Minggu malam (13/7), seperti biasa saya tidak bisa tidur awal. Ada saja hal yang saya lakukan, seperti menonton berita bola, melihat story dan feeds Instagram, dan lain-lain yang sepertinya kawan-kawan juga lakukan. Aktivitas itu terulang-ulang seharian, sehingga membuat kepala saya butek. Alhasil saya berpikir kalau saya perlu hiburan.
Malam itu, saya ingat-ingat apa yang bisa me-refresh kepala saya yang butek dan sumpek ini. “Ah..!”, dalam hati. Akhirnya saya putuskan untuk membuka situs download film (bukan situs film biru) dan mencari beberapa film. Terakhir kali saya menonton film, setidaknya sedikit mengikis kebutekan dan kesumpekan di dalam kepala, terutama film-film Hollywood yang ceritanya beragam, dan unsur aksi sepertinya wajib bagi saya.
Saya mengunduh dua film di situs layarkaca21. Film pertama berjudul Rush yang dirilis tahun 2013. Film kedua berjudul In the Hearth of the Sea yang dirilis tahun 2015. Kedua film ini sama-sama memiliki genre biografi.
Sebelum masuk kuliah, saya sudah pernah mendengar tentang film Rush ini. Saya tidak tahu kapan tepatnya, mungkin waktu saya kelas 3 SMP atau kelas 1 SMK. Film Rush ini bercerita tentang pembalap F1 terkenal bernama James Hunt dan Niki Lauda pada tahun 70-an. Entah kenapa saya memiliki ketertarikan terhadap film-film yang bercorak olahraga. Mungkin sedikit banyak dipengaruhi saya yang senang berolahraga dan nonton macam-macam acara olahraga. Saya sudah berniat dari lama untuk menonton film ini, tetapi belum kesampaian. Untunglah, dengan bantuan teknologi, sekarang kita bisa mengunduh film kapan saja.
Baca juga: Semesta, Bumi, dan Pembunuh Kecil
Tidak rugi, keputusan saya bisa dibilang tepat. Film ini setidaknya dapat menghibur dan menemani saya. Berkaca dari film ini, saya jadi merasakan kembali perselisihan, persaingan, dan pertemanan yang sempat tercorat-coret dalam hidup saya. Niki Lauda berkata pada James Hunt di akhir film, “suatu hari, dokter datang dan berkata: Tn. Lauda boleh kuberi nasehat? Berhenti berpikir bahwa punya musuh dalam hidup adalah kutukan, itu juga bisa jadi berkat. Orang bijak banyak mendapat manfaat dari musuhnya daripada temannya yang bodoh.” Niki Lauda dan James Hunt adalah saingan abadi di ajang balap F1, bahkan ketika mereka baru memulai karir balap di F3. Pertemuan awal mereka sudah dibumbui percekcokan, dari sana mereka memulai persaingan untuk saling membuktikan siapa yang terbaik.
Lalu film kedua, In the Heart of the Sea, saya mengunduhnya meski waktu sudah menunjukan sekitar pukul 3 pagi, karena masih belum bisa tidur. Seperti Rush, film ini juga termasuk ke dalam film bergenre biografi. Film yang menceritakan tentang para pelaut pemburu ikan paus. Pemeran utama di dalam film ini adalah Chrish Hemsworth yang berperan sebagai Owen Chase, aktor yang sama yang memerankan James Hunt di Film Rush. Sudah jelas saya terpengaruh oleh film pertama dalam memilih film kedua ini. Selain karena aktor yang memerankan, film dengan genre biografi memengaruhi saya untuk mengetahui biografi dari orang-orang lainnya yang difilmkan.
Entah takdir atau apa, saya merasa beruntung. Film ini tidak hanya menceritakan tentang para pelaut pemburu ikan paus, tetapi juga menceritakan tentang bagaimana kisah nyata dapat menginpirasi lahirnya sebuah karya yang melegenda dan terkenal, yaitu Moby Dick, novel karangan Herman Melville. Sedikit banyak saya jadi tahu bagaimana perjuangan dan kekhawatiran seorang penulis novel dalam membuat karyanya.
Film yang berdasarkan kisah nyata ini mengingatkan saya pada sebuah karya yang juga melegenda, yaitu Odysseus. Ada kesamaan plot dalam Odysseus dan In the Heart of the Sea, dimana keduanya terdampar. Odysseus dikutuk terdampar dalam perjalanan pulang oleh para dewa dan pasukan Yunani yang murka kepadanya karena membunuh pendeta dan membakar kuil-kuil saat menaklukkan Troya. Sedangkan, di film In the Heart of the Sea para pelaut pemburu ikan paus dikutuk terdampar selama sembilan puluh hari di lautan karena memburu ikan paus dan sedikit ketamakan.
Menonton film-film yang berlatar laut seperti In the Heart of the Sea, Pirates of the Carribean, atau juga One Piece, terkadang membuat saya merasa ingin jadi pelaut. Berlayar mengarungi lautan, mendaki ombak-ombak, melompati badai, hingga bisa saja dikutuk untuk terdampar. Sama halnya dengan itu, saya anggap hidup ini demikian, yaitu seperti pelayaran, perburuan, lalu ada kemungkinan untuk terdampar. Bagaimanapun, bisa saja dalam hidup kita sempat tidak tahu harus menuju ke mana atau terjebak dalam situasi seperti apa. Pada akhirnya, para pemburu paus itu ada yang berhasil selamat ketika tiga bulan terdampar di lautan.
Dini hari pun tiba, cahaya fajar yang kebiruan mulai menyelinap ke dalam ruangan. Kembali saya menjadi orang yang tidak bisa tidur awal-awal seperti karakter James Hunt, kebalikan dari karakter Niki Lauda yang disiplin dan tidur lebih awal.
Baca juga: Resensi Buku Morfologi Bahasa Indonesia Abdul Chaer
Penulis: Toni Tazkia Perdana