Asa Mahasiswa Difabel Gapai Kesetaraan di Kampus Bumi Siliwangi

Asa Mahasiswa Difabel Gapai Kesetaraan di Kampus Bumi Siliwangi

Fasilitas Difabel UPI
Ujung dari guiding block tertutup oleh tanah dan batu pada Sabtu (27/7/24) di depan Gedung Pascasarjana UPI, Kota Bandung. (Foto: Literat/Labibah)

Menuju kelas perkuliahan, Zaki, mahasiswa difabel netra Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Jawa Barat kerap kesasar. Dia berjalan lambat, melewati jalan setapak di pinggir saluran air. Tak ada guiding block atau jalur pemandu menuju ruangan kelas. Jalur tersebut jumlahnya terbatas di beberapa titik, seperti di trotoar dan beberapa gedung di kawasan UPI.

Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan itu menjelaskan minimnya jalur pemandu menyulitkan dia untuk bepergian dengan aman dan nyaman menuju kelas. “Selain itu, tidak ada tanda saat lift terbuka, sehingga membuat saya kerepotan,” kata Zaki melalui Google Meet pada Kamis (17/7/24).

Tidak hanya difabel netra, fasilitas untuk difabel fisik dan tuli juga belum terpenuhi. Contohnya, sejumlah gedung masih menggunakan tangga yang menyulitkan difabel fisik. Ezra, mahasiswa pengguna kursi roda harus pontang panting saat melewati gedung tanpa lift. Seorang teman harus membantunya saat melewati jalan di kampus yang penuh lubang. Tubuh Ezra dan kursi roda harus diangkat. 

Baca juga: Ambisi UPI, Fakultas Kedokteran dan Program Studi Ilmu Hukum

Lain halnya dengan Siti, mahasiswa difabel tuli program studi Tata Boga. Saat memulai kuliah pada awal semester, dia tak mendapatkan juru bahasa isyarat yang bisa membantunya memahami materi perkuliahan saat dosen menjelaskan di kelas. Siti meminta bantuan teman di kelasnya agar menjelaskan ulang materi yang tidak dimengerti.

Kesulitan itu membuat dia berinisiatif untuk mendapatkan juru bahasa isyarat. Dia menghubungi ketua program studi melalui ibundanya agar kampus menyediakan juru bahasa isyarat. Salah satu mahasiswa di program studi Pendidikan Khusus (PKh) bersedia membantunya menjadi juru bahasa isyarat. 

Mahasiswa Difabel UPI
Wawancara dengan Siti Agung Gumelar, mahasiswa tuli yang didampingi oleh juru bahasa isyarat pada Selasa (16/7/24) di Zoom Meeting.

Siang itu didampingi juru bahasa isyarat, Siti menyebutkan bahwa juru bahasa isyarat tidak setiap saat membantunya. “Hanya saat presentasi karena saya tak bisa menjelaskan sesuatu secara verbal,” ujar Siti. 

Mengungkap Diskriminasi yang Membayangi Mahasiswa Difabel

Ketiga mahasiswa tersebut juga mengalami berbagai kesulitan saat menjalani proses belajar di kampus. Ezra pernah mengajukan keringanan dalam perkuliahan karena ia kerap kerepotan berangkat dari rumah ke kampus. Ayahnya selalu meluangkan waktu untuk mengantar Ezra di sela waktu kerjanya.  Jika tidak bisa mengantar, maka kakaknya yang akan menggantikan ayahnya. 

Sementara itu, jika keduanya tak bisa mengantar, maka Ezra bingung. Ezra pernah mengajukan permohonan kepada bagian program studi untuk mengikuti kelas secara daring. Namun, permohonannya ditolak. “Jadi, waktu itu tuh minta untuk kelas daring kalau misalnya Ezra gak ada yang antar, tapi dari pihak prodi gak ada kebijakan seperti itu. Tetap harus mengikuti (kelas luring) sama teman-teman yang lainnya,” ucapnya.

