Hari Kemenangan Sira

Sebetulnya tempat paling benar bagi pendosa itu di mana?
Tempat teraman bagi seorang korban di bagian mana?
Nyatanya kami hidup berdampingan di tempat yang sama.
Ah, mungkin aku adalah jenis keduanya. Aku adalah korban sekaligus pendosa.
Lebih serakah. Jelas Aku pemenangnya.

***

Ia membuka mata. Terbangun oleh suara azan magrib yang terdengar dari kejauhan. Itu berarti siang telah usai. Ia tak tahu apakah siang ini cerah, apakah sore ini senjanya menguning atau mendung. Seperti hari-hari sebelumnya, ia tak tahu cuaca di luar seperti apa. Sebab dirinya telah berbulan-bulan dikurung dalam ruangan sempit, dingin, dan gelap itu. Tak ada lubang cahaya dengan bentuk apa pun pada dindingnya, hanya ada pintu setinggi badannya dengan lebar satu meter yang bagian atasnya terdapat jeruji. Terkadang memang ia melihat cahaya remang-remang jika ada orang mendekat, sisanya hanya gelap. Ya, perempuan itu, Sira, kini mendekam dalam penjara atas dosa yang dijatuhkan padanya.

Jika dihitung, telah satu tahun ia tinggal di sana, mengingat pertama kali dirinya dipaksa masuk ke dalam ruangan itu adalah pada Ramadan sebelumnya. Meski samar-samar, sebelum azan berkumandang, ia mendengar suara doa berbuka puasa bersahutan dari pengeras suara masjid di kejauhan, Sira tahu ini telah memasuki Bulan Suci. Ia mendesah dalam hati, menyayangkan hari pertama di Ramadan ini ia tak berpuasa.

Sira mencoba bangkit dari posisi berbaringnya di lantai dingin ruangan tersebut. Azan magrib sayup-sayup masih terdengar. Ia mengambil mukena dan sajadahnya yang sebelumnya ia jadikan bantal tidur. Berniat untuk salat. Hanya dua alat itu yang memang ia minta dari orang tuanya ketika mereka pertama kali menjenguk satu tahun yang lalu. Ia mulai meraba dinding dingin ruangan itu, sedikit lembab ia rasakan pada telapak tangannya. Mulai bertayamum. Sebelum ini, dirinya memang belajar agama dengan lumayan baik. Ia selalu berusaha untuk tidak meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim. Setidaknya ia tahu cara-cara untuk beribadah pada Tuhannya ketika dalam keadaan sulit. Seperti sekarang misalnya. Sebab telah lama ia menolak untuk keluar dari ruangan itu meski ada yang menjenguknya. Ia menolak untuk berbicara pada siapa pun. Ia hanya ingin menikmati masa-masa hukumannya hingga hari itu tiba.

Ia mulai melebarkan sajadahnya. Bersiap untuk salat. Ia memang tak tahu ke mana arah kiblat. Ia tidak pernah bertanya. Tetapi masa bodoh soal itu. Baginya, asalkan ia melakukannya dengan benar dan khusyuk. Urusannya dengan Tuhan bukan lagi soal arah kiblat, tetapi dari isi hatinya yang tak pernah lagi ia utarakan pada manusia. Cukup pada pemilik hidupnyalah ia bercerita dalam diamnya. Sebab ia tahu Tuhan mampu mendengar kata hatinya. Ia hanya perlu menengadahkan tangannya lalu mulai bercerita selepas salatnya. Seperti yang dilakukannya saat ini. Bibirnya hanya terkatup rapat, tetapi jauh di dalam dadanya, ia sedang berdoa pada pemilik hidupnya, mungkin juga sedang mengadu tentang seberapa keras hantaman yang telah ia terima. Hidup memang terasa tidak adil baginya. Tetapi itu bukan alasan untuk ia berhenti memohon doa dan ampun pada Tuhannya. Baginya, dosa yang telah ia lakukan di waktu lalu bagaikan lautan yang tak akan pernah mengering meski kemarau terjadi selama seratus tahun.

