Catatan Kelam Reformasi 98 di Bawah Teduh Payung Hitam

Demi mengenang para pejuang reformasi yang telah gugur, sebelum pergelaran kelas Dik 4C (23/05) dimulai, semua hadirin diminta untuk berdiri sejenak. Sunyi perlahan merayapi seisi ruangan. Mengheningkan cipta, dimulai.

Setelahnya, latar panggung menggambarkan sebuah halaman rumah, di mana terdapat tokoh Ibu Ningsih sedang menyapu halaman sambil menyenandungkan Lelo ledung/ayun ambing. Ia menanti kedatangan anaknya, Maman, pulang kuliah.

Tak lama, Maman dan beberapa teman mahasiswanya masuk ke latar adegan panggung dengan grasak-grusuk. Tokoh utama ini ternyata memiliki sifat jahil. Ia baru saja menjahili salah satu temannya dengan memberikan catatan materi seminar yang salah. Namun, situasi di halaman rumah saat itu tetap ramai dan hangat. Mereka saling melempar candaan. Sampai topik obrolan beralih menyinggung tentang keputusan “raja” yang akan merugikan rakyat.

Tokoh Maman ini merupakan tokoh yang terinspirasi dari aktivis mahasiswa bernama Wawan, yang mana ia merupakan salah satu pejuang reformasi yang ditembak tepat di dada kirinya, saat hendak membantu aktivis lain yang terluka. Penggambaran tokoh Maman dalam pertunjukan ini selalu berapi-api ketika sedang membicarakan tentang kondisi bobrok negeri kita di tahun 98. Maman selalu bermonolog untuk memantik api semangat mahasiswa lainnya.

Sampai pada adegan yang memperlihatkan ke-chaos-an di atas panggung. Lampu kedap-kedip, berulang-ulang. Teriakan di antara pemeran. Dan iringan musik yang melatari ketengangan suasana adegan itu. Maman sendiri diketahui tertangkap oleh intel yang menyamar sebagai mahasiswa. Tokoh yang kita ketahui sebagai temannya Maman sedari adegan pertama dimulai.

Setelah kekacauan, di panggung yang masih remang-remang, muncul Wanita bergaun putih. Ia kemudian menari, seakan gerakan-gerakan lentik dan tegas penari tersebut merupakan sebuah luapan perasaan cemas, ngeri, dan nyeri dari adegan sebelumnya. Dibarengi dengan pembacaan puisi berjudul Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia karya WS. Rendra oleh talent lainnya.

Ada yang menarik dari pergelaran sastra Payung Hitam ini. Mereka menghadirkan tokoh mahasiswa apatis sebagai bentuk kontradiktif terhadap para aktivis mahasiswa. Tiga mahasiswa apatis ini selalu menjadi pematah suasana ketika mereka masuk ke panggung. Dengan tampilan yang menor, koreo yang alay, dan gelagat yang cringe, mampu membuat penonton tertawa sejenak.

Baca Juga: Bungkam yang Menikam: Sebuah Pembungkaman Jurnalis dalam Pertunjukan Drama

Dengan kehadiran mereka ini, seolah memberi sudut pandang umum tentang mahasiswa yang berpikir tidak ada untungnya menjadi seorang aktivis. Bagaimana mereka berlindung dalam kenyamanan dan ketenangan semu, tanpa memikirkan kehidupan selanjutnya. Bahkan, hingga sampai saat ini, karakter dari ketiga mahasiswa apatis masih sering kita jumpai di kehidupan sehari-hari.

Kemudian, judul dari pergelaran ini mengungkapkan sesuatu asa terhadap kejahatan HAM yang pernah dilakukan oleh pemerintah. Payung hitam. Sebuah simbol aksi Kamisan, yang mana aksi ini diinisiasi salah satunya oleh ibu dari Wawan, inspirator tokoh Maman dalam pertunjukan ini.

