Soft Diplomacy dan Sumpah Pemuda di Era Modern

Pada (28/10), Rumah BIPA berkolaborasi dengan Frasa Media dan Pintu Bahasa menyelenggarakan sesi diskusi bertema “Tukar Tambah: Membangun Martabat Bahasa Indonesia dari Masa ke Masa” dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda. Mereka mengundang para pembicara ahli bahasa dan pengajar BIPA seperti Aef Saefullah, Anggi Auliyani, Roby Aji, Ari Nursenja, dan Chintia Devi. Diskusi ini bersifat terbuka dan dihadiri oleh beberapa anggota Ikatan Duta Bahasa Jawa Barat, para guru SMA/SMK, juga para pelajar asing. 

Menariknya, sesi diskusi kali ini sangat berbeda dengan diskusi yang sering kita temui pada umumnya. ‘Tukar tambah’ menjadi hastag yang mendasari bahwa dalam diskusi ini siapa pun bisa mengungkapkan pendapat atau menambahkan penjelasan pembicara. Topik diskusi yang menarik dan terkesan gamblang pun menjadi salah satu nilaitambah. Diksusi tersebut membahas mengenai sejarah upaya manusia berbahasa dalam mencipta dan mereka-reka keindahan bahasa juga karya sastra yang amat luar biasa. 

Sambutan disampaikan oleh Dr. Nuny Sulistiany Idris, M. Pd., Ketua BIPA se-Jawa Barat. Dalam sambutannya beliau menyampaikan

“Generasi muda ini menjadi pionir supaya bahasa Indonesia tetap lestari. Kita harus selalu ingat ada 3 slogan yang selalu kita dengung-dengungkan. Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.”

Setelah sambutan singkat tersebut, acara mulai memasuki topik-topik luar biasa yang disampaikan oleh para pembicara. Topik yang dibahas pun bukan topik kaleng-kaleng yang membosankan. Pembahasan ini membuka cakrawala wawasan kita guna memaknai Kongres Sumpah Pemuda. Penasaran? Yuk, intip hasil review diskusi tersebut!

Alisjahbana dan Sejarah Keajaiban Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah sebuah mahakarya yang berasal dari kesadaran kolektif bangsa pasca masa kolonial. Tidak seperti India yang tidak memiliki bahasa nasional, bangsa Indonesia memilikinya. Keragaman suku dan bahasa daerah di Indonesia membantu meningkatkan penggunaan bahasa nasional hingga mendapat pengakuan internasional.

Roby Aji, seorang guru dan perencana bahasa, mengatakan bahwa, “Mengutip dari Alissa Evanda, kalau kita belajar linguistik, maka kita bicara bahasa Indonesia. Hal ini adalah satu fenomena linguistik terbesar yang terjadi di masa itu.” Bahasa Indonesia adalah fenomena linguistik signifikan yang terjadi pada masa penjajahan Jepang, ketika semua penggunaan bahasa didasarkan pada bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Hal ini menyebabkan dibentuknya Komisi Bahasa Indonesia dan Kongres Indonesia yang mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. 

Sutan Takdir Alisjahbana, seorang pribumi asli Indonesia, berkontribusi dalam pengembangan bahasa Indonesia modern. Beliau adalah salah satu dari 20 tokoh yang berpengaruh dalam bahasa manusia. Para tokoh ini diabadikan dalam buku ‘Guardian of Language’ karya linguis asal Jerman, Robert A. Kaster.

Baca juga: Pulang: Tentang Kalangan yang Merangkak

Martabat Bahasa Indonesia di Ruang Publik

Memahami Sumpah Pemuda kali ini seharusnya kita dapat berkaca lewat pantulan cermin dan bertanya: “Siapa saya?” pertanyaan ini mungkin akan menimbulkan banyak jawaban dengan berbagai penafsiran yang berbeda. Namun dalam konteks memaknai Sumpah Pemuda tahun ini, kita perlu merefleksikan diri sebagai keturunan bangsa Indonesia dan penutur bahasa Indonesia.

Dalam pemaparannya, Aef Saefullah, seorang widyabasa pertama di Balai Bahasa Jabar, mengajak para hadirin untuk lebih terhubung dengan bahasa Indonesia.  Di Indonesia terjadi fenomena xenoglosofilia. Saat ini, orang-orang Indonesia gemar melakukan alih kode maupun campur kode antara bahasa Indonesi dan bahasa Inggris di ruang publik. Padahal bahasa Indonesia merupakan identitas bangsa. Kita dapat melihat negara lain, misalnya Jepang yang menjunjung bahasanya sendiri. Kewajiban penggunaan bahasa Indonesia juga telah ditetapkan pada UU No. 24 tahun 2009 tentang penggunaan bahasa.

