Ungkapan “anjing menggonggong” merupakan frasa yang terdapat dalam peribahasa “anjing menggonggong, kafilah berlalu” yang tercantum dalam KBBI. Secara makna leksikal, peribahasa tersebut bermakna “tidak menghiraukan perkataan orang lain”. Sementara secara etimologis, kata tersebut dibentuk dari dua kata dasar yang saling berkaitan secara makna, yakni “anjing” dan “gonggong”. Kata “gonggong” dalam situasi bahasa ini mengalami penambahan awalan “me-” yang menunjukkan adanya tindakan aktif.
Perspektif Budaya Batak dan Jawa
Penggunaan ungkapan “anjing menggonggong” sendiri dapat ditelusuri dari perspektif budaya yang berbeda, yaitu budaya Batak dan budaya Jawa, sehingga memiliki konteks makna yang berbeda pula. Dalam budaya Suku Batak Toba, kata “anjing” diartikan sebagai hewan penjaga rumah dan sahabat manusia sehingga mengarah pada konotasi positif. Ungkapan “sitangki-tangki anjing do hamu” dalam bahasa Batak memiliki kemiripan dengan “anjing menggonggong” yang bermakna positif sebagai bentuk teguran untuk lebih bekerja keras. Di sisi lain, dalam budaya Jawa, istilah “anjing” disebut dengan “asu” dan lebih mengarah pada konotasi negatif karena selalu berkaitan dengan hal yang kurang baik, seperti pada peribahasa “asu rebutan balung” yang menggambarkan sifat egois seseorang dalam merebutkan sesuatu.
Pidato Presiden dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industropolis Batang
Salah satu penggunaan istilah “anjing menggonggong” terdengar ketika Presiden Prabowo memberikan sambutannya dalam acara peresmian Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industropolis Batang, Jawa Tengah, pada Kamis (20/3/2025). Pada pidato tersebut, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan tekadnya untuk memajukan Indonesia melalui program hilirisasi dan akan membangun Indonesia gemilang tanpa terpengaruh dengan beragam cibiran di luar sana.
“… kita akan maju terus, biar anjing menggonggong, kita akan maju terus. Kita akan bangun masa depan yang gemilang,” tegasnya.
Berbagai Reaksi terhadap Gaya Retorika Politik Presiden
Gaya retorika politik Presiden Indonesia akhir-akhir ini menuai banyak reaksi dari masyarakat. Hal tersebut didasari oleh penggunaan diksi dalam pidatonya, yakni anjing menggonggong yang dinilai tidak sesuai apabila digunakan dalam situasi formal dan publik. Terlebih lagi, ungkapan tersebut tidak sesuai dengan konteks sejarah asal-usul peribahasa “anjing menggonggong” yang mengakar dari budaya Timur Tengah.
Pasalnya, peribahasa “anjing menggonggong, kafilah berlalu” yang tercantum dalam KBBI berasal dari sejarah budaya Timur Tengah. Kata “kafilah” adalah sebutan bagi rombongan yang berkendara dengan unta di padang pasir. Dalam perjalanannya, mereka selalu ditemani oleh suara gonggongan anjing liar. Namun, kafilah tetap fokus berjalan tanpa terganggu oleh bisingnya suara gonggongan tersebut.
Apabila asal-usul peribahasa tersebut dikaitkan dengan konteks pidato Presiden Prabowo, tampak jelas bahwa ada ketidaksesuaian konteks makna. Jika dilihat melalui konteks bahasa, ungkapan “anjing menggonggong” dalam pidato Presiden Prabowo mengalami pergeseran makna negatif yang mengarah pada penggunaan subjek “anjing” dalam menyebut “seseorang” yang sering memberikan kritik, tetapi tidak memberikan saran. Hal ini didasari oleh perbedaan konteks situasi yang terjadi pada rombongan kafilah dan juga pidato yang dilakukan Presiden Prabowo. Namun, keberagaman budaya di Indonesia memengaruhi timbulnya perbedaan persepsi terhadap suatu kata di berbagai daerah.
Meskipun “anjing menggonggong” dimaknai sebagai ungkapan motivasi seseorang agar tetap bekerja keras, nyatanya istilah ini juga dapat mengacu pada konotasi negatif, khususnya sebagai umpatan, makian, atau hinaan. Pergeseran makna ini dapat berubah tergantung dari bagaimana konteks bahasa tersebut terjadi.
Dalam ranah politik, cara seorang pemimpin dalam berkomunikasi memiliki peran krusial dalam membentuk pandangan masyarakat yang mendengarkannya. Penggunaan kata-kata yang sesuai tempat, seperti anjing menggonggong dan ndasmu dalam forum resmi dapat mencerminkan kurangnya kendali terhadap penerapan komunikasi. Fenomena perbedaan persepsi bahasa ini menunjukkan bahwa edukasi mengenai pemahaman kontekstual dalam bahasa Indonesia perlu diajarkan kepada masyarakat.
Baca Juga: Fenomena “Gue-Lo” di Balik Eksklusivitas Bahasa Gaul dan Polemik Identitas
Penulis: Jovita Dwi Swistika Murti
Editor: Laksita Gati Widadi