PIPIS I
Pada suatu jari di ujung hari dalam sebuah malam; jam sebelas lebih lima puluh sembilan terdengar centreng dari hengpon jadul yang ia rangkul menampilkan cuplikan pesan ‘Bangun Terlalu Awal: Membacai Muntahan Pikiran dan Perasaan Toni-Metini’ yang memanggil nama tubuhnya Metini, ia gemetar kecil. Aeh. Sebab pesan tersebut berisikan pertanyaan tentang bagaimana proses bisa lahirnya tulisan saya tentang asbak. Akan saya jawab. Oke. Pembukaan di atas tidak semestinya mesti sebab saya sudah sering keblingsatan bertele-tele hanya untuk menguatkan detil. Eh. Oke;
Begini! Izinkan hamba melakukan pembelaan barang sebanyak kotoran kuku, antara lian; Pertama, saya sama sekali tidak cerdas atau gila yang hanya sebatas penamaan. Tapi saya ingin melabeli diri ini sebagai seorang misterius-us-us yang menjauhi kata jenius. Kedua, perihal Jibril dengan 600 sayap dan dua kali terlihat oleh Nabi. Saya masih kurang pantas untuk diberikan tugas yang begitu mulya alsabab dari tugas mengedepankan kebaikan juga belum terlalu terlaksanakan apalagi menjadi seorang manusia saja itu tidak mungkin, karena saya hanya sebuah boneka buatan orang bajingan. Jika gusti mengizinkan dan memberikan saya 600 buntut saya mungkin bisa jadi penulis yang tidak mengekor siapapun. Eh. Ketiga, saya kira cukup karena dua anak lebih baik. Terakhir, yang sebelumnya itu terlalu berlebihan.
Begitu! Mari kita mulai, duar. Perihal bagaimana saya bisa menuliskan fiksi mini yang berjudul asbak atau lebih tepatnya bisa berempati pada benda mati yang termajinalkan -sengsara karena selalu dilacurkan oleh abu. Sebagai awal dari benda mati sendiri, saya ingat pementasan yang disutradai oleh Bobby Getih dan ditulis oleh Kamil Mubarok yang berjudul 4G(Gara-Gara GadGet) pagelaran tersebut menampilkan Antene dan Layang-layang yang dijadikan tokoh. Secara garis kasar sutradara berusaha menghidupkan benda mati; bagaimana jika antene atau layang-layang bisa berbicara dan berkeluh kesah tentang eksistensinya? Saya jadi ingat kembali bagaiamana saya mewawancarai aktor yang berperan sebagai tokoh itu, ia bernama Decky Medani. Kira-kira begini;
A: Salam sejahtera Decky, bisa diceritakan mengapa acting kamu begitu jelek?
D: Maaf sekali, aku belum bisa jadi orang lain. Hehe-e-e-e.
A: Damn it, hehe?
D: Oh god.
Kepanjangan.
Baca juga : Paragraf yang Mati
KENCING II
Proses bagaimana tulisan asbak lahir sebetulnya hanya iseng-iseng saja dalam mencoba menggambarkan kepekaan terhadap hal yang dekat, dan hal itu terjadi secara spontan. Bagi saya daripada mengikuti kiat-kiat yang bergelimpangan memenuhi kepala serta membentengi keliaran khayali. Salah satu contohnya ketika observasi keluar kandang kemudian dengan susah payah menangkap apa yang dijumpai kerapkali banyak ide yang amburadul. Saya lebih mengedepankan batiniah yang sensitif akan hal apa yang saya rasakan(kepekaan) sehingga mencoba untuk melukiskan hal itu. -yang dekat dulu saja daripada yang jauh/termasuk yang dekat belum tentu jodoh juga. Jika boleh memberikan kebodohan tentang bagiamana hal itu datang, ya saya dikit-dikit sering menguatkan imajinasi saya yang bisa kawin dengan realitas. Sering-seringlah menganalogikan, karena dari situ keluar perbedaan dan persamaan. Sebab manusia kadang sering luput belum bisa menerima perbedaan padahal semuanya sama bisa dikaitkan dengan kehidupan, kata alter ego saya. Asyeeek. Geli.
Kurang lebih pada akhirnya saya dipastikan tidak kreatif oleh saya sendiri, karena saya mengedepankan spontanitas dan improvisasi dibandingkan para penulis terkenal, semisal: Kedisiplinan Murakami soal jadwal menulis dan rutinitas olahraganya yang -kebetulan saya sendiri rajin untuk malas. Ehm. Atau Kafka dengan pemusatan pikirannya di jam malam dengan begadang karena mitosnya pada jam segituan nalar bisa jauh lebih bekerja keras dengan khidmat, saya tidak bisa begadang karena saya hanya manusia jadi-jadian yang sering mengantuk. Heuay. Saya juga kurang doyan kopi yang menjadi sinyal bagaimana Balzac bisa menetaskan karya-karyanya, sebab daripada mabok caffeine sehingga lambung sering asma saya lebih memilih teh apalagi teh bohay. Senyum.
Saya hanya ingin berterima kasih kepada pembaca yang syukur-syukur bisa menguatkan resahnya membaca tulisan tak penting ini sampai sini, begitu. Ini surat terbuka universalnya; Coba bagaimana proses kreatif para pemirsa yang barangkali bisa dibagikan? Atau Khususnya Mas Rendy bisa membagikan proses kreatif menulisnya sehingga bisa melahirkan puisi yang ditujukkan kepada Mas Toni atau Mas Topan? Atau barangkali lagi bisa Mas Toni(Sebagai Sekjen ASAS) atau Mas Topan(Sebagai Pemred Literat) yang membagikan proses kreatif menulisnya? Ahiwww.
Ehm. O-ho. O-hoo. (terbatuk-batuk), <nyepet>: Alem sebagai Kepala Suku ASAS, Mantan CEO Literat.
Karena saya kurang referensi buat nulis dibandingkan buat video viral di sosial media atau cara mengasah skill buat jadi pro player di game online.
Maaf sekali, ini semacam khotbah batin. Saya hanya manusia jadi-jadian dan berhak disalahkan. Persetan!
BAB IV
SIMPULAN
Karena kurang lebih soal tulis-menulis hanya sebuah responsi. Bukan begitu, sayang?
Negasi dong!
2021;Februari……,
Salam kasih, Metini.
Baca juga: Bangun Terlalu Awal: Membacai Muntahan Pikiran dan Perasaan Toni-Metini
Penulis : Alfaza Metini