Pendahuluan
Dalam kurun beberapa waktu ke belakang, saya mulai gerah dan merasa perlu menulis kembali. Pertama, karena Alem, teman satu nusa satu bangsa, menulis dinamika kampus dengan ciamik melalui tulisan “Polemik Gerakan Sabun Mandi”. Dalam tulisannya, Alem membahas salah satu masalah Gerakan Mahasiswa UPI “onani” adalah riset dan kajian yang buruk. Saya sepakat dengan argumen tersebut. Kedua, karena Daffa, kawan sesekre, juga ikut-ikutan menulis mengenai Gerakan Mahasiswa UPI. Dalam “Kiat dalam Melakukan Pergerakan Massa”, suporter The Jack Mania tersebut menulis mengenai politik individu maupun organisasi yang memanfaatkan Gerakan Mahasiswa sebagai ajang pencarian eksistensi. Saya pun sepakat dengan argumen tersebut. Hanya saja, apakah hanya kedua hal tersebut yang menjadi masalah Gerakan Mahasiswa UPI?
Setidaknya, sudah tiga tahun saya berkuliah di UPI. Mengikuti dinamika arus pergerakan di kampus pendidikan ini. Sesekali, saya pun mengikuti pergerakan di luar kampus (buruh, petani, dsb). Dan, jika membandingkan pergerakan di dalam dan luar kampus, saya menemukan beberapa kejanggalan. Kejanggalan-kejanggalan tersebut akan saya sampaikan di tulisan saya ini.
Sebelum lebih jauh, saya akan berkhayal sejenak. Saya membayangkan kalau saya adalah seorang rektor yang sedang berkumpul bersama rektor-rektor lain. Obrolan tersebut sama seperti obrolan pada umumnya, membahas ngalor-ngidul, ini-itu. Salah satu yang menjadi bahasan adalah bagaimana pergerakan mahasiswa di kampus masing-masing.
“Bro, gimana pergerakan mahasiswa di UPI? Kalo di kampus gue (UI) sih mahasiswa-mahasiswanya udah pinter. Mereka ngekaji UKT pakai rumus BKT dan SUC.”
“Wah, sama nih. Di kampusku (Undip) juga. Mereka udah pinter-pinter. Mereka bikin kajian komperhensif soal UKT. Mahasiswa sekarang emang pinter-pinter yah?”
“Wah keren tuh, kalo di UPI gimana bro?”
“Hmm aduh…”
Saya memikirkan apa yang membuat saya sampai berkata “Hmm aduh…”. Setidaknya ada 9 klausa yang membuat saya malu (sebagai rektor) ketika berkumpul dengan rektor-rektor lain. Nomor 7 yang paling membuat saya malu.
1. Prinsip
Biasanya, dalam pergerakan mahasiswa di kampus, dibuat sebuah aliansi untuk mewadahi individu atau organisasi. Organisasi yang saya maksud di sini bisa bermacam-macam: Himpunan, Ormawa Fakultas, UKM, BEM Rema, Organ Ekstra, atau lain sebagainya. Hanya saja yang selalu dilupakan adalah prinsip di dalam aliansi tersebut.
Saya beri contoh, misalnya, salah satu prinsipnya adalah keterbukaan dalam hal apapun. Entah itu sebuah kabar burung atau kabar valid. Ketika komunikasi dibangun atas dasar keterbukaan, maka tidak akan ada yang namanya kesalahpahaman atau cakcak bodas dalam sebuah aliansi. Namun ini sering lupa untuk dipahamkan. Atau misalnya, prinsip lain adalah manajemen aksi yang terstruktur. Baik secara kajian dan propaganda. “Kita tidak akan aksi massa sampai kajiannya komperhensif dan memiliki massa tercerdaskan yang cukup banyak”, misalnya. Ketika prinsip-prinsip tersebut sudah ditentukan, baru kita memasukkan individu atau organisasi yang juga sejalan dengan prinsip tersebut. Masa iya sih, kita memasukkan individu atau organisasi yang memiliki tujuan menjatuhkan kawannya atas dasar sentimen pribadi?
2. Bingung Menentukan Tujuan
“Yang mana yah, verifikasi UKT atau pengurangan UKT?”
Hal seperti demikian yang sering dibingungkan oleh Gerakan Mahasiswa UPI. Kita tidak tahu apa target yang sebetulnya ingin kita raih. Ini bisa menjadi banyak sebab musababnya. Bisa jadi kurang membaca, tidak tau apa yang diinginkan oleh rakyat UPI, atau bahkan memang karena bergerak hanya sebagai massa tersulut.
Saya selalu dipahamkan, bahwa tuntutan mesti hadir dari rakyat. Kita tidak boleh sok tahu dan bersikap elitis (sosoan mengetahui apa yang terjadi pada rakyat tanpa turun ke rakyat). Perlu kita bedah, mana tujuan taktis (jangka pendek) mana tujuan trategis (jangka panjang), mana tujuan utama mana tujuan turunan, dan mana tujuan akhir mana tujuan antara (dinding yang perlu kita lewati untuk mencapai tujuan akhir).
