Ayah dan Perannya yang Tidak Pernah Selesai

Bandung, kota yang selalu hidup oleh hiruk pikuk warganya, hidup dari para pekerja pelaku UMKM, dari gerobak siomay, pikulan minuman, hingga penjual tisu, mereka menjadi nadi ekonomi yang membuat kota tetap berdenyut. Di tengah persaingan dan biaya hidup yang meningkat, banyak dari mereka adalah ayah yang memikul tanggung jawab besar di balik kesederhanaan pekerjaannya. Mereka tidak mencari pujian, melainkan berjuang agar dapur tetap mengepul dan keluarganya tetap bisa tersenyum.

Di setiap sudut kota, ada sosok yang sering luput dari pandangan. Tentang mereka yang tidak sedang mengejar mimpinya, melainkan hanya ingin memastikan kehidupan keluarganya tetap berjalan sebagaimana mestinya. Dan kembali lagi, mereka adalah ayah, seseorang yang mungkin tidak banyak bicara, tapi menunjukkan apa itu tanggung jawab tanpa kata.

Di berbagai sudut Bandung, kisah ayah hadir dalam bentuk sederhana. Ada yang memulai hari dengan membersihkan sampah-sampah di pasar, memikul berbagai minuman dengan berkeliling sambil menahan lelah, atau menggantungkan hidup pada hasil karyanya. Beragam cara mereka tempuh dengan satu tujuan yang sama, yaitu menjalankan tanggung jawab sebagai ayah.

Salah satunya Pak Heri, seorang pedagang siomay berusia 33 tahun yang sudah berjualan lebih dari satu dekade. Pekerjaan itu beliau jalani untuk menghidupi istri dan tiga anaknya. Pak Heri sadar pekerjaannya tidak menjanjikan, tapi baginya selama masih halal, itu sudah cukup menjadi alasan untuk bertahan.

“Semangat, ya, untuk ayah lain di luar sana. Selagi masih muda, semangat terus bekerja untuk anak dan istri,” pesannya untuk para ayah. 

Tidak jauh dari sana, seorang pria lanjut usia tampak menawarkan tisu di genggamannya, beliau bernama pak Rizal, berusia 70 tahun, asal Padang, yang telah lima tahun tinggal di Bandung seorang diri. Pak Rizal merantau karena tidak ingin menyusahkan anak-anak dan  menantunya. Ia juga berpesan, “jaga anak-anak kalian sebaik mungkin.”

Baca juga: Sinau 2025: Bukan Hanya Kenalan, Mahasiswa Baru Juga Berkarya Lewat Sastra

Selain itu, terdapat pedagang minuman keliling bernama Pak Agus yang berusia 53 tahun. Beliau sudah delapan tahun menjalani pekerjaan itu, dan setiap hari selalu berharap dagangannya laku.

“Semoga dagangannya laku untuk kasih makan anak dan istri, walaupun saya cuma jualan air minum,” ujarnya.

Tiga sosok tersebut, pak Heri, pak Rizal, dan pak Agus adalah bagian kecil dari banyaknya ayah yang menghidupi kota dengan tenaga mereka. Di tengah hiruk pikuk yang ada, mereka menjadi bagian dari denyut kehidupan yang mungkin sering diabaikan. Di Hari Ayah ini, cerita mereka mengingatkan bahwa peran ayah tak selalu tampak dalam kata, tetapi dalam kewajiban yang dijalankan tanpa henti, yaitu menjaga, menafkahi, dan bertahan dalam segala situasi.

Cerita tentang ayah tidak hanya datang dari mereka yang memanggul beban hidup di jalanan, tapi juga dari anak-anak yang menunggu sosok itu di rumah. Dari merekalah terdengar bagaimana peran ayah dipahami dengan cara yang sederhana, tetapi penuh ketulusan.

Anes yang berusia 12 tahun dan Amira berusia 8 tahun contohnya, kakak beradik ini memberikan ucapan untuk ayahnya.

“Ayah baik, tapi kadang galak. Semoga sehat terus, Anes sayang ayah,” ucap Anes. Di sampingnya, Amira, menambahkan.

“Sehat selalu Ayah, panjang umurnya, banyak rezekinya,” tambahnya.

Kalimat sederhana itu mewakili banyak anak, menjadi doa kecil untuk ayah yang terus berjuang menanggung harapan keluarga di tengah hiruk pikuk kota. Di sanalah makna Hari Ayah, bukan pada perayaan besar atau kata-kata manis, tetapi pada sosok yang setiap hari menukar waktu dan tenaga demi kehidupan yang lebih baik. Sebab menjadi ayah, pada akhirnya, adalah peran yang tidak pernah selesai.

Baca juga: Suara Warga Sukahaji di Satreskrim Bandung: Bebaskan Saudara Kami

Fotografer dan Penulis: Kheizha Aulia Putri Andini dan Nabilah Novel Thalib

Editor: Gizvah Wanda