Manafsirkan Nasib Guts dalam Manga Berserk sebagai Mitos Sisyphus

Beberapa orang akan terus memberontak meskipun ia tahu bahwa dirinya tak akan pernah menang. Seperti Sisyphus, dalam mitologi Yunani, yang dikutuk para dewa untuk mendorong sebuah batu ke puncak bukit hanya untuk dijatuhkan kembali ke bawah. Hukuman ini bukan sekadar penderitaan fisik, tetapi sebuah siklus tanpa akhir yang mencerminkan absurditas hidup manusia.

Albert Camus, melalui esai The Myth of Sisyphus, menawarkan perspektif eksistensialis terhadap mitos ini, yaitu bahwa manusia, meski terjebak dalam absurditas, dapat menemukan kebebasan dalam pemberontakannya melawan kehampaan.

Namun, dalam dunia di manga Berserk (1989) karya Kentaro Miura, tokoh Guts sebagai protagonis membawa mitos ini ke tingkat yang lebih muram. Jika Sisyphus versi Camus masih mampu “ditemukan bahagia,” maka Guts adalah penjelmaan Sisyphus yang tenggelam dalam amarah, dendam, dan kesakitan. Tidak ada puncak bukit, tidak ada kebahagiaan. Hanya batu di jalan menanjak yang semakin berat, menekan punggungnya hingga hampir menghancurkan seluruh kemanusiaannya.

Batu Penghancur

Batu yang harus didorong oleh Guts tidak hanya berat, tetapi juga penuh duri, mencabik tubuh dan jiwanya setiap kali ia bergerak maju. Sejak lahir, dunia telah menaruh beban yang tidak adil di pundaknya. Ia lahir dari tubuh seorang ibu yang sudah mati, diasuh oleh sosok ayah angkat yang kasar, dan dipaksa bertahan hidup di medan perang sejak kecil.

Baca juga: Potret Sastrawan Jepang sebagai Detektif Supranatural dalam Anime Bungou Stray Dogs

Namun, penderitaannya mencapai klimaks dalam peristiwa “Eclipse”. Sahabat sekaligus pemimpinnya, Griffith, mengkhianati Guts dan mengorbankan teman-teman mereka untuk mencapai kekuatan supernatural. Peristiwa itu tidak hanya menghancurkan hidup Guts tetapi juga merenggut kemanusiaannya, meninggalkan bekas luka fisik dan mental yang tak pernah sembuh.

Seperti Sisyphus, Guts terus mendorong batunya, tetapi batunya tidak pernah berhenti melukai. Setiap pertempuran yang ia menangkan hanya membawa lebih banyak darah, lebih banyak kehilangan. Pemberontakan Guts melawan nasibnya sendiri tidak pernah membawa makna—hanya kepedihan tanpa akhir.

Dalam filsafat absurdisme, pemberontakan adalah respons manusia terhadap absurditas. Namun, pemberontakan Guts bukanlah aksi yang membawa pencerahan atau rasa damai. Ia memberontak karena itulah satu-satunya yang bisa ia lakukan.

Dunia Berserk adalah tempat di mana keadilan tidak pernah hadir. Kekuatan supernatural seperti God Hand mempermainkan manusia seperti bidak catur. Dalam situasi ini, pemberontakan Guts tampak sia-sia. Ia bertarung, bukan untuk menghancurkan musuh atau mengubah dunia, tetapi hanya untuk tetap bertahan hidup.

Namun, bertahan hidup di dunia seperti ini adalah penderitaan tersendiri. Dalam setiap langkahnya, Guts menghadapi absurditas yang tak tertahankan: teman-teman yang hilang, orang-orang yang ia cintai terus-menerus terancam, dan tubuhnya sendiri yang semakin rapuh.

Lingkaran Penderitaan

Jika Camus mengakhiri mitos Sisyphus dengan nada optimis—mengajak kita untuk mem- “bayangkan Sisyphus bahagia”—maka Guts menolak akhir semacam itu. Tidak ada kebahagiaan dalam perjalanan Guts. Bahkan saat ia menemukan momen-momen kedamaian, dunia segera merenggutnya kembali.

Baca juga: 3 Rekomendasi Film yang “I’ll Love You Till The Day That I Die”

Lingkaran penderitaan ini menciptakan sebuah eksistensi yang sepenuhnya gelap. Guts tidak bisa lari dari masa lalunya, tetapi juga tidak mampu menemukan makna dalam perjuangannya. Tidak seperti Sisyphus interpretasi Camus yang menemukan kebebasan dalam menerima absurditas, Guts terjebak dalam lingkaran dendam dan rasa sakit yang tak pernah berakhir.

Guts adalah cerminan sisi gelap eksistensi manusia: sebuah pengingat bahwa perjuangan tidak selalu mulia atau membawa arti. Dalam dunia nyata, banyak dari kita yang juga mendorong batu-batu kita sendiri—pekerjaan, hubungan, atau trauma yang terus membebani. Seperti Guts, kita tahu bahwa batu itu mungkin tidak akan pernah berhenti jatuh.

Namun, berbeda dengan absurdisme Camus, Berserk tidak menawarkan pelipur lara. Guts mengajarkan bahwa ada kondisi di mana pemberontakan bukanlah tindakan heroik, tetapi hanya cara untuk mengulur waktu di tengah kehancuran. Kentaro Miura menggambarkan dunia di mana absurditas tidak menawarkan kebebasan, tapi hanyalah tambahan dari penderitaan dan kesakitan.

Akhir adalah Awal

Manga Berserk tidak memberikan jawaban atas perjuangan Guts, sebagaimana hidup tidak selalu memberikan jawaban atas penderitaan kita. Guts terus melangkah, tetapi tidak ada janji bahwa ia akan menemukan kedamaian. Tidak ada puncak bukit, hanya jalan yang semakin gelap dan berbatu.

Melalui Guts, Miura menunjukkan sisi paling brutal dari kehidupan. Bahwa tidak semua perjuangan membawa hasil dan bahwa tidak semua penderitaan berujung pada pembebasan. Seperti Sisyphus, Guts adalah simbol manusia yang terjebak dalam absurditas. Namun, tidak seperti interpretasi Camus, perjalanan Guts tidak mengundang kita untuk membayangkan kebahagiaan. Sebaliknya, ia mengingatkan kita akan kerapuhan eksistensi kita sendiri—dan bahkan terkadang, bertahan hidup adalah satu-satunya kemenangan yang bisa diraih.

Rest in Peace, Kentaro Miura.

Penulis: Reihan Adilfhi Tafta Aunillah

Editor: Nabilla Putri Nurafifah

Baca juga: Menelusuri Makna Kehidupan dalam lagu “Untuk Apa/Untuk Apa?” Melalui Lensa Postmodernisme