Baca juga: sajak-sajak daun gugur

***

Waktu telah beranjak kian malam. Sira telah kembali berbaring di atas lantai dingin ruang penjara. Selimut tipis yang membalut tubuhnya tak menyelamatkannya dari dinginnya malam. Meskipun telah berpuluh malam ia lewati dengan keadaan yang sama, tetap saja hal itu tak lantas membuatnya terbiasa kemudian merasa nyaman. Tubuhnya tetap sesekali menggigil bahkan sampai pada hatinya. Ia ingin sekali cepat tidur, tetapi matanya tak juga mengantuk.

Persis seperti malam-malam sebelumnya, ia akan selalu dibayangi oleh masa lalu yang menenggelamkannya dalam kubangan hitam. Masa lalu yang mengantarkan tubuhnya tersiksa dalam keterasingan seorang diri. Dipaksa untuk merenungi dosa-dosa yang dilemparkan padanya. Otaknya memutar dengan jelas semua ingatan itu, tanpa ada yang terlewatkan. Detailnya sangat menyakitkan untuk diingat. Kejadian dua tahun lalu yang menyusul kejadian-kejadian lainnya di tahun berikutnya. Sebagai titik balik kehidupannya.

***

Kala itu Ramadhan. Tujuh hari menuju Hari Raya. Jelas semua orang sibuk mempersiapkan segala hal untuk menyambut Hari Kemenangan itu. Tak terkecuali Sira yang saat itu juga disibukkan dengan persiapan pernikahannya yang akan digelar tiga minggu selepas Ramadhan usai. Itu adalah bulan-bulan melelahkan sekaligus mendebarkan bagi Sira. Di usianya yang masih 22 tahun, ia memutuskan untuk menikah dengan pemuda matang yang berani melamarnya meskipun pemuda itu tahu status Sira masih seorang mahasiswa tingkat akhir. Tetapi hal itu tak menghalangi niat baik keduanya.

Malam itu Sira memutuskan membeli beberapa keperluannya untuk pulang ke kampung halamannya. Ia memang merantau, dan hidup sendirian di kamar indekos sederhana. Tak lupa ia juga membeli beberapa barang titipan ibunya. Ia memutuskan pergi sendirian dengan berjalan kaki ke mini market terdekat. Hanya perlu sepuluh menit dan melewati dua gang yang minim pencahayaan. Tetapi itu bukan masalah, Sira adalah perempuan dengan keberanian yang selalu menguar dari dirinya. Jam masih menunjukkan pukul delapan malam dan biasanya jalanan dekat mini market masih lumayan ramai dengan beberapa orang yang berlalu lalang sehingga tidak membuatnya takut. Tetapi malam itu entahlah terlihat sepi. Ia merasa ragu pada awalnya, tetapi tetap memberanikan diri. Hingga ia telah berhasil memenuhi kantong dengan barang belanjaan yang dibutuhkannya kemudian memutuskan untuk cepat kembali ke kamar indekosnya.

Jam menunjukkan pukul delapan lewat empat puluh menit. Malam semakin dingin. Dan entah kenapa jalanan semakin sepi. Sira mulai merapatkan jaketnya dan mempercepat langkahnya. Sedikit ketakutan ketika merasakan dadanya berdebar entah kenapa. Firasatnya mengatakan hal buruk akan terjadi, dan semakin kuat ketika ia melihat di gang pertama yang ia lewati berdiri tiga orang lelaki. Entahlah itu masih muda atau tua, ia tak tahu. Pencahayaan yang minim sama sekali tak membantunya untuk memperjelas wajah mereka dari jarak yang lumayan jauh. Ia memutuskan tetap berjalan dan mulai merapalkan doa.

Hingga ia telah berhasil melewati tiga orang lelaki yang ternyata masih muda itu jika dilihat dari jarak yang lumayan dekat. Ia mendesah lega. Namun, kelegaan itu direnggut dari dadanya ketika ia merasa sikutnya ditarik paksa dan kantung belanjaannya terjatuh. Sira tahu ia dalam bahaya. Ia ingin menjerit dan berteriak, tetapi mulutnya telah terlebih dahulu dibekap oleh tangan besar yang menguarkan bau tembakau yang kuat. Ia meronta, tetapi tenaga perempuannya tak sebanding dengan tenaga tiga orang pemuda yang badannya lebih besar darinya. Air matanya telah berebut berjatuhan, tubuhnya penuh keringat, dan gemetar tak karuan. Sebenarnya ke mana perginya semua orang baik malam ini? Batinnya mengerang gelisah.