Beberapa tahun silam, penggunaan bahasa Indonesia masih banyak terjadi di ruang publik, akan tetapi belakangan lebih banyak penggunaan bahasa asing atau pencampuran  bahasa Indonesia dan bahasa asing di ruang publik. Oleh karena itu, Aef Saefullah ingin mendorong masyarakat Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama di ruang publik.

Pemuda dan Martabat Bahasa Indonesia

Sebagai pemuda, sudah seyogyanya kita bangga terhadap bahasa Indonesia di tengah arus globalisasi. Arus globalisasi berdampak pada cara kita berbahasa. Informasi-informasi baru dan berbahasa asing masuk ke pikiran kita sehingga tidak mengherankan sesekali pasti terjadi alih kode ketika berkomunikasi. Contoh konkritnya saat ini mengenal istilah bahasa Jaksel sebagai bentuk fenomena xenoglosofilia.

Sebetulnya fenomena ini bisa diminimalisir dengan kesadaran akan slogan yang disampaikan Dr. Nuny tadi di awal, melestarikan bahasa daerah, mengutamakan bahasa Indonesia, dan menguasai bahasa asing. Sebagai pemuda sudah seharusnya kita bangga berbahasa Indonesia serta menjaga eksistensi dan martabat bahasa Indonesia.

Anggi Auliyani, Direktur Rumah BIPA, mengatakan bahwa “Sumpah Pemuda semoga jadi pengingat Indonesia harus bermartabat. Bahasanya hebat, bahasanya kuat.” Hal tersebut tercermin ketika Anggi Auliyani bercerita mengenai penyelenggaraan gelar wicara kebahasaan yang membuat gerakan cinta bahasa Indonesia di kedai kopi supaya anak-anak senja semakin cinta terhadap bahasa Indonesia. Sebab anak muda adalah harapan bangsa untuk dapat terealisasikannya martabat bangsa Indonesia sebagai cerminan dari Sumpah Pemuda di era modern.

Baca juga: Diskusi Selasaan UKSK x AEDF FPBS: Seluas Apa Kebebasan Berekspresi Mahasiswa?

Bahasa Indonesia, Aset Diplomasi Budaya

Bahasa Indonesia menjadi rumah bagi ratusan suku berbeda yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia menjadi bahasa persatuan, sebuah medium yang memungkinkan komunikasi lintas suku dan adat istiadat. 

Kacamata internasional memandang bahasa Indonesia sebagai cerminan identitas bangsa yang tidak hanya merepresentasikan sebuah bangsa, akan tetapi menjadi bagian dari diplomasi budaya. Dari pemaparan Ari Nursenja, seorang pengajar BIPA di Amerika mengatakan bahwa “Di Australia sendiri para pembelajarnya banyak yang tertarik untuk mempelajari bahasa Indonesia. Ada sekitar 9335 pembelajar bahasa Indonesia dari tahun 2015-2023.” Lewat program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) kita bisa memperkenalkan budaya Indonesia ke kancah internasional.

Program BIPA menjadi aset diplomasi segar untuk memperkenalkan budaya dan cerminan bangsa Indonesia sendiri lewat jalur soft diplomacy. Bukan hanya BIPA, lewat Festival Ubud, para penulis dan pembaca karya sastra juga bisa ikut mempromosikan karyanya agar dikenal oleh masyarakat internasional. Bukan hanya itu, lewat berbagai karya seni musik tradisional sudah jelas bahwa memperkenalkan Indonesia lewat soft diplomacy merupakan inovasi terwujudnya Sumpah Pemuda di era modern.

Siswa dan Bahasa Indonesia

Chintia Devi, seorang pengajar bahasa Indonesia, dengan senangnya membagikan ilmu dan informasi mengenai pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Menurutnya, belajar bahasa Indonesia berarti mempelajari akhlak bangsa Indonesia sendiri. Sebab bahasa merupakan cerminan bangsa. 

Pembelajaran bahasa Indonesia akan semakin diminati siswa jika proses pembelajaran dilakukan dengan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan. Kaulinan barudak, kegiatan membaca, atau musikalisasi puisi dapat menjadi media pembelajaran alternatif. Kegiatan-kegiatan tersebut juga dapat meningkatkan keterlibatan siswa selama proses pembelajaran.

Lewat review diskusi ini semoga kita semua, sebagai anak muda dengan ide-ide segar dan inovasi barunya, bisa tetap memberi kontribusi terhadap realisasi Sumpah Pemuda di era modern dengan upaya mencipta, berkarya, soft diplomacy lewat program BIPA, dan tetap mengutamakan bahasa Indonesia sebagai refleksi ciri khas dan martabat bangsa yang cerdas.

Baca juga: Puisi dengan Teknologi: Proses Kreatif Membuat Puisi Menggunakan AI

Penulis: Icha Nur Octavianissa
Editor: Alma Fadila Rahmah