Subbidang Akademik Hima Satrasia mengadakan diskusi santai yang dilaksanakan secara daring mengenai bahasa (20/4). “Latar belakang diadakannya diskusi santai berangkat dari konstitusi Hima Satrasia GBPK sebenarnya. Bahwa Hima Satasia perlu memberikan fasilitas, pengarahan seputar akademik, gitu. Perlu membantu madep dalam hal akademiknya.” Tutur Rahmawat, ketua Subbidang Akademik. Diskusi santai ini menyorot pada penggunaan bahasa Indonesia di media digital. Pemateri, Rafqi Sadikin membahas platform tempat terjadinya fenomena bahasa khususnya di Twitter, Facebook, dan Instagram.
Pemateri mengatakan, semua orang menjadi virtual saat ini. Menariknya, dalam penggunaan bahasa kita sering menempatkan posisi besar dalam bahasa, yakni verbal dan tulis. Bentuk bahasa adalah ujaran, baik itu verbal atau tulisan. Namun, gaya penggunaan bahasa yang digunakan dalam tulisan ketika kita berkomunikasi di media digital menggunakan ragam verbal, seolah kita bisa mendengar suaranya langsung.
Penggunaan bahasa di internet atau media digital terbagi menjadi dua, yaitu sistem dan organik dalam lingkup yang disebut platform. Dalam penggunaan bahasa di dunia digital, kita mesti mengetahui kedua hal tersebut. Semua yang ada di sistem dan organik diwadahi oleh platform.
Bahasa yang digunakan sistem adalah alogaritma komputasi dari konsep aplikasi atau website. Kita akan menemukan bahasa komputasi dalam satu platform. Contohnya, di Instagram kita akan menemukan love untuk menyukai, komentar untuk memberikan komentar, dan direct message untuk mengirim pesan pribadi. Sedangkan, di Twitter ada retweet.
Organik yang dijelaskan pemateri adalah user. Ketika kita berkomentar dan memposting sesuatu tentu menggunakan bahasa, bahkan ketika kita mengunakan emoticon di dalamnya pasti ada konteks. Jika komputasi penggunaaan bahasanya tidak produktif dalam memproduksi bahasa, maka user adalah lumbung produksinya.
Penggunaan bahasa yang paling berpengaruh di media sosial adalah dari tahun 2010-an. Pemateri mengatakan, ada banyak fenomena bahasa di Kaskus, sebuah forum diskusi internet. Di dalamnya banyak fenomena bahasa, sebab mempunyai kode bahasa tersendiri, menggunakan register tersendiri. Di sana mereka menggunakan variasi bahasa yang sudah ada, tetapi membentuk konteks yang baru.
Baca Juga: Membahas Peran Himpunan saat Pandemik Covid-19 melalui Diskusi IMABSII Jawa-Madura
Variasi bahasa yang paling berpengaruh saat ini adalah media sosial, seperti Facebook, Instagram, Youtube, dan Twitter. Media ini terhubung dalam UCG (User Generate Content). UCG merupakan konten yang digenerasikan oleh user. Semua yang ada di media sosial tidak menawarkan apa-apa, kecuali unggahan yang diunggah oleh penggunanya. Dalam UCG, ada dua pilar yang paling penting, yaitu posting dan komentar. Posting merupakan penebar wacana, sedangkan komentar adalah pengembang wacana.
Menciptakan rasio apresiasi adalah salah satu bentuk dari UCG. Sebuah postingan yang bisa berupa pertanyaan, kegundahan, atau isi pikiran yang diunggah menggunakan bahasa akan dikomentari. Posting dan komentar adalah rasio apresiasi. Kedua hal itu bisa menentukan bagus tidaknya suatu unggahan. Sebuah wacana bisa jadi besar di media digital ketika rasio apresiasinya tinggi.
Lantas bagaimana dengan unggahan yang tidak diberi caption, tetapibanyak komentarnya?
Pemateri melanjutkan, bahwa ada hal yang disebut komunikasi visual, sesuatu yang tidak bisa dielakan hari ini. Kita pasti punya rekaman atau memori terhadap sesuatu. Memori itu adalah kognisi, dalam kognisi ada bahasa yang akan memproduksi bahasa, sehingga akan terjadi interaksi bahasa pula.
Produksi bahasa yang paling banyak ada di Facebook dan Twitter. Tanpa ada konten visual pun bisa, sebab berbentuk tulisan seperti kumpulan pikiran yang didigitalkan. Hal yang menarik dari perkembangan bahasa, khususnya ada di Twitter. Sebab, perkembangan pragmatik banyak tercipta di sana. Mulai dari yang derajat risikonya rendah sampai tinggi. Selain itu, ada gaya bahasa yang cenderung unik. Terkadang, ada tweet yang tidak menggunakan morfologi secara utuh, tetapi kita sebagai orang yang pernah melalui peradaban alay bisa mengerti hal itu. Di Facebook, kita juga akan menemukan gaya bahasa ibu-ibu yang menarik.
Satu catatan yang diberkan pemateri adalah ”umumnya kita mengetahui bahwa satu hal disebut kalimat setelah titik, tetapi sekarang entah iya atau tidak, kita melewatkan titik di belakang. Jadi, apa sebetulnya pemisah sintaksis ketika ia berbicara di media digital? Ini adalah fungtuasi atau pemenggalan kalimat.” tuturnya.
Baca juga: Penantian Perlu Sejalan dengan Persiapan
Di Instagram, karena komunikasi visualnya lebih tinggi rasionya dari yang lain, orang yang hanya pakai satu kata, sudah dianggap ok unggahannya. Ada kekuatan di mana Instagram sudah menggunakan komunikasi visual yang lebih bagus.
Penulis: Kiki Amelia