Ia mulai merasa putus asa ketika tubuhnya ditarik entah ke mana, tempat itu lumayan gelap. Dan semakin kehilangan asa ketika tubuhnya dihempas di atas lantai yang dingin dan berdebu. Pakaiannya dikoyak oleh tiga pemuda itu dengan tawa berderai yang terdengar menyebalkan di telinga Sira. Tiba-tiba, ia merasa sangat lelah. Dirinya telah ditelanjangi baik fisik maupun mental. Ia hanya terbaring kaku dengan mata terbuka lebar ketika tubuhnya begitu sakit digilir bergantian oleh tiga pemuda yang dikuasai nafsu paling keji yang dimiliki manusia amoral itu. Ia hanya diam hingga mereka pergi meninggalkan tubuhnya yang lebam, kotor, dan terasa hina. Tetapi matanya tak pernah tertutup, Sira merekam jelas masing-masing wajah mereka dalam ingatannya.

Baca juga: Merindukan Aksara yang Bersuara

Itu adalah kejadian paling menyakitkan dalam hidupnya. Hingga akhirnya Sira membatalkan rencana pernikahannya yang membuat pihak lelaki amat marah. Ia memang tidak mengatakan alasannnya, masih ingin menjaga harga dirinya meski hanya tinggal sekecil debu. Ia hanya berpikir laki-laki mana yang mau menerima barang bekas yang digilir seperti dirinya. Kepercayaan dirinya terjun dan hancur tak bersisa. Dan jelas orang tuanya sangat terpukul, ibunya tak berhenti menangis, dan ayahnya meraung marah. Ia hanya anak tunggal yang kehilangan harapan. Saat itu Sira hanya diam. Tidak menjawab pertanyaan ayahnya tentang siapa pelakunya, tidak pula menangis. Ia hanya menceritakan kejadian nahas itu lalu berdiam diri di kamarnya untuk waktu yang lama. Itu terakhir kalinya ia membuka mulutnya untuk berbicara.

Satu tahun berlalu. Masa-masa kelam Sira habiskan dengan berdiam diri. Kehidupan dalam keluarganya semakin gelap meski Ramadan telah kembali datang. Ayah dan ibunya tak banyak bertanya, mereka hanya memperhatikan putri semata wayang mereka dari kejauhan. Sejauh ini Sira tidak pernah melakukan hal yang mengkhawatirkan. Ia makan, beribadah, dan beraktivitas yang lainnya. Hanya keterdiamannya yang membuat dada orang tuanya kian sesak. Mereka seperti kehilangan putrinya meski nyatanya Sira berada dalam jarak pandangnya.

Hingga kemudian suatu hari Sira memutuskan keluar dari persembunyiannya, berlanjut ke hari-hari berikutnya ia mulai menampakkan dirinya lagi pada dunia dan lingkungannya. Hal itu tak ayal membuat ayah ibunya merasa senang melihat putri mereka melangkahkan kakinya keluar rumah meski hanya memberi senyuman tipis tanpa kata.

Hari itu Sira sedikit berjalan-jalan di keramaian tidak terlalu jauh dari rumahnya dan melakukan hal lainnya setelah sekian lama tak menghirup udara dan polusi yang bercampur. Menjelang sore hari ia hanya terus berjalan, sampai langkahnya berhenti di depan sebuah kafe berdinding kaca transparan. Ia diam sejenak. Matanya menyorot pada satu titik. Mereka di sana. Para bajingan itu duduk mengelilingi meja dengan beberapa teman lain dan tertawa tanpa beban. Sira tak tahu bahwa ternyata selama ini orang-orang yang merenggut hidupnya itu begitu dekat dengan tempat tinggalnya dan mereka sepertinya hidup dengan layak dan baik. Ia mendengus sinis, berbalik, kemudian berjalan pulang ke rumah tanpa sepengetahuan orang tuanya. Sesampainya, ia menghilang di balik pintu dapur kemudian kembali keluar rumah dengan menenteng tas yang entah apa isinya. Ia kembali berdiri di depan kafe. Menunggu. Dan merasa bersyukur ketika melihat para bajingan itu masih berada di sana.