Ketika ditanya alasan atas penolakan pengajuan keringanan tersebut, Ketua Prodi Administrasi Pendidikan UPI hanya menjawab bahwa Ezra harus mengikuti aturan yang berlaku. Meski demikian, sejumlah dosen dapat memahami kondisi Ezra dan memperbolehkan mengikuti kelas secara daring bila tidak ada anggota keluarga yang mengantarnya ke kampus. 

Zaki yang mengambil prodi Pendidikan Khusus (PKh) ternyata juga mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan akibat stigma yang ada. Saat berdiskusi, pendapat Zaki kerap dibantah teman-temannya tanpa argumentasi yang jelas. Saat situasi itu terjadi, Zaki selalu meminta penjelasan dari mereka yang membantah pandangannya. Namun, permintaan tersebut tak dapat dipenuhi. “Kalau argumentasinya jelas, saya akan terima. Saya kerap kesal,” paparnya. 

Zaki menjelaskan saat kuliah secara daring sering kali bingung mengikuti perkuliahan karena dosen kurang detail menjelaskan materi melalui layar. “Saya bingung ini apa yang diomongin dosen, ini kok tiba-tiba begini,” timpalnya. 

Baca juga: Curhatan Ketika Melihat yang Ramai-Ramai di UPI

Hal serupa dirasakan Siti, dosen terlalu cepat menjelaskan materi di kelas. “Ketika dosen ngomongnya terlalu cepat, aku gak paham. Aku minta ulangi lagi, tapi dosen enggan untuk mengulangi. Gimana dong?” ujarnya dengan ekspresi kebingungan. Baginya, membaca gerak bibir dosen adalah cara yang paling efektif untuk memahami materi perkuliahan.

Ia pernah mencoba menggunakan alat bantu transkripsi dari gawai, tetapi ujaran dan transkripsinya seringkali tidak nyambung. Solusi lainnya adalah meminta bantuan teman dengarnya. Materi memang diberikan, namun temannya tidak mau menjelaskan isi materi tersebut.

“Jadi, kayak mereka gak mau bantu. Aku sedih, sakit hati, kesal juga karena dosen pun tidak peduli dengan situasi ini.” 

Akibatnya, terjadi salah paham antara Siti dan dosennya. Hambatan itu membuat banyak tugas kuliah yang tak ia selesaikan. Ia bukan tidak mau mengerjakan, hanya saja tak banyak orang di sekitarnya yang mau membantu.

“Aku tuh dulu sempat mau menyerah, mau putus kuliah. Tapi banyak dosen yang nahan-nahan. Jangan menyerah, jangan putus kuliah. Sedangkan, di sini aku banyak didiskriminasi. Aku salah apa? Aku cuma mengandalkan visual,” terang mahasiswi yang sebentar lagi akan menuntaskan masa kuliahnya. 

Langkah untuk Mewujudkan Inklusivitas di Kampus Bumi Siliwangi

Yuyus Suherman, Pusat Difusi Inklusi UPI
Yuyus Suherman, Ketua Pusat Difusi Inklusi UPI menyampaikan konsep inklusivitas dalam dunia pendidikan pada Senin (2/5/22) di UPI Podcast. (Dokumentasi: UPI Podcast)

Dosen Prodi Pendidikan Khusus sekaligus Ketua Pusat Difusi Inklusi UPI, Yuyus Suherman, menyebutkan kampus belum sepenuhnya inklusif, terutama dalam pemenuhan fasilitas. Namun, UPI berupaya memberikan akses yang memadai dan membangun motivasi mahasiswa untuk membangun aksesibilitas. Sebagai akademisi yang telah berkecimpung untuk mendorong inklusivitas di ranah pendidikan, ia selalu menekankan mengubah cara pandang menjadi inklusif lebih mendesak. 

