Indonesia sedang berduka. Pada akhir November 2025, banjir bandang menerjang sebagian wilayah Sumatra yang meliputi: Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Daerah Istimewa Aceh. Banjir bandang ini bukan hanya membawa air, melainkan diikuti oleh ribuan kayu gelondongan yang merusak infrastruktur dan menyapu pemukiman warga terdampak. Per 13 Desember, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan sebanyak 654.642 jiwa yang mengungsi dari rumah mereka.
Namun, kondisi memprihatinkan justru terjadi di banyak titik pengungsian. Banyaknya pengungsi tidak sebanding dengan ketersediaan air bersih, pakaian layak, dan makanan yang cukup bagi mereka. Meskipun donasi terus berjalan, namun kondisi lapangan yang tidak memungkinkan membuat penyaluran terhambat. Dengan putusnya akses jalan, hancurnya jembatan, hingga robohnya infrastruktur pendukung membuat warga masih terisolasi dengan sedikit bantuan.
Bencana ini tidak hanya membawa kerusakan infrastruktur dan fisik bagi masyarakat terdampak, tetapi juga membawa duka yang mendalam. Banyak anak yang kehilangan orang tuanya, pasangan yang saling terpisah, dan keluarga yang tidak lagi dapat berkumpul. Hingga 13 Desember 2025, BNPB melaporkan sebanyak 1006 orang meninggal dunia dan sedikitnya 217 orang masih hilang dalam bencana yang menimpa Sumatra. Angka-angka di atas tidak bisa hanya dianggap sebuah statistik. Ia merupakan penanda ketidakhadiran pemerintah dalam menjaga alam Sumatra dan lemahnya negara dalam mitigasi bencana.
Baca juga: Soeharto Pahlawan Nasional: Keironian dalam Cermin Semiotika
Bagaimana #WargaBantuWarga Tangani Bencana
Tagar #PrayForSumatra, #SumatraBerduka, serta #SumatraPrioritasNasional menggema di jagat media sosial X. Tagar ini bermunculan sebagai dukungan moral maupun kritik terhadap pemerintah yang dinilai lamban dalam menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional. Namun, terdapat satu tagar yang menarik perhatian warganet X, yaitu tagar #WargaBantuWarga. Ini bukan kali pertama tagar #WargaBantuWarga menyeruak di permukaan. Sebelumnya, tagar ini digunakan sebagai sarana informasi dalam pengendalian Covid-19 pada 2021 lalu. Tidak ditemukan secara pasti kapan, di mana, dan siapa yang memproduksi tagar ini untuk pertama kali. Namun yang jelas, tagar #WargaBantuWarga merupakan kesadaran kolektif dan organik untuk saling membantu masyarakat lain.
Dalam konteks bencana yang menimpa Sumatra, tagar #WargaBantuWarga kembali digaungkan sebagai bentuk dukungan secara moral maupun material bagi korban terdampak. Kehadiran kembali tagar #WargaBantuWarga menjadi bukti konkret kepedulian tinggi yang ditunjukkan oleh masyarakat Indonesia. Tagar ini digunakan untuk mengkoordinir bantuan lintas daerah, mempertemukan pemberi donatur dengan relawan di lapangan, hingga sebagai sarana penyebaran informasi secara cepat dan aktual. Penyebaran dan penggunaan tagar #WargaBantuWarga tidak memiliki struktur resmi. Ini murni hanya kesadaran membantu, empati, dan rasa senasib yang dimiliki oleh setiap masyarakat kepada masyarakat lainnya yang terdampak bencana.
Baca juga: Membaca Makna di Balik Bantuan dari Udara
Semiotika Barthes dalam #WargaBantuWarga
Dalam pisau Semiotika Roland Barthes, tanda tidak hanya berhenti pada tahap pertama, yaitu denotasi dan konotasi, tetapi dapat berkembang menjadi mitos. Mitos merupakan tahapan kedua dari proses pemaknaan Semiotika Barthes. Berguna dalam menciptakan sistem ideologi yang alamiah dan berpotensi untuk menyamarkan sesuatu. Menurut Barthes dalam Mythologies (1957), mitos berfungsi sebagai sebuah pencucian ideologi dan jenis wacana yang lebih ditentukan oleh niatnya daripada makna harfiahnya. Mitos juga memiliki karakter untuk membuat “dirinya tampak netral dan tidak bersalah”. Seperti dalam penggunaan tagar #WargaBantuWarga yang menunjukkan proses praktik sosial dikontruksi menjadi makna yang alamiah dan diterima oleh publik.
Dalam tahap denotatif, tagar #WargaBantuWarga diproduksi sebagai langkah konkret masyarakat terhadap kondisi yang terjadi di Sumatra. Tagar ini digunakan sebagai sarana penyebaran informasi, galang dana, distribusi bantuan, hingga mempertemukan donatur dengan relawan di garda terdepan wilayah bencana. Pada tahap ini, tagar tersebut berfungsi sebagai alat komunikasi dan koordinasi berbasis media digital.
