Kenapa sih Kita Perlu Figur Chairil Anwar dalam Khazanah Puisi Indonesia

Chairil Anwar, sosok pemuda asal Medan Sumatera Utara yang secara sadar memilih hidup sebagai seorang penyair di tanah rantau, Jakarta. Sebuah hal yang tidak masuk akal di mata umum sebenarnya. Padahal, sebelum ia memutuskan untuk menjadi penyair, pemuda yang menggemari ragam literatur dunia seperti Maria Rilke, J. Slaurhoff, Edgar du Perron, dsb. ini sempat disuruh berdagang saja oleh ibunya, tetapi ia sempat lebih memilih menjual barang-barang loak di Pasar Senen demi menghidupi kehidupan sehari-hari. Semacam thrifting di masa sekarang.

Ponakan dari Sutan Sjahrir ini merupakan salah satu pelopor puisi modern Indonesia bersama dengan Asrul Sani dan Rivai Apin. Bakatnya ditemukan lebih oleh sastrawan ternama, HB Jassin, ketika Chairil menghampirinya di Balai Pustaka pada tahun 1943 dengan tujuan memberikan beberapa karya puisi untuk dimuat. 

Meski demikian, karya puisi Chairil sempat ditampik oleh beberapa Sastrawan lain seperti Sutan Takdir, Armijn, dsb. Mereka yang menampik beralasan bahwa karya dari Chairil sangat individualistik. Tidak sesuai dengan pakem puisi yang ada saat itu. Bahkan, karya Chairil sempat dikatai “Rujak” oleh Sutan Takdir. 

Karyanya dia (Chairil Anwar) dibilang rujak sama Sutan Takdir karena dia tidak mewakili semangat (Sutan) Takdir. Chairil memoderasi khazanah puitikal pada masa itu. Dia tetep berpantun, tapi dalam bentuk yang patah. Sumbang.” tutur Hamzah Muhammad, salah seorang narasumber Siniar 100 Tahun Chairil Anwar, sewaktu diwawancarai di Atelir Ceremai (24/07/2023).

Sosok Chairil yang berparas kurus, urakan, dan tengil ini pasti menjadi sebuah kontroversi tentunya. Apalagi, karya-karya Chairil dapat dibilang berbeda dari para penyair terdahulu. Namun, keberadaannya lambat laun seakan menjadi figur penting bagi perkembangan puisi Indonesia. Ya, walaupun karir Chairil tidak akan lepas dari banyaknya kontribusi HB. Jassin selaku sahabatnya. Kalau saja tidak ada Jassin, mungkin Chairil akan bernasib sama dengan Vincent van Gogh yang harus menunggu selama 300 tahun untuk diakui karyanya dalam berinovasi di kesenian.

Hamzah Muhammad, seorang pegiat sastra muda yang juga merupakan salah satu pendiri Atelir Ceremai mengatakan bahwa, Chairil mengisi sejarah sastra negara Indonesia yang pada saat itu dibilang masih tiada karena baru saja menjadi negara merdeka. Belum lagi, dari negara yang baru saja merdeka haruslah memiliki kemajuan atau modernitas di segala bidang. Termasuk di wilayah sastra. Adanya Chairil, dapat mengakselerasi modernitas di bidang sastra tersebut. Ia menjadi wajah baru sastra Indonesia pada saat itu. Menjadi ikon yang menunjukkan bahwa kita bangsa yang merdeka.

Keunikan dari karya Chairil menurut Hamzah adalah tidak adanya diksi Indonesia dan tak ada semangat isme-isme yang pada saat itu menjadi momen gairah bagi banyaknya penyair.

Namun, sayang betapa sayang, dalam usia belum genap 27 tahun, Chairil harus lebih dini bertemu dengan Tuhan karena komplikasi sakit paru-paru saat dirawat beberapa hari di rumah sakit CBZ (saat ini Cipto Mangunkusumo). Ia mengembuskan napas terakhirnya pada tanggal 28 April 1949. Setelah itu, jasadnya dimakamkan di TPU Karet Bivak Jakarta Pusat.

Dilihat dari singkat kiprah Chairil di blantika puisi Indonesia, terdapat kontribusi yang dihadirkan olehnya yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan puisi Indonesia. Tercatat, terdapat 90 lebih karya yang telah tercipta, di mana 70 karyanya merupakan karya puisi.

Chairil memberikan spirit berkesenian. Spirit yang melawan batas. Spirit yang menerabas apapun sekat-sekat. Itu ada di chairil. Baik di dalam karya juga baik dalam kehidupan benernya, gitu. Ya, karena karya-karya Chairil masih tetap relate sama kita. Selain memang kekuatan bahasa dia, ya.” Kesan Hamzah kepada sosok Chairil Anwar. 

Berkenaan dengan kontribusi Chairil dalam perkembangan puisi Indonesia, tentu telah banyak penghargaan yang dilakukan oleh pemerintah. Akan tetapi, menurut Hamzah, kita belum cukup baik dalam upaya menghargai sosok yang lahir pada 26 Juli 1922 ini, yakni masih kurangnya studi atau praktik mengkaji secara mendalam terkait karya-karyanya “Penghargaan kita kurang terhadap Chairil tuh kita males mengkajinya aja. Orang lebih seneng ngomongin Chairil seolah-olah pemitosannya aja, gitu. Jadi gaada pembacaan baru.” Tukasnya.

Oleh sebab itu, selaku generasi saat ini, ada baiknya kita mengenang Chairil dengan mengkaji lebih mendalam agar karya-karyanya akan tetap hadir dan hidup seribu tahun lagi. Sekian.

Baca juga: Hari Puisi Nasional: Momentum Mimpi Seribu Tahun Chairil Anwar

Editor: Sri Fatma Hidayah

Penulis: M. Rifan Prianto