Setelah itu, diikuti dengan pemenuhan fasilitas yang ideal secara bertahap. “Pemenuhan fasilitas perlu pengorbanan, sebuah investasi. Jika hal tersebut dianggap kecil (oleh UPI), maka segala hal yang telah dibangun untuk mencapai inklusivitas dapat runtuh dalam sekejap,” kata dia. 

Baca juga: UPI, Sejarah dan Riwayatmu Kini: Dari Isola Ke Bumi Siliwangi (Bagian Pertama)

UPI menurutnya telah berusaha inklusif dan menjadi pelopor. Salah satu upaya itu adalah pada tahun 2001 didirikan Prodi Magister PKh pertama di Indonesia. Selanjutnya pada tahun 2003, UPI dan University of Oslo bekerja sama untuk menstabilkan Program Studi Magister Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Inklusi melalui sebuah proyek. University of Oslo berperan untuk membantu mengedukasi dosen UPI melalui lokakarya dan pengembangan kurikulum lulusan magister UPI. Sejak itulah, konsep inklusivitas bergulir ke seluruh Indonesia.

Lebih jauh lagi secara historis, pendidikan luar biasa di Indonesia diinisiasi pertama kali oleh dr. Westhoff (1901) melalui lembaga untuk penyandang tuna netra pada tahun 1901 di Kota Bandung yang kemudian diikuti lembaga pendidikan untuk ragam difabel lainnya.

Penguatan lembaga bagi difabel memiliki jalan panjang dan berkaitan dengan pembentukan Prodi Pendidikan Khusus UPI.  Bermunculannya lembaga pendidikan anak berkebutuhan khusus membuat Universitas Padjadjaran mendirikan Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa di bawah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan atau FKIP pada 1952. Lembaga tersebut sempat ditutup pada 1994 dan aktif kembali di bawah naungan IKIP Bandung (sekarang UPI).

Pusat Difusi Inklusi UPI

UPI mendirikan Pusat Difusi Inklusi atau Pusdifsi untuk mengakomodasi kebutuhan mahasiswa difabel pada 31 Oktober 2023. Tujuannya untuk mencapai inklusivitas. Menurut Yuyus, inklusivitas mencakup penghargaan terhadap keberagaman sebagai elemen penting dalam menciptakan lingkungan yang ramah bagi civitas UPI. Selain itu, inklusivitas menciptakan lingkungan di mana semua mahasiswa, termasuk mereka yang difabel merasa diterima dan memiliki akses yang sama di UPI.

Yuyus menyebutkan terdapat prinsip 3R untuk menciptakan inklusivitas, yaitu respect (penghormatan), responsibility (tanggung jawab), dan readiness (kesiapan). Ketiga prinsip tersebut menjadi dasar bagi kerja Pusdifsi untuk menyebarkan sekaligus membudayakan inklusivitas kepada civitas UPI melalui program yang telah direncanakan.

Yuyus menjelaskan membangun budaya penghormatan memerlukan waktu dan usaha terus-menerus. Pusdifsi berkomitmen untuk melakukan pelatihan dan kampanye kesadaran untuk memfasilitasi perubahan budaya di UPI.

Dalam konteks penghormatan, ia menegaskan difabel yang masuk dan diterima UPI harus berlatih menjadi mahasiswa yang setara atau tidak diistimewakan. Mahasiswa difabel diharapkan mampu beradaptasi dengan lingkungan kampus yang beragam untuk mempersiapkan mereka menjadi bagian dari masyarakat yang lebih luas. “Hidup di masyarakat juga beragam. Bagaimana bisa hidup di masyarakat yang menghargai keberagaman kalau di kampus saja tidak, kan?” kata dia.

Baca juga: Bakar Semangat Juang Mahasiswa, UKSK Adakan Sekolah Advokasi 2023

Setelah prinsip pertama sudah dibangun, bahan literasi terkait dengan ilmu untuk menghadapi disabilitas harus diperbanyak. Sebab, literasi merupakan medium yang tepat untuk menyebarkan ilmu yang akan menguatkan prinsip penghormatan di masyarakat.

