Bagaikan air sungai yang terus mengalir menyusuri ruang dan waktu, sastra Indonesia telah hidup, berumur panjang, dan bertumbuh di setiap masa. Perjalanan panjangnya tidak akan cukup ditulis hanya dalam satu atau dua paragraf karena setiap masa menghadirkan jejak sastranya sendiri. Oleh karena itu, tulisan ini menyajikan lanjutan dari periodisasi sastra sebelumnya dan awalan dari periodisasi sastra selanjutnya, membentuk sebuah kisah tanpa akhir.
Angkatan 45: Semangat Perjuangan yang Berkobar
Angkatan 45 akrab disebut dengan angkatan Chairil Anwar karena ia-lah yang dianggap telah memprakarsai keberadaan sastra Indonesia pada zaman itu. Kemunculan Angkatan 45 dilatarbelakangi oleh perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia melawan penjajahan Jepang. Saat itu, terdapat larangan menggunakan bahasa Belanda yang membuat masyarakat menggunakan bahasa Indonesia sepenuhnya (kebijakan Language Planning). Kebijakan tersebut membuat sastra Indonesia berkembang pesat.
Sebenarnya, Angkatan 45 sendiri sudah muncul pada tahun 1942. Namun, nama “Angkatan 45” baru diperkenalkan pada tahun 1949 oleh Rosihan Anwar dalam tulisannya di majalah Siasat. Nama ini sempat ditentang oleh beberapa sastrawan, salah satunya Asrul Sani. Mereka merasa nama “Angkatan 45” sebagai representasi angkatan kemerdekaan kurang cocok dengan keadaan tahun 1945 sebenarnya yang memiliki sisi kelam. Pada akhirnya, nama ini disetujui karena memiliki banyak dukungan dan dinilai sebagai simbol perjuangan kemerdekaan.
Karena masih berada dalam suasana kemerdekaan, maka ciri utama karya sastra Angkatan 45 pun tak lepas dari semangat perjuangan kemerdekaan dan humanisme universal. Selain itu, karya sastra pada zaman ini juga bersifat bebas (tidak terkekang aturan kaidah kebahasaan), lebih ekspresif, realistis, kritis, dan mengutamakan pandangan serta perasaan penulis.
Salah satu karya sastra yang paling terkenal dari Angkatan 45, yaitu puisi berjudul Aku karya Chairil Anwar. Dalam puisinya, Chairil Anwar membangkitkan semangat untuk terus berjuang dalam kehidupan. Adapun tokoh-tokoh lain, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Achdiat K. Mihardja juga memiliki segudang karya sastra yang tidak kalah memukau.
Pramoedya menulis kumpulan cerpen berjudul Cerita dari Blora yang mengisahkan tentang kehidupan masyarakat Blora—kampung halamannya—dengan melibatkan latar sosial, politik, dan budaya pada masa penjajahan dan awal kemerdekaan Indonesia. Ada juga novel berjudul Atheis karya Achdiat K. Mihardja yang dianggap sangat berpengaruh karena menggambarkan konflik ideologi, kepercayaan, dan eksistensialisme dalam konteks sosial-politik Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan. Karya-karya tersebut dapat dikatakan berjiwa pemberontak, kritis, dan memiliki semangat perubahan yang tinggi.
Angkatan 50: Dimulainya Konflik Ideologi dan Kemunculan Sastra Majalah
Periode sastra tahun 50-an dimulai dengan pergantian suasana pasca-kemerdekaan (disebut juga zaman peralihan). Indonesia yang sudah memiliki pemerintahan mulai mengalami konflik ideologi. Muncul lembaga perwakilan institusi ideologi, seperti Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) yang mewakili nasionalisme Partai Nasional Indonesia (PNI), Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) yang mewakili partai Islam, dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang mewakili komunisme Partai Komunis Indonesia (PKI).