Kita kembali lagi ke dalam adegan pertunjukan. Pada adegan selanjutnya, menampilkan beberapa tokoh yang berprofesi sebagai reporter dan juru bicara pemerintah. Mereka saling bergantian membacakan dialog masing-masing. Mengenai pemberitaan bagi para reporter, dan mengobral janji dan pernyataan maaf dari juru bicara.

Lain itu, terdapat teman-teman Maman yang memberi kesaksian terhadap peristiwa menegangkan sebelumnya, di mana mereka dipukuli, ditembak, dikepung, dan sebagainya oleh aparat bersenjata. Dialog ini terus berulang-ulang sampai muncul Ibu Ningsih di antara mereka semua. Ia berteriak “diam!”. Suasana sunyi sementara. Korban-korban seperti Ibu Ningsih berdatangan membawa payung hitam. Berdiri sejajar dengan Ibu Ningsih yang sedang dalam keadaan kalut.

Dalam kesunyian itu, Ibu Ningsih menyenandungkan kembali Lelo ledung/ayun ambing, seperti apa yang ia lakukan ketika menanti anaknya pulang waktu itu. Namun, saat itu, ada penantian yang lebih panjang dan penting. Yaitu, tentang keadilan anaknya yang terbunuh oleh aparat bersenjata.

Ketika masih menyenandungkan dengan nada yang kian lirih, tiba-tiba para intel muncul. Menyeret mereka entah kemana. Meninggalkan suara sirene yang masih mengaung dan payung hitam yang tergeletak dingin di tengah-tengah panggung. Pertunjukan pun berakhir.

Sebuah penyelesaian yang memberikan tanda tanya. Apakah pertunjukan ini ingin memberikan pesan bahwa suara aksi Kamisan yang rutin digelar sampai saat ini tidak pernah didengar sekalipun, —apalagi setelah salah satu pelaku kejahatan HAM 98 yang mana wajahnya akan terpampang sumringah di mana-mana selama lima tahun kedepannya— dengan adegan akhir yang terasa “pesimis” sebagai pertunjukan yang ingin menyuarakan kebenaran. Mungkin saja demikian rupanya.

Namun, dengan bagian akhir tersebut, rasanya kebenaran mesti tetap kita cari. Tak peduli berapa banyak represi yang dialami. Karena di bawah teduh payung hitam, ada suara-suara yang perlu didengar dari para keluarga korban.

Selayang pandang

Mengenai pertunjukan secara keseluruhan, aktor-aktor sangat mendalami tokohnya masing-masing. Beberapa adegan membuat saya merinding. Saya cukup tersanjung dengan apa yang diberikan oleh pemeran Maman dalam pertunjukan ini. suaranya lantang, mimik mukanya berhasil menyiratkan amarah yang terpendam.

Meski demikian, ada adegan yang saya rasa “garing” dalam pertunjukan ini, seperti ketika permasalahan jahil Maman terhadap temannya, di mana ia memberikan catatan cara memasak sayur kentang. Sebagai pembuka yang ingin menghadirkan kelucuan, saya rasa bagian itu tidak berhasil.

Lalu, ada bagian peleburan waktu terkait jokes “Kentang”. Jawaban dari “kentang-kentang apa yang rakus?” ini adalah “kentangkap KPK”. Saya kira latar waktu di pertunjukan ini yaitu saat masa-masa Soeharto hendak lengser, yaitu tahun 98–hal ini diperkuat dengan pembacaan puisi WS. Rendra. Tapi, dengan adanya jokes ini membuat saya agak bingung karena KPK baru lahir pada tahun 2002. Apakah latar tahunnya memang setelah tahun 2002 atau memang ada keluputan detail ini oleh kelas mereka.

Ya, terlepas dari itu, anak-anak kelas Dik 4C berhasil membuat merinding atas pertunjukan Payung Hitam, di mana isu ini juga memang sudah membuat merinding bagi saya pribadi. Sekian.

Baca Juga: Mahautpatti dan Problematika Negeri

Penulis: Muhammad Rifan Prianto (ASAS UPI)