Perlu juga kita melihat kondisi kampus. Ketika kita menuntut verifikasi UKT, apakah kampus memiliki maksud yang sama dengan mahasiswa mengenai verifikasi UKT? Jangan-jangan selama ini, ketika kita menuntut verifikasi UKT, kampus menganggap sudah memberikannya melalui mekanisme penangguhan. Karena ya nggak salah juga sih, dalam penangguhan pun ada proses verifikasi dulu. Jadi kita mesti cermat dalam menentukan tujuan dalam sebuah Gerakan Mahasiswa, jangan asal pilih gerakan!
3. Politik Pribadi
Mari kita mudahkan saja, kita definiskan politik di sini adalah kepentingan. Jika kita membaca tulisannya Suporter The Jack Mania yang saya singgung di muka, bisa jadi salah satu kepentingannya adalah eksistensi. Jangan terlalu husnuzan, saya yakin, setiap pribadi memiliki motif dan kepentingan masing-masing dalam bergerak. Hanya saja, apakah politik tersebut meracuni Gerakan Mahasiswa atau tidak?
Sebetulnya, bagi saya, yang berbahaya dari politik pribadi ini adalah penghianatan kepada pergerakan yang telah dibuat oleh mahasiswa. Ketika semua berjuang bersama dengan satu visi dan prinsip, beberapa pihak malah memanfaatkan massa untuk kepentingan pribadi. Uang, misalnya. Apakah kita mesti menjual Gerakan yang sudah kita bangun kepada para pemodal?
Baca juga: PEMBAYARAN UKT KAMPUS UPI DIMULAI HARI INI!
4. Tidak Berkembangnya Riset dan Kajian
“Jika sebuah gerakan adalah pistol, maka riset adalah peluru.”
Apa yang diharapkan sebuah Gerakan Mahasiswa tanpa adanya riset dan kajian? Apakah kita berjalan layaknya orang buta? Menggedor-gedor pintu rektorat hanya dengan semangat membara namun argumen yang kosong? Jangan berharap lebih kepada Gerakan Mahasiswa yang tidak memiliki hasil riset dan kajian yang komperhensif.
Sejak awal saya berkecimpung di Gerakan Mahasiswa UPI, saya selalu disodorkan bahwa apa yang dijadikan kebijakan oleh UPI selalu bertentangan dengan regulasi di atasnya. Pertanyaannya, regulasi yang mana? Sampai kapan kita melulu membahas regulasi? Apakah ketika lawan kita membentengi tubuh mereka dengan rompi anti peluru kita masih menembaknya dengan pistol air?
Dalam tulisannya, Alem membuat gambaran sebuah kajian komperhensif. Seberapa jauh kita mendalami isu yang akan kita angkat? Jika kita membahas UKT, apakah kita juga mengetahui istilah-istilah seperti BKT, BOPTN, BPPTNBH, SUC, dan lain sebagainya? Apakah kita mengetahui apakah kampus mengalami surplus atau defisit setiap tahunnya? Apakah kita tahu darimana dana tersesar yang didapatkan oleh kampus? Apakah kita tahu berapa persentase biaya pendidikan kita dalam melakukan kegiatan operasional? Intinya, tanpa riset dan kajian yang komperhensif, sia-sia saja kita panas-panasan di atas aspal, di bawah terik matahari.
(Sedikit intermezzo, kalo saja saya mengikuti audiensi yang dilakukan oleh aliansi kemarin. Saya tidak akan banyak menuntut untuk memberlakukan segera Permendikbud No. 25 Tahun 2020. Sebab, sebetulnya, regulasi tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan situasi hari ini, khususnya Covid-19. Itu hanya regulasi yang biasa. Ini terlihat dari tidak adanya bagian dari regulasi tersebut yang menjelaskan soal wabah atau perubahan ekonomi masyarakat. Baik itu dibagian menimbang, mengingat, maupun pada bagian tubuh dalam regulasi tersebut.)
5. Timeline yang Buruk
Kita langsung ambil contoh saja. Kita tahu, UKT merupakan masalah, setidaknya sejak pertama kali ditetapkan. Tapi mengapa Gerakan Mahasiswa UPI tidak pernah ada peningkatan? Jawabannya adalah buruknya timeline.
UKT merupakan masalah bersama, tapi selalu dibahas hanya setiap awal pembayaran semester ganjil. Memang ketika berbicara momen, itu cocok dengan massa pembayaran dan masuknya adik-adik kita yang gemes-gemes. Tapi itu buruk. Setidaknya ada tahapan-tahapan yang mesti ditempuh sebelum kita turun ke jalan: melakukan riset dan kajian, menjaring massa, membangun ekskalasi gerakan, menjalin kerjasama dengan media, melakukan konsolidasi, dan banyak lainnya. Beberapa waktu ke belakang saya mendapat kabar untuk membantu proses riset dan kajian, dan tanggapan yang diberikan adalah saya dapat menyelesaikan riset dan kajian dalam satu hari. GILA AJA!
