Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus: Pemahaman yang Prematur

Oleh: Daffa Imam Naufal

Dunia pendidikan sedang diuji.

Namanya juga hidup, ada aja cobaannya. Cobaan dalam hidup enggak hanya menimpa perseorangan. Kelompok, instansi, sampai lembaga negara bisa merasakan apa yang namanya cobaan. Konon, cobaan itu sesuatu yang mesti kita cobain. Setelah beberapa waktu lalu kita lihat di berbagai media tentang cobaan-cobaan yang menimpa institusi penegak hukum, kali ini giliran institusi pendidikan yang nampaknya menang jackpot cobaan.

Terhitung sejak dua bulan yang lalu, jagat maya diramaikan oleh peristiwa pelecehan atau kekerasan seksual yang terjadi di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Setidaknya, ada empat kasus yang melibatkan perguruan tinggi di Indonesia: Universitas Riau, Universitas Sriwijaya, Universitas Brawijaya, dan Universitas Negeri Jakarta. Sebuah kenyataan yang menampar dunia pendidikan.

Sejalan dengan terkuaknya beberapa kasus di atas, Komnas Perempuan mencatat ada sekitar 4.500 aduan kasus kekerasan terhadap perempuan selama kurun waktu Januari-Oktober 2021. Data ini meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 2020 lalu. Peningkatan ini bisa disebabkan karena makin banyaknya korban yang berani untuk speak up atau justru memang pelaku kekerasan seksual semakin menjamur di dunia pendidikan.

Dari keempat kasus di atas, bentuk pelecehan atau kekerasan seksual yang diterima oleh mahasiswi—bahkan alumni—sangat beragam. Ada yang berupa pelecehan secara lisan, tindakan, dan sexting atau sex chatting. Untuk pelecehan yang dilakukan dengan cara sexting menurut saya keterlaluan, sih.

Ya bayangin aja, kita udah formal dan baku banget ngirim teks WA ke dosen, eh dibales pake kata-kata atau bahkan gambar yang menjurus ke pornografi. Lah, situ sehat?

Mungkin pelaku—bahkan korban—juga enggak paham bahwa kejadian seperti itu termasuk dalam kekerasan seksual di lingkungan kampus. Padahal, sexting adalah salah satu dari 21 bentuk kekerasan seksual di lingkungan kampus berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021. Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 ayat (2) ini merinci bentuk-bentuk kekerasan seksual di lingkungan kampus sebagai berikut.

  1. Menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban.
  2. Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban.
  3. Menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban
  4. Menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman.
  5. Mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban.
  6. Mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.
  7. Mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.
  8. Menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.
  9. Mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi.
  10.  Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban.
  11.  Memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual.
  12.  Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban
  13.  Membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban.
  14.  Memaksa korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual
  15.  Mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual.
  16.  Melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi.
  17.  Melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin.
  18.  Memaksa atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi.
  19.  Memaksa atau memperdayai korban untuk hamil.
  20.  Membiarkan terjadinya kekerasan seksual dengan sengaja.
  21.  Melakukan perbuatan kekerasan seksual lainnya.

Lantas bagaimana jika salah satu dari kita mengalami satu atau beberapa poin yang tercantum dalam Permendikbristek di atas? Langkah paling tepat adalah dengan melaporkannya—walaupun enggak gampang juga untuk speak up. Relasi kuasa, kekhawatiran disepelekan, dan takut dijauhi oleh lingkungan menjadi beberapa alasan korban untuk tetap diam. Berat memang. Namun, cobalah perlahan berusaha dan selalu ingat kata Coldplay, But if you never try, you’ll never know”.

Kekerasan seksual di kampus akhirnya hanya utopis belaka. Pemahaman terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual yang masih prematur di kalangan mahasiswa menjadikan kekerasan seksual tumbuh subur di kampus. Ia hanya menjadi gosip di lingkungan internal kampus tanpa tindak lanjut. Pelaku akan bebas mencari mangsa baru dan korban menjadi entitas yang dipenuhi trauma. Sudah saatnya kita semua peka terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual di lingkungan kampus dan memberikan perlindungan bagi korban—khususnya dalam rangka pemulihan trauma.      

Baca juga : Menilik HAKtP dan Permendikbud PPKS: Ada Fakta Apa di Baliknya?

Penulis: Daffa Imam Naufal
Editor : Nenden Nur Intan