Ketika para pemuda dan teman-temannya itu keluar dari kafe, Sira mulai sedikit tersenyum. Melangkah mendekat dengan pelan. Tangannya mulai merogoh tas kecil yang dibawanya. Baju terusan putihnya sedikit berkibar. Senja terlihat menguning dengan indahnya dan terasa hangat, tetapi mata Sira tetap dingin, terpaku pada wajah-wajah itu. Sebelum segalanya memudar, dengan gerakan santai Sira semakin mendekat hingga sampai di depan salah seorang incarannya yang memandangnya bingung. Dengan pelan ia menarik pisau dapur dari tasnya lalu menghujamkannya tepat di jantung pemuda itu. Berhasil. Suara terkesiap dan jeritan mulai terdengar. Tetapi seakan tuli, Sira tetap bergerak seperti mesin pembunuh, darah menciprat di wajahnya. Satu pemuda tumbang dengan luka tusukan yang pisaunya telah dicabut. Dengan kekuatan entah dari mana Sira mulai menerjang dua sisanya, ia berhasil menancapkan pisaunya tepat di jantung. Ketiga pemuda itu terkapar meregang nyawa. Dan Sira berdiri di tengah-tengah kerumunan. Baju putihnya penuh dengan darah dan tangannya masih menggenggam pisau yang meneteskan sisa darah basah para bajingan itu.

“Mati kalian.” Desisnya dalam senyum tipis sebelum tubuhnya diringkus oleh dua orang petugas entah dari mana. Ia hanya diam mengikuti dalam kepasrahannya. Hidupnya terasa sudah lengkap.

Berita tentang kejadian itu tentu segera menyebar dengan luas. Ayah ibunya sangat terkejut. Keluar rumah ternyata tak pernah lagi menjadi baik bagi Sira. Hal itu tentu segera menyeretnya ke pengadilan dan pada hukuman-hukuman yang menanti di depan mata. Sira hanya diam setelah dia berucap “mereka pelakunya” pada ayah ibunya yang tentunya paham. Kasus pemerkosaan satu tahun lalu terpaksa dibeberkan. Pada akhirnya pembelaan muncul dari mana-mana setelah hal tersebut dibuka pada publik. Meskipun tak banyak yang tetap menyalahkan dan menuntut Sira untuk dihukum seberat-beratnya, terutama keluarga dari pihak ketiga pemuda yang mati di ujung pisaunya.

Terlalu banyak saksi saat kejadian. Dan hal itu menguatkan tuduhan pada dirinya untuk dihukum meski itu adalah tindakan balasan seorang korban pemerkosaan yang hidupnya telah direnggut secara paksa. Kendati demikian, orang-orang banyak yang berkata “itu kan sudah lama” atau “masa baru balas dendam sekarang, tidak masuk akal” atau juga “jangan sampai ngebunuh juga lah, ngeri”. Heh, hidup sudah seperti lelucon saja.

Sira selama itu hanya diam. Sama sekali tidak menolak ketika akhirnya hukuman jatuh padanya. Ia menolak untuk mengajukan banding. Ia harus dipenjara seorang diri di ruangan paling tidak layak untuk kemudian menemui hukumannya yang lain. Ya, ia telah membunuh ketiga pemuda itu. Dan hukuman yang diterimanya adalah seumur hidup.

***

Sira tersentak ketika pintu besi itu dibuka. Dua orang petugas berdiri di sana. Ah, sudah waktunya ternyata, desahnya dalam hati. Ia mulai berdiri dari posisi bersimpuhnya selepas salat isya. Mulai membuka mukena dan melipatnya dengan rapi. Malam ini dingin seperti biasanya. Hari ke-23 Bulan Ramadan. Tujuh hari menjelang hari raya. Sira kembali teringat, saat itu juga tujuh hari menjelang hari raya. Ia tak pernah lagi merasakan hangat dan semaraknya hari raya. Tetapi untuk kali ini, ia sedikit tenang, sebab akan menghadapi hari kemenangannya lebih dulu dan tentunya seorang diri, ia akan bebas dari segala noda hitam yang mengelilingi hidupnya.

“Masih ingat ibadah juga rupanya.” Sindir salah satu penjaga.

Hush, kamu ini. Biarlah. Itu urusan dia.” Balas rekannya sambil memasang borgol pada tangan Sira. Dan Sira hanya diam, pasrah mengikuti kemana pun dua petugas itu membawanya.