6. Agitasi dan Propaganda Tidak Masif
“Besok kita aksi saja, kita publikasi malam ini, nanti juga massa yang merasa kesulitan bakal ikut kok!”
Saya kembali mendengar anggapan tidak waras. Apakah kita hanya akan memanfaatkan mereka untuk turun ke jalan tanpa adanya usaha dalam pencerdasan massa. Saya yakin, jika demikian adanya, gerakan tersebut, cepat atau lambat, akan mati.
Tanpa pencerdasan, tidak akan ada regenerasi. Perlu diingat, apa yang kita perjuangkan hari ini tidak akan selalu berhasil. Saya memang pesimis, dan ketika pesimis saya mesti memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya pesimistis saya menjadi kenyataan. Dengan agitasi dan propaganda yang kuat, setidaknya, ada massa yang mulai melek dan mendalami isu tersebut. Dengan demikian, mereka bisa mencerdaskan temannya. Akhirnya, banyak orang yang terecerdaskan. Dan dengan massa yang tercerdaskan tersebut, ketika kita melakukan kembali aksi massa, tentu kita memiliki massa yang lebih banyak. Ini hanya contoh kecil dari pentingnya agitasi dan propaganda.
7. Tidak Berasal Dari Akar Rumput
Ini adalah alasan yang paling membuat saya malu apabila menjadi rektor. Mari sedikit kembali membahas nomor 2. Salah satu alasan sebuah tujuan abu-abu adalah tidak berdasar atas tuntutan akar rumput. Gerakan Mahasiswa UPI selalu dan terlalu elitis. Selalu men-judge orang-orang yang tidak ikut aksi massa adalah mahasiswa apatis, oportunis, dsb. Saya sanksi ketika ada yang men-judge demikian tanpa bisa melampirkan bukti.
Banyak diantara kita, selaku mahasiswa, memilih tidak ikut untuk aksi tersebut. Bisa jadi mahasiswa tersebut tidak memiliki prinsip yang tidak sejalan dengan aliansi tersebut. Bisa jadi mereka memilih bekerja, karena ketika mereka memilih untuk bergerak, mereka mesti tidak bekerja dan tidak mendapat uang, otomatis tidak bisa makan. Bisa jadi mereka jauh dari rumah, keluarga mereka lebih membutuhkan mereka. Bisa jadi, jika kita lihat poin sebelumnya, mereka adalah massa yang gagal kita cerdaskan. Masihkan kita menyalahkan orang lain?
Mari kita membuat pertanyaan retoris, apakah Gerakan Mahasiswa UPI bergerak atas dasar kepentingan akar rumput atau kepentingan elitis?
8. Konsisten
Gerakan Mahasiswa UPI tidak pernah konsisten. Pasti saja, setelah aksi ini selesai, baik itu hasilnya positif ataupun negatif, kita gagal merumuskan apa langkah selanjutnya. Kajian dan ekskalasi gerakan tidak diteruskan. Contoh ungkapannya mungkin begini, “gerakan kita gagal teman-teman, mari kita mencoba lagi tahun depan”.
Jangan menunggu tahun depan, terus lanjutkan perjuangan. Mari kita gunakan satu tahun tersebut untuk memperdalam kajian dan memperluas agitasi dan propaganda. Kita kaji UKT dari semua aspek: ekonomi, politik, regulasi, psikologi massa yang terdampak, atau sudut pandang lainnya. Dan tak lupa, tetap memberi pencerdasan terhadap mahasiswa lain.
Ketika konsistensi telah dibangun, gerakan selanjutnya tentu tak akan membuat rektor kita malu ketika berhadapan dengan rektor-rektor lain.
9. Lupa Siapa Kawan, Siapa Lawan
Ini bikin saya geram. Sentimen antar mahasiswa maupun sentimen antar ormawa pasti terjadi. Jadi siapa sih lawan kita, sesama mahasiswa atau rektorat? Sesama kaum tertindas atau kaum menindas? Sampai kapan kita akan terus melakukan konflik horizontal? Silahkan tanya kepada diri masing-masing!
Baca juga: Situasi Kampus dan Empat Pertanyaan yang Belum Terjawab
Penutup
Sekian dari saya, mohon maaf apabila ada kata-kata yang menyinggung perasaan pembaca. Tapi ini adalah apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan. Jika ada yang berbicara saya hanya mengkritik tanpa bergerak, betul, memang betul. Saya belum mampu melakukan sebuah pergerakan yang maksimal. Saya pun tak pernah memandang diri saya sendiri sebagai aktivis. Mari menjadikan semua hal yang dibahas tadi menjadi kritis dan otokritik.
Sedikit catatan saja, untuk Gerakan Mahasiswa UPI dan teman-teman lainnya yang sedang melawan, selamat berjuang. Jangan mempermalukan diri kita sendiri dan rektor dengan pergerakan yang kita buat. Jika gerakan hari ini sukses, saya ucapkan selamat atas jerih payah seluruh teman-teman. Namun, ketika gagal, selalu ingatlah perkataan Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer:
“Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Salam demokrasi!
Penulis: Tofan Aditya