Semenjak kuliah dirumahkan, saya benar-benar terpisah dengan kehidupan kampus. Tidak tahu bagaimana kabar kampus, dan apa-apa yang terjadi di dalamnya. Memang, salahnya adalah saya tidak peduli dan tidak mencari tahu.
Saya bukan termasuk anak-anak yang kritis—senang mengikuti organisasi, dan berdemo. Saya lebih senang membaca buku, bekerja (untuk biaya kehidupan dan UKT saya selama di Bandung), dan menyelesaikan studi saya (karena UKT saya mahal banget). Menurut anak-anak yang mengamini dirinya kritis, saya dikategorikan sebagai anak yang apatis. Sakit hati sih memang, tetapi mau bagaimana lagi? Lebih baik saya dikatakan apatis daripada saya tidak bisa makan dan kuliah.
Apatis memang, tetapi bukan berarti tidak mengamati pergerakan kampus. Selama di rumah, di sela-sela membantu bapak-ibu, saya sering mengecek media sosial. Saya tahu kok, di awal puasa itu ada undangan diskusi melalui Zoom. Saya lupa temanya apa, hanya saja ada banyak foto terpampang di sana. Baru melihat pamfletnya saja, muncul pertanyaan pertama: apakah ini pergerakan yang sedang dibuat?
Namun sayang, rumah saya di pedesaan yang terbilang susah sinyal. Belum lagi, ekonomi yang buruk tak memungkinkan saya untuk menghabiskan kuota sebanyak itu. Pada akhirnya saya tidak mengikuti diskusi pertama ini.
Beberapa waktu setelahnya, pamflet yang hampir serupa hadir kembali. Bedanya adalah foto di pamflet tersebut semakin banyak. Mungkin, bisa jadi dua kali lipatnya. Ditambah, sekarang sudah memunculkan sosok yang berbeda jenis kelamin. Wah, saya penasaran dong. Namun, saya berpikir lagi dan muncullah pertanyaan kedua: apa maksud mereka memajang foto mereka sendiri? Apakah mereka mencari eksistensi?
Sumpah demi apapun, andai saja saya memiliki sinyal dan kuota yang layak, saya ingin sekali ikut diskusi tersebut. Setidaknya, mungkin, dua pertanyaan di atas dapat terjawab. Atau seandainya ada info soal diskusi itu, pertanyaan saya mungkin terjawab.
Hari-hari berikutnya, Twitter ramai dengan tagar yang mengatasnamakan kampus saya (saya lupa kejadian ini sebelum atau sesudah diskusi hehe). UPI menduduki trending utama Twitter. Tagarnya berisi penolakkan untuk membayar UKT. Saya tidak tau siapa yang membuat. Hanya saja, itu cukup mewakili saya. Saya sadar, saya tidak sendiri.
Hari-hari berikutnya, di grup kelas saya, ada yang membagikan kebijakan mengenai penangguhan dan bantuan biaya. Saya cukup senang. Walaupun, tidak menyelesaikan masalah ekonomi saya, tetapi ini memberi saya napas. Barangkali, ini salah satu kebijakan yang keluar pasca aksi di Twitter. Di tengah rasa gembira saya yang sementara, muncul pertanyaan ketiga: siapakah yang mengawali gerakan di Twitter tersebut? Apakah ada hubungannya dengan pamflet yang berisi foto-foto sangar kemarin?
Saya melanjutkan pekerjaan di rumah. Membantu ayah saya yang sedang bekerja serabutan pasca PHK, dan Ibu saya yang baru menjadi buruh cuci. Situasi ekonomi semakin memburuk. Penangguhan dan bantuan dana yang tidak pasti tidak mampu lagi melepaskan saya dari cekik ekonomi. Jika terus demikian, saya terancam gagal melanjutkan kuliah.
Saya mengecek beberapa kali handphone saya. Berharap, orang-orang kritis tersebut melanjutkan perjuangannya. Namun sayang, hanya sepi yang didapat. Setiap hari saya cek dan hasilnya sama. Apakah habis hashtag sepah dibuang? Muncul pertanyaan keempat: kemana orang kritis di kampus? Apakah mereka sudah cukup senang dengan hasil sebelumnya?
Di tengah pikiran saya yang acakadut, media sosial saya diramaikan dengan audiensi yang dilakukan oleh perwakilan mahasiswa (kalau tidak salah, orang-orang ini adalah orang yang ada di pamflet pertama). Saya melihat beberapa foto dan video di lokasi lapangan. Saya kebingungan. Masih di pertanyaan keempat: Situasi apa yang sebetulnya sedang terjadi di kampus? Tumben sekali BEM Rema, UKSK UPI, dan ketua-ketua himpunan tidak terlibat. Situasi kampus nampaknya berubah semenjak Covid-19 masuk kampus.
Sampai saya mengetik tulisan ini, saya belum menemukan jawaban atas empat pertanyaan di atas. Di satu sisi saya bingung dengan kelanjutan kuliah saya, di sisi lain saya juga bingung mesti bergantung kepada siapa. Oleh karenanya, saya mengharapkan ada yang membantu saya untuk menjelaskan situasi kampus dan menjawab empat pertanyaan sebelumnya.
Baca juga: Tugas Kuliah: Lockdown versi Lite