Aku ingin hidup seribu tahun lagi
– Chairil Anwar
Sudah genap 74 tahun kita kehilangan sosok Chairil Anwar, pelopor angkatan 45 yang membawa pembaruan dan angin segar bagi sastrawan Indonesia. Sebagai penghargaan atas pengaruh besarnya dalam kesusastraan Indonesia, hari berpulangnya Chairil Anwar pada 28 April diperingati sebagai Hari Puisi Nasional.
Chairil yang dikenal dengan sapaan “Si Binatang Jalang” lahir pada 26 Juli 1922 di Medan, Sumatera Utara. Ia menempuh pendidikan dasar di HIS (Holland Indisce School) dan Sekolah Menengah Pertama di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Namun, sangat disayangkan keadaan menyebabkan dirinya harus putus sekolah dan ikut bersama ibunya ke Jakarta.
Hal ini tentu saja tidak membuat Chairil berhenti untuk belajar. Chairil banyak mempelajari bahasa asing, misalnya bahasa Jerman, bahasa Inggris, dan bahasa Belanda. Dari hasil mempelajari bahasa-bahasa itu, ia dapat membaca karya sastra dunia yang ditulis dalam bahasa asing. Luasnya pemahaman Chairil terkait sastra luar juga ikut memengaruhi sajak-sajaknya.
Chairil Anwar tergolong seniman muda. Ia dikenal dalam dunia kesusastraan saat umurnya beranjak 20 tahun ketika tulisannya dimuat dalam Majalah Nisan pada tahun 1942. Semasa hidupnya, Chairil telah menghasilkan 94 tulisan, termasuk 70 sajak asli, 4 saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, dan 54 prosa terjemahan.
Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah sajak “Aku” dan berkat karyanya ini Chairil mendapatkan julukan “Si Binatang Jalang”. Sejak di sekolah dasar Chairil memang sudah memiliki ketertarikan pada dunia sastra dan aktif menulis puisi menggunakan corak pujangga baru. Namun, puisi-puisi itu dibuangnya karena merasa tidak puas dengan corak pujangga baru yang yang mendayu-dayu, penuh kaidah, dan aturan yang mengikat. Alhasil, Chairil memilih jalan berbeda, melawan arus dari bentuk pengucapan puisi kala itu. Melalui keaktifan dan produktivitas dalam berkaryanya itulah Chairil mampu menorehkan sejarah kepenyairan Indonesia.
Chairil Anwar berpulang pada usia 27 tahun di rumah sakit CBZ (RSTM) Jakarta karena penyakit tifus yang menggerogoti nyawanya. Meskipun hidupnya tidak lama, tetapi keinginannya untuk tetap hidup seribu tahun lagi terwujud melalui karya-karyanya yang masih digemari sampai sekarang.
Hari Puisi Nasional ditetapkan pada hari berpulangnya Chairil. Hal ini berbeda dengan hari-hari peringatan pada umumnya yang biasanya ditetapkan pada hari kelahiran sang tokoh. Momentum peringatan Hari Puisi Nasional bertujuan untuk mengenang Chairil sekaligus menumbuhkan semangat berpuisi masyarakat Indonesia.
Selain melalui hari peringatan, nama Chairil Anwar juga sering ditemukan dalam buku pembelajaran bahasa Indonesia. Karena itulah representasi nasionalisme yang digambarkan oleh Chairil melalui puisi-puisinya diharapkan mampu meningkatkan nasionalisme di kalangan generasi muda.
Selamat Hari Puisi Nasional!
Penulis: Desi Fitriani
Editor: Aulia Aziz
Baca juga : Menilik Sebuah Perbedaan: Lirik Lagu, Puisi, dan Musikalisasi Puisi