Siapa sangka, game yang dulu dianggap sekadar tempat bermain kini berubah menjadi ruang belajar dan bersosialisasi. Roblox, platform game online yang digemari jutaan pengguna di seluruh dunia, kini mulai dilirik sekolah-sekolah sebagai kegiatan ekstrakurikuler.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan menarik, apakah dunia virtual dapat menjadi ruang belajar yang positif atau justru membuka tantangan baru di balik layar digital?
Mengenal Roblox Lebih Dekat
Roblox adalah sebuah platform permainan daring dan kreasi digital yang diciptakan oleh David Baszucki dan rekannya, Erik Cassel. Mereka mendirikan Roblox Corporation, perusahaan asal Amerika Serikat pada tahun 2004 dan merilis Roblox untuk publik pada tahun 2006. Berbeda dari game pada umumnya yang mempunyai alur cerita tetap, Roblox justru memberi kebebasan penuh pada penggunanya untuk membuat, memainkan, dan menjelajahi dunia buatan sendiri menggunakan sistem pemrograman sederhana bernama Lua.
Awalnya, Roblox dirancang sebagai sarana belajar pemrograman, logika, dan kreativitas melalui permainan. Namun, seiring berjalannya waktu, Roblox berkembang menjadi ruang sosial yang lebih luas, menjadi tempat bermain, berkreasi, dan berinteraksi.
Edublox: Sekolah Memanfaatkan Game sebagai Ruang Belajar?
Fenomena Roblox sebagai ruang belajar bukan sekadar wacana. Di Solo, pemkot menetapkan Roblox sebagai ekstrakurikuler SMP melalui program Edublox yang dinaungi oleh Dinas Pendidikan dan Solo Technopark. Wali Kota Solo, Respati Ardi mengatakan bahwa game ini hanya diizinkan untuk siswa SMP dengan pendampingan sekolah dan orang tua. Hal tersebut bertujuan supaya anak-anak dapat kreatif dan bersosialisasi secara aman dalam dunia maya.
Namun, langkah ini mengundang berbagai pertanyaan. Apakah sekolah siap menghadapi sisi negatif dunia maya? Bagaimana cara sekolah menjaga agar siswa tidak kecanduan atau terpapar konten negatif? Benarkah manfaat kreativitasnya lebih besar dibanding risikonya?
Menurut data awal, antusiasme siswa cukup tinggi. Kuota awal untuk Edublox dipatok 20 siswa per sesi, tetapi pendaftaran mencapai 511 peserta. Di hari pertama, siswa diajarkan etika penggunaan Roblox, meliputi hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam dunia game Roblox. Selanjutnya, siswa diarahkan ke praktik kreatif.
Meskipun demikian, kritik tetap datang. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian, meminta agar kebijakan ini tetap sejalan dengan kurikulum nasional. Ia mengingatkan supaya program tersebut tidak “kabur” dari tugas pendidikan formal.
Sementara itu, pakar Psikologi, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Indra Purnomo M. Psi., Ph.D, Psikolog memberikan peringatan. Menurutnya, Roblox sebagai platform dengan fitur chat terbuka dan sistem reward instan, bisa menjadi pedang bermata dua. Di mana kreativitas dapat tumbuh jika dikontrol dengan baik, tetapi risiko kecanduan dan perundungan digital juga menjadi ancaman nyata.
“Roblox itu seperti dua mata pisau. Kalau yang pegang masih anak-anak dan kontrolnya kurang, bisa bahaya,” ujarnya.
Dari sudut pandang ini, Edublox menjadi eksperimen sosial yang menarik. Sekolah mencoba mengubah paradigma “belajar = ruang kelas” menjadi “belajar = eksplorasi kreatif digital.” Namun, agar tidak melewatkan sisi gelapnya, perlu diperkuat pengawasan, literasi digital, dan pendampingannya.
Dari Game Ke Pembelajaran: Perspektif Pengguna dan Pelajar
Di sisi lain, beberapa pengguna Roblox menyambut kebijakan ini secara positif. Mereka menganggap ide tersebut tidak hanya seru, tetapi juga membuka peluang baru untuk belajar. Sabina, salah satu pengguna memberikan pendapat,
“Keren, karena biar enggak boring gak sih …. Karena kan sekarang zaman makin maju dan canggih,” tuturnya.
Hal demikian juga disampaikan oleh Zora, mahasiswa Manajemen, sekaligus pengguna Roblox, ia mengatakan,
“Menurutku itu keren banget sih. Soalnya Roblox enggak cuma buat main, tapi bisa jadi tempat belajar yang seru. Misalnya, bisa belajar bikin game sendiri, atur desain, sampai kerja tim bareng orang lain. Jadi, kalau dijadiin ekstrakurikuler, murid-murid bisa belajar kreativitas, problem solving, sama kolaborasi, tapi lewat cara yang fun. Jadi, belajarnya bikin semangat,” tuturnya.
Tak hanya di Solo, ide menjadikan Roblox sebagai ekstrakurikuler juga menarik perhatian pelajar di daerah lain. Salah satu nya Oriana, Siswa SMA di Depok, menilai kebijakan ini sebagai langkah yang positif. Menurutnya, program seperti Edublox bisa membantu siswa mengasah kreativitas sekaligus melatih kerja sama dan pola pikir.