Sementara itu, dalam tahap konotatif, tagar #WargaBantuWarga memproduksi makna solidaritas, empati, dan semangat gotong royong antarmasyarakat. Selain itu, donasi-donasi yang diberikan merupakan tindakan moral dan material yang patut diteladani. Pada tahap ini, solidaritas bukan lagi semata rasa persaudaraan dan kebersamaan, melainkan sebagai bentuk citra ideal terkait respons menghadapi situasi krisis.
Selanjutnya sebagai mitos, tagar #WargaBantuWarga merupakan perwujudan naturalisasi kondisi krisis sebagai sesuatu yang dapat ditangani oleh masyarakat. Mitos dalam Semiotika Barthes berarti mengubah praktik sosial menjadi makna yang tampak alamiah di mata publik. Mitos mengosongkan peran pemerintah dan menggantinya dengan peran publik melalui narasi kemanusiaan yang emosional. Dalam tagar ini, negara direduksi dari aktor utama menjadi aktor pendukung yang nyaris tidak dipermasalahkan.
Solidaritas yang ditunjukkan warga tampil sebagai sebuah solusi utama. Sementara itu, kegagalan negara dalam mitigasi, pengelolaan lingkungan, dan perlindungan warga diredam dalam balutan bantuan kolektif. Mitos ini membuat absennya negara tampak normal dan wajar, karena warga sudah bergerak.
Ahli: Solidaritas Warga Lebih Efisien daripada Negara
Fenomena ramainya tagar #WargaBantuWarga mendapat beragam respon dari berbagai lapisan masyarakat. Dalam hal ini, tak terkecuali dosen Kajian Semiotika di Universitas Pendidikan Indonesia, Kholid Abdullah Harras. Menurutnya, fenomena ini merupakan sebuah manifestasi positif dari potensi media sosial sebagai katalisator aksi kolektif. Fenomena ini terjadi ketika negara gagal memenuhi ekspektasi responsivitas. Selain itu, menurutnya tagar ini dapat dimaknai sebagai metafora gotong royong, yang telah menjadi wadah penggalangan dana, distribusi bantuan, dan amplifikasi narasi solidaritas.
“Tagar #WargaBantuWarga berperan sebagai amplifier solidaritas dalam momen-momen krisis, berfungsi sebagai alat framing, dan mobilisasi sumber daya melalui mekanisme viralitas dan jaringan sosial. Peran tagar #WargaBantuWarga pada kondisi pra-bencana bisa dimaknai sebagai sebuah kampanye kesadaran lingkungan. Sementara, pada momen pasca-bencana, tagar ini dimaknai sebagai koordinator logistik dan fasilitator seperti yang terjadi di Aceh Tengah pada awal Desember 2025,” tegasnya ketika dihubungi via daring (13/12/2025).
Tagar ini berperan efektif di antara institusi formal dan individu yang diemban oleh masyarakat. Ini pula menunjukkan bagaimana rendahnya kepercayaan masyarakat kepada institusi sehingga mereka beralih ke platform digital untuk menciptakan ruang publik yang lebih sesuai dengan kesepakatan sosial, bukan paksaan struktural.
Selain itu, menurutnya tagar #WargaBantuWarga merupakan mitos baru dalam pengertian Barthesian (pendekatan Semiotika Roland Barthes). Tagar ini membangun narasi otonomi sipil sebagai penyelamat utama dan mereduksi negara menjadi aktor sekunder dan masyarakat sebagai aktor primer.
“Tagar #WargaBantuWarga merupakan mitos baru dalam pengertian Barthesian. Mitos yang dibangun di dalam tagar ini adalah otonomi sipil sebagai penyelamat utama. Menggambarkan warga sebagai aktor primer, sementara negara direduksi menjadi aktor sekunder bahkan penghalang. Mitos ini dianggap baru karena memanfaatkan keterjangkauan media sosial dalam skala global, berbeda dengan gotong royong tradisional yang terbatas secara spasial,” ujarnya.
Bentuk Ideologi #WargaBantuWarga
Tidak hanya sampai ke tahap mitos saja, tagar ini pun bisa dikaji sampai tahap ketiga dalam Semiotika Barthes. Nah, tahap ketiga pemaknaan dalam Semiotika Barthes ialah ideologi. Ideologi merupakan tahapan paling dalam yang tersembunyi di balik tanda. Ini mencakup nilai keyakinan dan sistem kepercayaan. Dalam konteks #WargaBantuWarga, tagar ini merepresentasikan solidaritas masyarakat yang muncul sebagai bentuk modal sosial pasca-kegagalan institusional. Solidaritas organik ini terbentuk melalui diferensiasi peran dari influencer yang menggalang dana, komunitas yang mendistribusikan bantuan, dan warga biasa yang menyalurkan informasi.
Lebih lanjut, tagar ini secara tidak sadar berpotensi membentuk ideologi pasca-negara, ketika ketergantungan terhadap pemerintah digantikan oleh jaringan horizontal antarmasyarakat. Secara sadar, ideologi ini berbentuk kritik eksplisit terhadap lambannya birokrasi dan kurangnya peran pemerintah dalam melindungi lingkungan Sumatra. Selain itu, tagar #WargaBantuWarga menormalkan narasi bahwa solidaritas yang dibentuk warga lebih efisien daripada intervensi negara.
Penulis: Dicky Satria Pratama
Editor: Muhammad Hilmy Harizaputra




