Menyelami dunia surealis Haruki Murakami lewat Kafka on the Shore: kisah absurd, kucing bicara, Oedipus Complex, hingga hujan ikan. Ulasan lengkap, pro-kontra, dan daya tariknya di sini!

Kafka on the Shore: Menyelami Realisme Ajaib Haruki Murakami

Sebelum membuka halaman pertama buku ini, satu hal yang penting: kesampingkan dulu moral dan logika. Beberapa buku diciptakan untuk membangkitkan empati, namun, buku ini sebaliknya. Kita bahkan tidak tahu harus berpihak pada siapa. Tapi tenang saja, karena dunia Kafka memang tidak diciptakan untuk membuat dunia terasa lebih baik.

Tips kedua: jangan gunakan akal sehat untuk memahami alur ceritanya. Buku ini bukan ditulis untuk orang gila, meskipun bisa saja membuat pembacanya sedikit kehilangan nalar. Gaya yang digunakan adalah surealisme. Kenyataan dan imajinasi dicampur dalam satu adonan, menghasilkan kue yang bentuknya aneh… namun, entah kenapa tetap terasa lezat.

Haruki Murakami memang dikenal dengan plot yang menabrak logika manusia. Tapi, justru di sanalah keindahannya: saat dunia yang tidak kita mengerti bisa terasa seperti rumah.

Kafka dan Kutukan Oedipus Complex

Sulit membayangkan sosok Kafka Tamura, seorang anak laki-laki berumur 15 tahun yang terlalu cepat dewasa. Ia kabur dari rumah untuk menghindari kutukan ayahnya berupa Oedipus Complex, sekaligus berusaha menemukan ibu dan kakak perempuannya yang meninggalkannya sejak ia berumur 4 tahun.

Dalam perjalanannya, Kafka bertemu dengan remaja perempuan bernama Sakura, teman seperjalanannya menuju kota Takamatsu. Di sana, ia menemukan tempat perlindungan di Komura Memorial Library, sebuah perpustakaan pribadi yang dikelola oleh Nona Saeki, wanita paruh baya yang misterius dan tertutup, serta Oshima, staf perpustakaan yang cerdas dan ambigu secara gender.

Kafka menghabiskan hari-harinya membaca buku, hingga suatu hari ia diperiksa polisi atas kasus pembunuhan brutal. Sejak saat itu, berbagai kejadian supranatural mulai muncul dan menghantui perjalanannya.

Kucing, Nakata, dan Dunia Ajaib

Kecintaan Murakami terhadap kucing terwujud lewat tokoh Satoru Nakata. Seorang kakek tua yang kehilangan ingatannya sejak kecil akibat peristiwa misterius tahun 1946, saat Jepang berperang melawan Amerika Serikat. Ia kehilangan kemampuan intelektual, tapi justru memperoleh kemampuan berbicara dengan kucing. Ia pun bekerja sebagai pencari kucing hilang.

Hidupnya berubah saat ia menjadi tersangka dalam insiden pembunuhan. Ia pun meninggalkan rumahnya di Nakano untuk pertama kalinya, memulai perjalanan penuh keanehan, termasuk hujan ikan dan lintah yang turun dari langit. Dalam perjalanannya, Nakata bertemu dengan Hoshino, sopir truk yang kemudian menjadi teman perjalanannya hingga mereka menuju ke tempat Kafka bersembunyi.

Baca juga: Tips Menulis Cerita Ala Haruki Murakami

Dua Dunia yang Tak Pernah Bertemu

Meskipun Kafka dan Nakata adalah tokoh utama, mereka tidak pernah bertemu secara langsung. Namun, keduanya memiliki hubungan paralel yang ajaib dan terhubung dalam dunia metafisik, saling memengaruhi satu sama lain lewat keputusan dan tindakan mereka. Dunia nyata dan dunia lain seolah saling menyilang, menciptakan benang merah yang tak kasat mata.

Tidak Ada Karya yang Sempurna

Salah satu daya tarik utama dari Kafka on the Shore adalah imajinasi Haruki Murakami yang begitu liar. Ia berhasil menyusun dunia surealis yang dipenuhi dengan mimpi. Kucing yang bisa bicara, hujan ikan, hingga percakapan dengan tokoh-tokoh metafisik tanpa membuat pembaca merasa tersesat sepenuhnya. Meskipun penuh absurditas, dunia yang ia ciptakan terasa nyata dan tidak asal aneh. Gaya bahasanya pun deskriptif dan mengalir, membuat pembaca dapat membayangkan suasana dengan jelas, bahkan ketika yang dijelaskan adalah sesuatu yang tidak logis.

Tak hanya itu, Murakami juga menyisipkan berbagai elemen khasnya seperti musik klasik, jazz, dan referensi sastra. Ia juga memiliki kemampuan unik untuk menyisipkan humor dalam absurditas, juga menyampaikan pandangan filosofis yang tidak terasa menggurui. Tema-tema seperti identitas, kehampaan, takdir, dan hubungan antara dunia nyata dan dunia metafisik dikemas dengan apik.

Namun, keunikan ini juga menjadi pedang bermata dua. Salah satu kritik yang kerap muncul adalah bagaimana Murakami menampilkan unsur seksualitas dalam karyanya dan Kafka on the Shore tidak terkecuali. Beberapa adegan seksual dalam buku ini terasa terlalu eksplisit dan terkadang tidak relevan terhadap jalannya cerita. Bahkan, ada bagian yang bisa membuat pembaca merasa tidak nyaman karena menyentuh isu tabu seperti hubungan inses, meskipun dikemas dalam konteks mimpi atau metafora.

Selain itu, detail peristiwa pembunuhan yang cukup gore dan menjijikkan juga bisa menjadi penghalang bagi pembaca yang sensitif terhadap kekerasan grafis. Walaupun intensitasnya tidak sebanyak tema seksual, gambaran kekerasan tersebut mungkin akan mengganggu pembaca.

Dari segi struktur cerita, buku ini bisa terasa membingungkan, terutama bagi pembaca yang mengharapkan alur yang lurus dan mudah diikuti. Dua alur yang berjalan paralel tanpa titik temu secara langsung, serta berbagai peristiwa metafisik yang tidak dijelaskan secara gamblang, bisa menimbulkan frustasi bagi sebagian pembaca. Namun, bagi pembaca yang terbuka terhadap ketidakjelasan dan bersedia menafsirkan sendiri maknanya, justru ini menjadi kekuatan yang mendalam.

Data Buku

Judul                  : 海辺のカフカ (Umibe no Kafuka)/Kafka on the Shore/Dunia Kafka
Penulis               : Haruki Murakami
Genre                 : Novel, Realisme magis, Fiksi fantasi
Tahun Terbit      : 2002 (versi Jepang), 2005 (versi Inggris), 2008 (versi Indonesia) 
Penerbit             : Shinchosha (JP), Vintage International (Eng), Pustaka Alvabet (ID)
Jumlah halaman: 467

Sampul Buku “Kafka on the Shore” Karya Haruki Murakami

Penulis: Aisyah Muthmainah
Editor: Allysa Maulia Rahman

Baca Juga: Merayakan Hari Pustakawan: Jelajahi Kembali Rak-Rak Buku
Baca Juga: “Liminalis”: Langkah Pertama Sineas Muda UKMF Satu Layar