***

Ruangan ini terang. Akhirnya Sira dapat melihat dengan jelas. Penampilannya lusuh, rambutnya begitu lepek, tetapi masa bodoh, ia hanya akan melakukan suatu hal lalu kemudian mendapatkan kemenangannya. Dalam ruangan itu hanya terdapat empat orang, dirinya, dua penjaga yang membawanya, dan satu orang lelaki tua yang berdiri tidak jauh darinya.

“Ada kata-kata terakhir yang ingin diucapkan?” Tanya lelaki tua itu.

Sira hanya menggeleng. Untuk apa? Ia tak mau mengeluarkan omong kosong yang akan didengar oleh ketiga orang di ruangan ini. Borgol di tangannya telah dilepas. Ini waktunya. Selepas salat isya tadi, ia telah berdoa pada Tuhannya untuk mengampuni segala dosanya. Katanya doa-doa pada Bulan Ramadan akan terkabul dengan baik, terlebih dirinya hanyalah korban yang terpaksa harus menerima hukuman. Ya, hanya itu yang mampu ia katakan sebagai pembelaan atas seluruh dirinya.

“Kenapa melakukan ini? Kamu tidak bersalah.” Lelaki tua itu mendekat sambil bertanya pelan. Ia memang telah lama memperhatikan salah satu tahanannya ini dan selama masa hukuman, Sira tak pernah membuat satu pun keributan. Pun ia tahu, Sira hanyalah korban dari sebuah kebejatan. Sang lelaki tua hanya tak begitu tega menghukum seorang perempuan yang menjadi korban dengan cara seperti ini.

“Saya berdosa.” Jawabnya dengan bisikan yang lemah setelah sekian lama ia tak lagi pernah mengeluarkan suaranya untuk berbicara. Tetapi entahlah, kali ini ia hanya ingin menjawab. Matanya yang berkaca-kaca memandang lelaki tua itu dengan senyuman tipis. Jauh di kedalaman dadanya, ia sudah sangat siap. Sang lelaki tua hanya mengangguk.

Kaki telanjang Sira yang kotor sedikit goyah. Ia telah meneguhkan hatinya. Satu air matanya lolos ketika perlahan ia berjalan mendekati tiang gantungan dengan tali menjuntai di hadapannya. Mengapa Ramadannya harus ia tutup dengan cara seperti ini? Itulah yang selalu ia tanyakan sejak tadi berjalan di lorong gelap menuju tempat ini. Tetapi Ia merasa pantas mendapatkan ini. Kenyataannya ia telah menghabisi empat nyawa. Ya, satu nyawa lainnya adalah janin yang tumbuh dari hasil pemerkosaan yang entah siapa ayahnya itu. Kenyataan ini hanya ia dan Tuhan yang tahu, dan saat itu ia tidak begitu kuat untuk menanggung keputusasaan lain yang memukulnya dengan keras. Maka dengan itu, ia membunuh darah dagingnya sendiri pada pagi itu sebelum sore harinya ia membunuh para pelakunya. Ia melakukan ini demi menebus dosa pada anaknya yang ia sendiri tahu, sama sekali tidak berdosa. Selama ini dirinya diam dan pasrah demi menebus rasa bersalahnya, ia merasa dirinya tak ada bedanya dengan ketiga laki-laki brengsek itu.

 Untuk urusan tiga orang yang telah ia habisi, biarlah nanti dirinya akan mengadu secara langsung pada Tuhan di sana. Sebab dalam doa-doa terakhirnya, ia telah memohon untuk bertemu dengan Tuhannya, ia ingin mengadu dengan sekeras-kerasnya, menuntut jawaban atas banyak sekali tanya yang telah ia susun selama dirinya dihukum di dunia. Ya, Sira akan kembali membuka mulutnya hanya di hadapan Tuhan, sebelum ia dilemparkan ke neraka bersama ketiga bajingan itu, saling melihat penebusan dosa yang paling dihinakan.

“Tuhan, ampuni aku.” Bisiknya dalam hati sebelum lehernya dijerat tali dengan begitu erat dan tubuhnya menggantung pasrah di tengah ruang hukuman mati pada Ramadan yang terasa dingin. Di bawah tatapan mata algojo yang berkaca-kaca.

Baca juga: Penonton

Penulis: Desti Pratiwi