Penerbit Mizan Pustaka mengadakan acara Online Book Launch & Meet the Author “Paradise” karya Abdulrazak Gurnah pada Kamis, 10 Agustus 2023. Abdulrazak Gurnah adalah seorang penulis yang lahir sebagai seorang muslim dari Zanzibar (sekarang bagian dari Tanzania, Afrika Selatan).
Saat usianya masih belasan tahun, ia hidup di tengah kolonialisme yang terjadi di Zanzibar atas pengaruh politik Eropa–terutama Inggris yang menjadi awal pergolakan politik di sana. Di tahun 1964, banyak orang Zanzibar beretnis Arab yang dieksekusi oleh Inggris dan dijual sebagai budak.
Gurnah meninggalkan tanah kelahirannya dan pindah ke Canterbury, Inggris, hingga beberapa tahun tidak pernah kembali lagi ke Zanzibar, “Saya kembali ke Zanzibar setelah beberapa tahun lamanya tidak berada di sana, karena waktu itu saya tidak bisa kembali ke sana,” ucap Gurnah saat menjawab pertanyaan dari pihak Mizan terkait perjalanan hidupnya.
Migrasi Gurnah ketika semasa remaja membuatnya lebih mengenal dunia. Kolonialisme yang terjadi hampir di seluruh Afrika menimbulkan kesadaran bahwa masih banyak persoalan yang belum selesai. Menurut literatur sejarah Afrika, dijelaskan bahwa Benua Afrika sengaja dibagi menjadi empat wilayah kekuasaan pada masa kolonial. Wilayah-wilayah tersebut merupakan daerah kekuasaan Eropa dan Amerika.
Dalam catatan sejarah, wilayah Zanzibar–yang kini merupakan wilayah semi otonom Tanzania–dulunya berada di bawah kekuasaan Inggris. Salah satu kisah sejarah yang paling terkenal tentang pemindahan kekuasaan tanah Zanzibar jatuh ke tangan Inggris adalah Perang Anglo-Zanzibar. Fakta uniknya, Perang Anglo-Zanzibar merupakan perang tersingkat di dunia yang berdurasi hanya 38 menit.
Baca juga: Menjadi Viral yang Menyebalkan Direspon Lewat Video Musik “Fuss”
Kolonialisme, sejarah kelam, dan migrasinya ke Inggris membuat Gurnah bergerak untuk menumpahkan seluruh kisahnya ke dalam sebuah novel berjudul “Paradise”.
Gurnah merupakan penulis jenius yang menceritakan kisah hidupnya ke dalam novel dengan sudut pandang yang berbeda, pemikiran yang tidak pernah terpikirkan, alur cerita yang mengejutkan, dan kepolosan karakter Yusuf yang terinspirasi dari tokoh Nabi Yusuf A. S.
Gurnah memberi sudut pandang berbeda ketika menceritakan kolonialisme di Afrika. Ia menyajikan alur cerita dari masyarakat kecil yang tidak pernah disorot oleh sejarah lewat kehidupan tokoh bernama Yusuf–seorang anak kecil lugu tidak bersalah yang digadaikan kepada saudagar kaya oleh ayahnya karena terlilit hutang. Di tengah kisahnya, Yusuf bergabung dengan tim pedagang yang melakukan perjalanan ke sekitar wilayah Afrika. Tidak hanya itu, Gurnah menggambarkan secara detail mengenai bentang alam indah yang dimiliki Afrika. Hal itu membuat pembaca berhasil tersihir oleh tulisannya, seakan-akan sedang berada di wilayah Afrika yang kaya akan sumber daya alam (SDA) dan letak geografisnya yang seindah dunia surgawi.
Keindahan Afrika mengundang banyak orang untuk datang dan tinggal di sana. Sayangnya, manusia terlalu serakah, sehingga secara tidak sadar mulai mengeruk setiap jengkal wilayah Afrika tanpa memikirkan nasib penduduknya. Yusuf kecil yang belum mengenal dunia dan penerimaan nasib, secara terpaksa, mau tidak mau harus bertahan di tengah pergolakan politik yang tidak stabil, perang dan kebencian antarsuku, agama, serta perbudakan. Gurnah membangun eksistensi karakter Yusuf menjadi seseorang yang memiliki cara pandang positif karena kepolosannya. Namun, dibalik keluguan dan kepolosannya, ia adalah sosok yang menarik di mata pembaca.
Meskipun Gurnah terinspirasi dari masa kolonialisme Eropa, “Paradise” tidak menceritakan masa kolonialisme yang terjadi di Afrika.