Periode Angkatan 50 ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah Asuhan H.B. Jassin. Gejolak politik berdampak pada kesulitan untuk menerbitkan karya di penerbit sehingga para sastrawan memutuskan untuk menulis di majalah dan surat kabar, seperti Kisah Asuhan, Gelanggang, Siasat, Mimbar Indonesia, Pudjangga Baru, dan lain-lain. Oleh karena itu, karya sastra yang dominan muncul pada periode ini adalah karangan-karangan pendek seperti cerpen dan kumpulan puisi, yang disebut juga “sastra majalah” oleh Nugroho Notosusanto.
Kemunculan sastra majalah menjadi salah satu ciri yang paling membedakan Angkatan 50 dengan angkatan lainnya. Ciri-ciri lainnya dari karya sastra angkatan 50, yaitu pusat kegiatan sastra yang meluas di Indonesia, pengungkapan kebudayaan dan sastra nasional yang lebih mendalam, serta sastra Indonesia yang memiliki karakteristik sendiri.
Tokoh-tokoh Angkatan 50 antara lain A.A. Navis, W.S. Rendra, Nh. Dini, Ajip Rosidi, Subagio Sastrowardoyo, Budi Darma, Taufik Ismail, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, dan masih banyak lagi. Adapun karya-karya yang identik dengan Angkatan 50, yaitu Dua Dunia karya Nh. Dini, Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis, Tahun-Tahun Kematian karya Ajip Rosidi, dan lainnya. Karya-karya ini mengangkat isu perjuangan dalam menghadapi peralihan keadaan.
Angkatan 66: Renungan dalam Kemuraman
Angkatan 66 muncul di tengah huru-hara kondisi politik Indonesia yang kacau karena paham komunis yang mendominasi. Munculnya karya sastra Angkatan 66 ditandai dengan terbitnya majalah Horison. Nama “Angkatan 66” sendiri dicetuskan oleh H.B. Jassin dan sempat ditolak oleh Ajip Rosidi sehingga mereka harus mengadakan diskusi di Taman Ismail Marzuki. Diskusi tersebut tidak membuahkan hasil dan berakhir dengan tetap menggunakan nama “Angkatan 66”. Angkatan 66 diakui di bidang politik karena berisi pemuda-pemuda yang memberontak terhadap rezim Soekarno kala itu.
Sastra pada periode ini berkembang pesat, salah satu alasannya adalah karena didirikannya penerbit Pustaka Jaya yang banyak berkontribusi dalam penerbitan karya-karya sastra. Karya sastra yang banyak muncul di Angkatan 66, yaitu karya yang memuat protes terhadap keadaan sosial-politik Indonesia pada masa itu. Terlebih lagi, terjadinya peristiwa G30S/PKI membuat kritik sosial melalui sastra lebih banyak muncul ke permukaan.
Puisi-puisi yang menggambarkan kehidupan yang muram dan menderita, prosa yang mencerminkan permasalahan di masyarakat, dan cerita bertema politik yang mendominasi dapat menjadi ciri khas karya sastra Angkatan 66. Adapun sastrawan yang menonjol di periode ini antara lain Iwan Simatupang dengan novelnya yang berjudul Ziarah, Putu Wijaya yang menulis novel Stasiun, dan Umar Kayam dengan novel Jalan Menikung-nya. Ketiga karya ini mengisahkan renungan kehidupan dan konflik batin manusia.
Sastra Indonesia telah berkembang seiring dengan perubahan zaman, memainkan perannya sebagai cermin dinamika sosial, politik, dan budaya di masyarakat. Setiap periode sastra memiliki ciri khas-nya masing-masing dengan bertumpu pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa itu.
Angkatan 45 dan semangat nasionalismenya, Angkatan 50 dan konflik ideologi, serta Angkatan 66 yang menghidupkan kembali perlawanan dengan gaya berbeda, setiap periode kesusastraan ini telah menunjukkan bagaimana kondisi zaman terus berubah. Meski begitu, sastra akan tetap mengabadikannya ke dalam tulisan yang indah dan penuh makna.
Penulis: Asti Aura Lestari
Editor: Nabilla Putri Nurafifah