Sang Burung Merak yang Melegenda: Menilik Jejak Kehidupan W.S. Rendra

Julukan “Sang Burung Merak” begitu kental dengan nama W.S. Rendra, sastrawan legendaris Indonesia. Berbicara soal sastra tentu tidak luput dari namanya. Rendra terkenal menciptakan karya-karya yang tidak hanya indah, tetapi juga berani terhadap isu-isu sosial saat itu. Gaya dan penampilan Rendra yang khas ketika membacakan puisi meninggalkan kesan mendalam bagi pendengarnya. Kehebatan itu bahkan dijadikan inspirasi bagi banyak sastrawan muda hingga saat ini.

Bukan tanpa alasan Rendra menjadi seorang sastrawan multi-talenta. Terjun dalam dunia sastra sejak usia muda, membuat Rendra memiliki kecakapan yang mumpuni di berbagai bidang sastra. Tidak lengkap apabila hanya mengenal namanya saja, bagaimana Rendra tumbuh sehingga bisa menciptakan karya-karya menakjubkan tentu didorong oleh latar belakang kehidupannya yang luar biasa. Untuk itu, mari menjejaki lebih jauh perjalanan hidup “Sang Burung Merak” yang terkenal, W.S. Rendra.

Kehidupan Awal dan Pendidikan

Rendra lahir dengan nama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra pada tanggal 7 November 1935 di Kota Solo, Jawa Tengah. Latar belakang keluarganya terkenal sangat menjunjung tinggi nilai pendidikan dan budaya. Ayahnya merupakan seorang guru bahasa dan sastra Jawa serta aktif di kelompok teater amatir, sedangkan ibunya adalah seorang penari tradisional. Lingkungan keluarga yang artistik ini secara tidak langsung membentuk karakter Rendra sebagai pribadi yang mencintai seni sejak kecil.

Minat Rendra terhadap dunia sastra mulai tumbuh saat ia masih duduk di bangku sekolah menengah. Kepiawannya dalam bersastra dibuktikan oleh salah satu naskah drama karyanya berjudul ”Orang-orang di Tikungan Jalan”, yang kemudian memenangkan hadiah pertama dalam lomba penulisan lakon Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta pada tahun 1954. Tidak hanya dalam bentuk naskah, Rendra juga aktif menulis cerita pendek dan puisi semasa sekolah.

Setelah lulus SMA, Rendra melanjutkan pendidikannya di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dengan mengambil jurusan Sastra Inggris. Semasa kuliah, ia semakin aktif dalam dunia kesenian dan mulai dikenal sebagai penulis muda yang memiliki bakat luar biasa dalam menulis puisi dan naskah drama.

Baca juga: Kafka on the Shore: Menyelami Realisme Ajaib Haruki Murakami

Kesempatan besar datang pada tahun 1964 ketika Rendra memperoleh beasiswa untuk belajar teater di American Academy of Dramatic Arts, New York. Di Amerika Serikat, ia memperdalam teknik-teknik teater modern dan mempelajari berbagai bentuk seni pertunjukan dari seluruh dunia. Pengalaman ini menjadi titik balik dalam perjalanan kesenimanannya karena sekembalinya ke Indonesia, Rendra membawa semangat baru untuk mengembangkan teater dan sastra yang lebih membumi, berani, dan menyuarakan kepentingan rakyat banyak.

Perjalanan Karya dan Gaya Seni yang Khas

Namanya semakin melambung tinggi pada akhir 1950-an, W.S. Rendra dikenal luas di Indonesia sebagai penyair dan dramawan hebat. Kumpulan puisinya, seperti Ballada Orang-Orang Tercinta dan Empat Kumpulan Sajak langsung mencuri perhatian publik sastra Indonesia. Ia dikenal memiliki gaya bahasa yang lugas, tetapi puitis, menyentuh rasa, dan menyampaikan pesan yang mendalam. Bukan perihal cinta saja, tidak sedikit puisi Rendra yang juga mengangkat tema kemanusiaan, penderitaan sosial, dan kritik terhadap struktur kekuasaan yang menindas rakyat.