Lebih dari itu, “Paradise” sangat kompleks. Ia berisi informasi kemajuan teknologi, terutama segala pembaharuan yang dibawa bangsa Inggris di Zanzibar, sehingga kemajuan teknologi mengikis budaya lokal yang menjadikan budaya suku Zanzibar sendiri sangat lemah. “Paradise” memberitahu kita cara memperlakukan perempuan, anak-anak, dan berbagai kelompok sosial. Saking kompleksnya cerita yang ditulis Gurnah, ia mampu menjelaskan kemajuan pendidikan, teknologi, dan informasi mengenai kesehatan lewat novelnya.
Isu yang diangkat di novel “Paradise” menuai minat para pembaca untuk melihat sejenak sisi lain di zaman kolonialisme. Hal tersebut yang membawa Gurnah menjadi pemenang Nobel Sastra di tahun 2021–setelah 30 tahun buku “Paradise” terbit.
Baca juga: Melihat UPI Bekerja: “Tamu” Adalah Raja dan Tugas Kita Cukuplah Membayar Upetinya
Novel ini berhasil mendobrak pintu sastra Inggris dengan isu-isu poskolonialisme dan perbudakan di wilayah Afrika yang belum tuntas hingga sekarang.
Febby Syahputra, Guru Sejarah dan pegiat Asian-Afrika Reading Club, mengatakan bahwa beberapa wilayah di Afrika seperti Zimbabwe masih melakukan praktik perbudakan karena gelombang politik dan ekonomi yang tidak stabil. Isu kemanusiaan tersebut menarik orang-orang untuk membaca “Paradise”, sehingga buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam delapan bahasa berbeda, termasuk bahasa Indonesia dan bahasa Swahili (bahasa Zanzibar).
Di lansir dari britishcouncil.org, novel “Paradise” pertama kali diterjemahkan ke bahasa Swahili oleh seorang guru sekolah. Ia berpendapat bahwa buku Gurnah ini harus dibaca oleh semua orang, terutama orang Zanzibar yang kebanyakan tidak bisa berbahasa Inggris. Hal itu juga selaras dengan perkataan Gurnah, “Saya tidak berbicara untuk diri saya sendiri, atau pembaca tertentu. Saya harap semua orang akan membacanya,” ucapnya saat sesi launching buku “Paradise”.
Fakta mengejutkan justru datang dari para pembaca Tanzania. Jika kita bertanya kepada orang sana, “Siapa Abdulrazak Gurnah?”, mereka akan menggelengkan kepalanya. Gurnah justru tidak terkenal di negara asalnya, Tanzania. Hal itu terjadi karena pemerintah Tanzania membatasi edaran buku fiksi di pasaran dan lebih banyak menjejalkan buku nonfiksi seperti ensiklopedia. Maka dari itu, sedikit orang Tanzania yang mengenal Gurnah. Selain itu, migrasi Gurnah yang cukup lama di Inggris menjadikannya jarang sekali untuk kembali ke negara Zanzibar. Sebetulnya, migrasi tersebut memiliki dampak negatif. Banyak penduduk Afrika yang bermigrasi ke Eropa dan jarang kembali ke negara asalnya, sehingga sumber daya manusia (SDM) di wilayah Afrika semakin berkurang.
Gurnah sangat dikenal oleh pembaca setianya. Banyak pembaca yang mengirim surel berisi apresiasi, kesan pesan, atau pertanyaan yang sesekali dibalas oleh Gurnah. Meski demikian, Gurnah tidak terlalu terkenal di Zanzibar.
Namun, pada akhirnya “Paradise” berhasil masuk menjadi buku rujukan di sekolah-sekolah, universitas, dan lembaga pendidikan Zanzibar untuk mempelajari poskolonialisme, kemanusiaan, perbudakan, dan cerita sejarah dari sudut pandang rakyat kecil yang hampir terlupakan dan mendorong rasa ingin tahu pembaca, “Hal ini dapat membuat kamu memiliki pemahaman yang baik mengenai kolonialisme”.
Cara lainnya melalui pendidikan, keingintahuan, dan tentunya internet. Semuanya mengenai pemahaman dan informasi. Karena anak-anak memiliki keingintahuan yang besar. “Yang harus kita lakukan sebagai orang dewasa, orangtua, dan pendidik adalah terus mendorong rasa ingin tahu tersebut,” ucap Abdulrazak Gurnah.
Baca juga: Dingin
Penulis: Icha Nur Octavianissa
Editor: Laksita Gati Widadi