Salam Demokrasi!!!
“Pendidikan yang adil adalah hak semua anak, bukan hak hanya bagi yang mampu membayarnya.”
–Kailash Satyarthi
Apa kabar pemuda mahasiswa? UKT-nya aman? Belum lama ini semester baru dimulai, artinya hari bahagia kampus datang. Yap, pasokan UKT dari mahasiswa terus-menerus masuk, kewajiban yang seharusnya tidak membebani para orang tua justru saat ini menjadi duka yang terpendam dalam benak rakyat. Pendidikan hakikatnya berorientasi untuk perkembangan masyarakat dan menjadi media transformasi dalam menghancurkan zaman terbelakang melalui ilmu pengetahuan dan teknologi dengan realisasi nyata membangun peradaban manusia serta memecahkan masalah yang ada.
Bisa ikut belajar di perguruan tinggi menjadi impian bagi siswa dan orang tua. Namun, biaya kuliah telah menjadi hal kontroversial dalam beberapa dekade terakhir. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak seluruh rakyat saat ini, faktanya tidak demikian.
Pernah melihat anak-anak mengemis di jalanan? Itulah potret pendidikan Indonesia sekarang. Lantas, apakah semua ini terjadi begitu saja? Tentu tidak. Kondisi pendidikan saat ini lahir dari bayangan yang kian mencengkam menjadi penguasa.
Mari Menghampiri Fakta Sejarah Uang Kuliah Tinggi
Pendidikan sudah ada sejak masa komunal primitif. Namun, bentuk dari pendidikan masa itu masih sangat sederhana, yaitu sebatas pengetahuan untuk bergantung pada alam tanpa mampu mengelola kekayaan dari alam. Hakikatnya, “keadaan memengaruhi kesadaran sosial”. Hal ini yang menjadi tolak ukur pendidikan yang berkembang sesuai keadaan sosial atau sistem sosial yang berlaku.
Pendidikan di Indonesia diarahkan untuk mendorong dan melahirkan sarjana-sarjana yang memiliki keahlian sesuai disiplin ilmunya dan mampu mempertanggungjawabkan ilmu pengetahuan melalui pengabdiannya terhadap rakyat. Akan tetapi, jalan yang ditempuh pendidikan tidak semulus jalan tol. Dalam rangka membangun peradaban dan kebudayaan yang maju, banyak hal yang harus dihadapi dalam dunia pendidikan.
Masih ingat penjajahan oleh Belanda selama 3,5 abad?
Selama penjajahan Belanda berlangsung, mereka menerapkan politik etis yang menyediakan pendidikan yang hanya bisa dienyam oleh kalangan Belanda, priayi atau bangsawan. Sementara itu, rakyat biasa dengan status menengah ke bawah, akses untuk memperoleh pendidikan justru dipersulit. Hal ini membuktikan bahwa diskriminasi pendidikan saat ini sesungguhnya sudah ada sejak masa kolonial Belanda.
Fakta lain usai penjajahan Belanda yaitu pada saat Jepang berhasil menduduki Indonesia tahun 1942. Kondisi dunia pendidikan di Indonesia semakin suram. Jepang dengan kebijakannya memobilisasi rakyat Indonesia untuk kepentingan perangnya dan mengesampingkan aspek pendidikan. Sekolah–sekolah yang ada diubah menjadi institusi militer, sehingga para pemuda didik untuk berperang, seperti PETA, Heiho, Seinendan, Keibodan, dan lain sebagainya. Jepang sama sekali tidak ingin menjadikan rakyat Indonesia cerdas dan terdidik. Ketidakadilan ini disadari oleh rakyat Indonesia dan membuat rakyat melawan untuk memperoleh kemerdekaan.
Pascakemerdekaan, perjuangan rakyat terus digencarkan di antara kaum tani, kelas buruh laskar pelajar dan pemuda. Tidak hanya itu, perempuan pun turut berjuang mati-matian melawan Agresi Militer Belanda II. Hal ini membuktikan bahwa organisasi rakyat menjadi senjata sejati perjuangan dari zaman ke zaman.
Pada masa orde baru tahun 1965, institusi pendidikan pun harus dipastikan mengikuti kurikulum berbasis kepentingan imperialisme AS dan feodalisme.