Sudah menjadi ciri khas Rendra membacakan puisi dengan penuh ekspresi, teatrikal, dan mampu menghidupkan kata-kata dengan tubuh dan suara sehingga begitu membekas di hati para penikmat sastra. Berkat gaya panggungnya yang mencolok dan enerjik, ia mendapat julukan “Burung Merak” oleh rekan-rekan seniman dan para pengagumnya.

Bukan sekadar celetuk kata, julukan ”Burung Merak” pada W.S. Rendra sarat akan makna, kehadirannya di atas panggung selalu berhasil memikat perhatian penonton dan menjadikan puisi sebagai pertunjukan yang menggugah kesadaran, sama halnya dengan burung merak jantan yang pandai menarik perhatian dengan memamerkan keindahan bulunya. Itulah alasan yang menjadikan Rendra bak burung merak jantan yang memikat.

Baca juga: Tips Menulis Cerita Ala Haruki Murakami

Selain menulis puisi, Rendra juga aktif sebagai sutradara teater dan penulis naskah drama sosial-politik. Beberapa karyanya yang terkenal, seperti Sekda, Kisah Perjuangan Suku Naga, dan Panembahan Reso mengangkat persoalan ketimpangan sosial dan kebobrokan birokrasi. Melalui “Bengkel Teater” yang ia dirikan pada tahun 1967, Rendra membina generasi muda seniman dan menjadikan teater sebagai ruang pembelajaran serta perlawanan terhadap ketidakadilan. Karya-karyanya kerap dicekal dan dipersoalkan penguasa karena keberanian menyuarakan kritik secara terbuka, tetapi Rendra tak gentar dengan itu, suaranya semakin lantang menggaungkan kebenaran.

Warisan Pemikiran dan Pengaruh terhadap Generasi Bangsa

W.S. Rendra bukan hanya meninggalkan jejak sebagai sastrawan produktif, tetapi juga sebagai tokoh budaya yang berani dan penuh integritas. Ia menjadikan seni sebagai alat perjuangan, bukan sekadar hiburan atau estetika semata. Dalam setiap puisi dan pertunjukannya, Rendra menyampaikan suara rakyat kecil, memperjuangkan keadilan, dan membangkitkan kesadaran sosial melalui kata-kata yang menggetarkan jiwa. Seni baginya adalah media pembebasan pikiran dan nurani dari belenggu kekuasaan yang membungkam.

Pengaruh Rendra terhadap dunia sastra dan seni pertunjukan Indonesia sangat besar. Ia menjadi inspirasi bagi banyak penulis, penyair, sutradara teater, dan aktivis budaya. Gaya puitisnya yang lantang, tetapi estetis tetap dipelajari hingga kini, baik di kalangan akademisi maupun komunitas sastra. ”Bengkel Teater” yang ia dirikan tidak hanya menjadi pusat pelatihan, tetapi juga simbol perlawanan budaya yang memperjuangkan kebebasan berekspresi dan keberpihakan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

W.S. Rendra wafat pada 6 Agustus 2009 di Depok, Jawa Barat. Kepergiannya merupakan kehilangan besar bagi dunia seni dan kebudayaan Indonesia. Meskipun ”Sang Merak” telah pupus, tetapi sayapnya tak pula patah. Warisan karya-karya dan pemikirannya tetap hidup dan menjadi pelita bagi generasi baru. Melalui sajak dan teater, Rendra telah membuktikan bahwa kekuatan kata-kata mampu menembus batas-batas kekuasaan dan menjadi alat perlawanan yang abadi dalam sejarah bangsa.

Penulis: Hysma Fathira Heryanto

Editor: Nabilla Putri Nurafifah

Baca juga: Cimenyan yang Ramah, CIMOCA Berkarya: Awal Gerak Menuju Desa Wisata Berdaya