Membaca dan menyelami kembali muntahan pikiran dan perasaan penyair-penyair muda Madepdiksatrasia. Setelah terjaga dari tidur sebentar yang lebih awal di pukul 06. 45 saya tak lagi bisa istirahat sampai pagi mulai memukul langit untuk segera bangkit. Di pukul 05.07, benar-benar subuh. Saya iseng membacai kembali karya kawan-kawan Madepdiksatrasia di laman Literat. Diiringi oleh alunan piano lembut composer asal jepang Yiruma, pembacaan ini terasa begitu khidmat.
Pertama, saya berpapasan dengan sajak karya Toni. Hantu dan Bunga. Sajak yang merupakan bentuk penyataan sikapnya terhadap sajak yang saya tulis.
Baca juga : Lagu Toni
Singkat cerita, kami mencoba metode curhat lain selain icik-icik saling memuntahkan pengalaman romansa dengan bahasa verbal yang kadang bikin kami jijay sendiri. Kami coba dongkrak daya dan rasa tulis kami lewat berdialog dengan puisi. Sebuah metode yang saya rasa cukup manjur memulihkan chakra kepenulisan kami.
Saya terkesima dengan larik /tangan bersambut duri di tangkai mawar itu/. Saya menemukan bahwa diksi “bersambut” punya potensi kuat ketika disandingkan dengan “tangan” dan “duri”, sebab dalam pikiran saya, kata dasar yang mungkin terlintas untuk menggambarkan peristiwa terluka oleh duri adalah genggam, sentuh, atau pegang yang lebih minim kesan dan bisa membuat pembaca merasakan keterlukaan di dalam puisi. Kata ‘sambut’ dalam KBBI memiliki unsur makna kegembiraan, menyambut berarti menerima dengan gembira dan bersambut berarti mendapat balasan. Toni bisa memadatkan kegembiraan yang berbalas luka oleh diksi “bersambut”, yang juga mungkin atau bahkan tak akan pernah saya temukan pada pembacaan sebelumnya. Apalagi tanpa keterjagaan dan alunan musik Yiruma yang membuat suasana semakin sendu.
Kedua, dengan sedikit upaya scroll down untuk menemui karya-karya kawan yang lainnya. Saya terpaku di alam pikiran Alfaza Metini, menonton 4 Adegan Dalam Suatu Pagi.
Saya ingat bahwa dua kawan saya –Alem dan Metini- saat itu sedang atraktif sekali menyelami ihwal fiksi mini. Akan tetapi, di subuh kultus ini, pikiran saya meledak ketika berhadapan ulang dengan salah satu tulisan Metini yang berjudul “Asbak”.
Tulisan ini membuka ruang pikiran saya akan marjinalisasi, dan hal-hal janggal yang selalu kita, dan saya khususnya tak pernah insafi. Asbak memang benda yang dinasibkan manusia untuk seumur mati menjadi wadah untuk hal-hal yang kotor. Metini menemukan celah gagasan dan cahya nurasi yang baik sekali terhadap benda ini “apakah kita pernah mencuci asbak?”. Sungguh ironi.
Benar asbak patut iri, oleh piring, gelas, baju, bahkan lap pel atau tong sampah. Jujur, seumur hidup saya, setidaknya saya pernah melihat orang atau Ibu mencuci tempat sampah tapi tidak dengan asbak. Pemilihan asbak sebagai subjek pun menambah keironian gagasan ini. Pasalnya di akhir tulisan, Metini menulis /Ia sering penasaran, kapan ia bisa berlari, meski kadang ada yang punya kaki. Bisakah ia ke kamar mandi dan membasuh dirinya sendiri?/. Saya penasaran dan sedikit menggila berusaha bertanya pada diri sendiri, dari mana dan bagaimana Metini bisa menemukan celah atau berempati seperti ini? Segila apa pikirannya? Atau secerdas inikah memang isi kepalanya? Apakah benar, memang hanya benang tipis yang membatasi kecerdasaan dan kegilaan? Sebab, terlalu amoral jika saya percaya bahwa gagasan seperti ini hanya bisa dipikirkan oleh orang gila atau terlalu normatif jika gagasan itu memang tercipta dari pikirannya yang cerdas. Pertemuan selanjutnya dengan Metini, saya harap ia tidak menjawab pertanyaaan saya dengan penjelasan bahwa ia kerasukan arwah penyair gila atau tiba-tiba cahaya Jibril memancar di kamarnya yang berantakan. Sebab, Tuhan menambah tugas wahyu Jibril juga harus diturunkan pada Metini.
………………… Januari 2021
Rendi.
Baca juga: BIAYA KULIAH TUNGGAL: DATA UNTUK MEMBUKTIKAN MITOS “UKT SAYA LARI KEMANA?”
Penulis : Rendi Aulia Rahman