Kebebasan akademisi dikekang, pemberangusan aktivitas berkumpul, berserikat, dan pendidikan dijauhkan dari realitas sosial yang sebenarnya. Di pendidikan tinggi, disahkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) dan pembekuan Dewan Mahasiswa tahun 1977. Kegiatan ini membuat mahasiswa sibuk pada kegiatan akademis dan menjauhkan diri dari aktivitas sosial di luar kampus.
Kebijakan pendidikan yang tidak ilmiah dan berorientasi pada rakyat kemudian diatur dalam perubahan yang termaktub dalam sistem pendidikan nasional dalam UU No. 02 Tahun 1989. Selanjutnya, pada masa Soeharto awal, bayangan ini mencengkam rakyat, yaitu liberalisasi pendidikan di Indonesia lewat masuknya Indonesia menjadi anggota organisasi perdagangan internasional (WTO) di tahun 1994. WTO merupakan instrumen imperialisme AS yang melakukan pengaturan liberalisasi perdagangan jasa, salah-satunya adalah pendidikan.
Dalam hal ini, pendidikan seolah dijadikan barang jasa yang seenaknya dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan atau profit sebanyak-banyaknya. Meskipun Soeharto telah meletakkan jabatannya pada tahun 1998 atas dasar tuntutan rakyat, tapi permasalahan liberalisasi pendidikan belum selesai.
Pada masa Habibie, lagi-lagi regulasi pendidikan antirakyat dicetuskan. Kondisi ini tercermin dari kebijakan tahun 1999 dengan dikeluarkannya PP No. 61 Tahun 1999 tentang PT. BHMN. Dasar ini lalu berkembang secara yuridis melegalkan liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia, setidaknya sampai UU PT.
Sementara itu, pada masa Megawati, ditandatangani Letter Of Intent (LOI) bernilai 400 juta US Dollar dengan IMF tahun 2001, penerapan Structural Adjustment Programs (SAP’s) kedua, dan salah satu varian dari kebijakan struktural tersebut adalah pencabutan subsidi sosial dengan alasan efisiensi. Pencabutan subsidi ini berimbas pada sektor ekonomi dan pendidikan karena kurangnya dana yang dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat dalam memenuhi kebutuhan.
Disahkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang menggantikan UU No. 02 Tahun 1989 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menjadi sumber hukum pendidikan di Indonesia yang semakin melegitimasi liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi di dunia pendidikan Indonesia.
Beralih pada masa Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2009, dikeluarkannya dasar hukum dari amanat PT. BHMN yakni UU No. 09 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang melegitimasi otonomi perguruan tinggi. Regulasi ini membuat perguruan tinggi memiliki hak sepenuhnya untuk mengatur keuangannya termasuk menentukan nominal Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang harus dibayar oleh mahasiswa.
Rezim SBY kedua kalinya tetap mempertahankan proses liberalisasi dan komersialisasi di bidang pendidikan dengan disahkannya Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT) No. 12 Tahun 2012 yang esensinya mempunyai tujuan yang sama atas pendidikan, yakni mempunyai semangat otonomi sebagai manifestasi liberalisasi, komersialisasi, dan privatisasi kampus. Inilah potret persoalan kita saat ini, sejarahlah yang menjadi saksi mahalnya biaya yang harus dibayar untuk ilmu pengetahuan.
Perlu diingat kawan-kawan, yang saat ini berkesempatan menikmati duduk di kursi perguruan tinggi, apa yang terjadi dengan UKT hari ini bukan tanpa sebab, semuanya memiliki proses dan dinamika. Kita boleh bahagia atas Indonesia yang telah merdeka, tapi coba kita kritisi bagaimana pendidikan hari ini dan bangsa kita dalam 10 tahun ke depan!
Hidup mahasiswa!!!
Hidup rakyat Indonesia!!!
“Tut wuri handayani, Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso”
–Ki Hajar Dewatara
Penulis: Diah Wulandari Ayu
Editor: Laksita Gati Widadi
Baca Juga: 4 ALASAN UKT NAIK DAN SEMAKIN SULIT DIGAPAI