“Kalau dijalani dengan cara yang positif, justru bisa bikin murid lebih aktif dan punya wadah buat menyalurkan hobi mereka di bidang game,” tuturnya.
Pendapat mereka menunjukkan bahwa menjadikan Roblox sebagai ekstrakurikuler bukan sekadar mengikuti tren digital. Lebih daripada itu, menghadirkan pengalaman belajar yang kontekstual dan dekat dengan dunia remaja.
Meski demikian, keberhasilan program ini tetap bergantung pada peran sekolah dan orang tua. Keduanya harus mampu menjaga keseimbangan antara aspek edukatif dan potensi distraksi dari dunia virtual.
Di balik fungsinya sebagai sarana edukatif, Roblox tetap memiliki sisi lain yang tak kalah menarik. Dunia virtual ini bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang sosial di mana para pemain saling berinteraksi dan berbagi cerita. Melalui interaksi tersebut, mereka dapat membentuk hubungan yang tak kalah hangat dari dunia nyata.
Ruang Bersosialisasi atau Ilusi Koneksi?
Di balik tampilan visualnya yang penuh warna dan karakter, Roblox menjadi ruang sosial baru tempat jutaan pemain saling berinteraksi. Bagi sebagian orang, bermain di platform ini bukan hanya soal menaklukkan misi, melainkan menemukan koneksi, kebersamaan, bahkan persahabatan.
Dunia virtual yang awalnya berisi permainan, kini berubah menjadi ruang hangat. Tempat orang bisa merasa dilihat dan didengar, meski hanya lewat layar.
Banyak pengguna yang menemukan ketenangan dan keakraban di tengah kesibukan dunia nyata mereka. Devyta, mahasiswa Agroteknologi, sekaligus pengguna Roblox, mengaku platform ini membantunya melepas stres sekaligus memperluas pertemanan.
“Aku jadi enggak stres dan aku malah jadi dapet temen baru juga yang positif. Pernah juga dibantu pemain lain waktu awal-awal main,” tuturnya.
Hal serupa juga diungkapkan Sabina, yang merasa Roblox menjadi wadah untuk membangun hubungan baru.
“Ini pertama kalinya buat aku ketemu temen online di game sampe akur dan mereka super duper baik, terus jadi punya info-info baru karna sering cerita satu sama lain,” jujurnya.
Zora pun menambahkan, bermain di Roblox justru membuat ia jadi tau tentang hal-hal baru dan belajar tentang kerja sama, kesabaran, dan kreativitas.
“Kadang jadi tahu hal-hal random dari orang yang ngobrol di chat, Aku belajar kerjasama sama orang lain. Terus aku jadi lebih sabar dan enggak gampang nyerah, apalagi pas main game susah. Aku juga jadi tau soal kreativitas, liat orang bikin map atau event keren tuh bikin pengen belajar hal baru. Jadi, bukan cuma buat main doang,” tuturnya.
Dari berbagai cerita itu, Roblox menjadi ruang di mana orang bisa merasa terhubung, belajar, dan tumbuh bersama. Interaksi ini membuktikan bahwa keseruan bukan hanya soal permainan, tetapi juga soal kebersamaan.
Ketika Dunia Virtual Tak Selalu Ramah
Meski Roblox memberikan pengalaman sosial yang menyenangkan, tidak semua interaksi berjalan mulus. Beberapa pengguna mengaku pernah mengalami hal tidak menyenangkan, mulai dari komentar kasar, hingga perilaku toksik di chat. Devyta bercerita, ia sempat dimarahi saat karakternya bergerak lambat di suatu map gunung. Ia bahkan dikatai hanya karena tidak memenuhi permintaan pemain lain.
“Kadang bikin males, tapi aku biasanya tinggal leave atau ganti server aja biar enggak kebawa emosi,” tambah Zora, ketika dirinya juga mengalami hal serupa.
Hal ini menunjukkan, meskipun dunia virtual bisa menjadi ruang sosial yang hangat dan akrab, dinamika interaksi di dalamnya tetap kompleks. Maka dari itu, penting bagi pengguna untuk tetap menjaga etika dan empati. Sebab, interaksi digital pun bisa meninggalkan dampak emosional yang nyata.
Belajar, Bermain, dan Bersosialisasi di Dunia Maya
Pada akhirnya Roblox membuktikan bahwa dunia virtual bisa menjadi lebih dari sekadar hiburan. Dari permainan sederhana, platform ini kini berkembang menjadi ruang belajar, berkreasi, dan bersosialisasi. Program Edublox di Solo menegaskan bahwa anak muda bisa mengeksplorasi kreativitas dan kerja sama, asalkan ada pendampingan yang tepat.
Hasil wawancara para pengguna menunjukkan bahwa Roblox menjadi tempat untuk menemukan teman baru, belajar bersabar, dan mengekspresikan diri. Namun, dunia digital tidak selalu mulus. Interaksi toksik atau komentar kasar masih muncul dan mengingatkan kita untuk menjaga etika dan empati.
Dunia maya mungkin tak nyata, tetapi kebersamaan, kreativitas, dan pengalaman sosial yang muncul di sana terasa manusiawi. Roblox membuktikan bahwa belajar dan bermain bisa berjalan beriringan, di mana pun dan kapan pun.




