak sesuai

Pertama, kuota yang diberikan tidak sesuai dengan jumlah orang yang mengontrak mata kuliah Kuliah Kerja Nyata (KKN). Hal ini cukup merepotkan karena salah satu dari kami sempat tidak mendapatkan lokasi yang akan dituju. Walaupun yang menjadi tersangka kejadian hal ini bisa saja dari orang ketiga, seharusnya kuota yang diberikan lebih banyak bukan malah lebih sedikit. Oh, iya, tersangkanya adalah buah pikir dari pak menteri pendidikan alias Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM)

2. Tidak ada biaya dari kampus

Kedua, tidak ada sedikit pun dana yang mensponsori kegiatan kami selama melaksanakan tugas yang kami terima. Dalam kurun waktu kurang lebih satu bulan, tidak ada sedikit pun kucuran dana yang diberikan pihak kampus agar kegiatan ini berjalan dengan lancar, baik itu dana untuk transportasi, akomodasi, kegiatan, apalagi untuk makan sehari-hari kami. Bukan tidak bisa untuk menjadi mandiri, tetapi kami merasa heran karena kami harus membayar lagi. Maksudnya, saat memulai perkuliahan, kami diminta untuk membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT). Merujuk kata ‘tunggal’ tersebut, kami kira tidak ada pembayaran lagi selama satu semester itu, baik kegiatan belajar mengajar ataupun kegiatan yang sifatnya praktikal. Tapi tak apalah, barangkali tidak ada alokasi dana untuk mata kuliah ini, lagian kami juga tidak tahu rincian dari UKT. Kami hanya tahu UKT merupakan turunan dari Biaya Kuliah Tunggal (BKT), tapi kami tidak tahu isi dari BKT itu. 

3. Tema yang cukup sempit

Ketiga, dengan komposisi yang beragam, kami diminta untuk membawakan tema yang cukup sempit, “stunting”. Stunting atau dalam istilah yang kurang halus adalah gizi buruk. Kata itu menjadi tema besar kami saat menjalankan tugas yang kami terima. Di sini kami bukan hanya kerepotan, tetapi juga cukup kecewa. Kami harus mensosialisasikan pemahaman mengenai stunting disaat kami juga belum paham sepenuhnya perihal stunting.

Bukannya tidak mau belajar lagi, tapi stunting sangat jauh dari disiplin ilmu yang sebagian kami pelajari selama perkuliahan. Iya, kami paham. Alasan kami diberi tema seperti itu karena data di Jawa Barat mengenai dampak stunting cukup besar, sehingga bapak gubernur meng-order kepada mahasiswa lewat lembaga kampus agar ikut serta menyelesaikan masalah ini. Akan tetapi, hal itu malah kurang berdampak disaat kami hanya dapat bersosialisasi sedangkan stunting dapat terselesaikan dengan mengurangi angka kemiskinan. Iya, kami paham, makanan sehat tidak harus selalu mahal, tapi, bagaimana jika untuk mendapatkan makanan murah pun mereka tetap kesusahan? Hehehe

4. Kurangnya arahan dari pihak LPPM

Terakhir, kurangnya arahan kepada kami, baik dari pihak dosen ataupun pihak LPPM. Maaf, ya, Pak, Bu, bukannya kami ingin dimanjakan. Jika nama kampus ingin harum di masyarakat, jangan asal-asalan memberikan tugas, kami cukup bingung dengan apa yang harus kami lakukan, kami cukup bingung dengan tema yang telah ditentukan, kami cukup bingung dengan nihilnya dana yang sama sekali tidak kami dapatkan. Dalam kebingungan itu, kami merasa kurang mendapatkan arahan. Bukannya romantisisasi KKN tidak berarti, kami hargai kok hubungan asmara yang berlanjut antara mahasiswa KKN dengan masyarakat sekitarnya dan antara mahasiswa KKN dengan teman kelompoknya, tapi, bukankah itu bukan yang utama dalam kegiatan ini? Kenapa dalam momen pengarahan, hal itu seolah-olah yang paling diutamakan? Kami rasa, jika kami diberikan langkah-langkah yang jelas, mungkin nama kampus akan harum dengan adanya KKN ini. 

Oke, semoga penjelasan tersebut tidak menjadi salah paham kenapa KKN menjadi hal yang merepotkan. Oh, iya, kami menulis ini karena rasa cinta kami kepada kampus agar dapat mendengar kritik dan semoga dapat menjadi bahan evaluasi nantinya. Terima kasih.

Penulis: Dea Rahmat S. dan Sendy Maulana H.
Editor: Laksita Gati Widadi

Baca juga: Lautan Karnaval Hut RI 78 Lembang : Dari Singa Depok Hingga Miniatur Garuda