Pusdifsi menargetkan dalam satu tahun menguatkan struktur organisasi dan memperoleh izin resmi dari Majelis Wali Amanat atau MWA untuk mendirikan Susunan Organisasi Tata Kerja atau SOTK yang mendukung keberlangsungan lembaga. “Jadi, ini kan baru perjuangan merintis, masih bergerilya istilahnya. Tidak mudah membangun lembaga itu, harus ada izin MWA agar ada SOTK-nya,” jelasnya.

Pemilihan kata “pusat” dalam Pusdifsi mencerminkan ambisi untuk menyediakan layanan yang lebih komprehensif ketimbang sekadar unit. Ada tiga unit di bawahnya, yaitu Unit Inovasi Akomodasi yang Layak dan Desain Universal Pembelajaran, Unit Layanan Disabilitas, serta Unit Advokasi dan Kemitraan. Yuyus berharap Pusdifsi mencakup semua aspek layanan bagi mahasiswa difabel di UPI Kampus Bumi Siliwangi dan Kampus Daerah. 

Peningkatan status menjadi “badan” diharapkan akan memberikan Pusdifsi wewenang yang lebih besar dalam pembuatan kebijakan dan pengelolaan sumber daya untuk mendukung mahasiswa difabel, “Kami melangkah lebih jauh dari tuntutan undang-undang yang hanya mengamanatkan membentuk unit, tapi kami membentuk pusat yang membawahi unit-unit. Saya sedang berjuang lebih agar ‘pusat’ dinaikan lagi menjadi ‘badan’ supaya punya kewenangan yang lebih luas,” kata dia. 

Menggapai Kesetaraan untuk Mahasiswa Difabel UPI

Kemendikbudristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) mengeluarkan peraturan yakni Permendikbud Nomor 48 Tahun 2023 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas. Aturan ini bertujuan untuk memastikan bahwa semua lembaga pendidikan menyediakan fasilitas dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas. 

Asa Mahasiswa Difabel UPI Gapai Kesetaraan
Kursi roda yang disediakan oleh Prodi Teknologi Pendidikan pada Sabtu (27/7/24) di Fakultas Ilmu Pendidikan UPI, Kota Bandung. (Foto: Literat/Labibah)

Dalam perjalanan menuju pendidikan inklusif yang ramah disabilitas, terdapat berbagai harapan mahasiswa difabel. Menurut Ezra, jika mahasiswa difabel mandiri tanpa fasilitas yang memadai, maka akan muncul masalah baru. Mahasiswa difabel ingin mandiri dengan bantuan serta bimbingan, bukan dikasihani. Menurut dia, perbaikan fasilitas dan adanya pendampingan psikologis sangat diperlukan, terutama bagi mereka yang kebingungan mencari tempat curhat.

Siti turut menyampaikan harapannya agar UPI benar-benar lebih inklusif dan aksesibel untuk difabel. Sebagai mahasiswa tuli, ia mendorong agar UPI menyediakan juru bahasa isyarat kerja sama dengan Bisindo UPI, PKh UPI, dan PLJ (Pelayanan Juru Bahasa Isyarat). “Saya berharap pada tahun ajaran baru nanti, teman-teman tuli bisa merasakan akses yang lebih baik dengan juru bahasa isyarat yang siap membantu,” kata dia. 

Baca juga: Stigma Sosial Negeri dalam Drama At-tin nna Labrador

Pusdifsi, kata Yuyus akan mencari cara untuk intensif berkomunikasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak. Caranya melalui program mentoring, di mana setiap prodi harus memiliki mentor yang punya pengetahuan tentang pendampingan mahasiswa disabilitas. Sistem tersebut harus cepat diberlakukan agar bisa dikembangkan dan dievaluasi bersama.

“Kami (Pusdifsi) diawasi oleh Komisi Nasional Disabilitas. Jika ada kekurangan akan ditegur. Semua perguruan tinggi harus melaksanakan layanan pendidikan untuk memenuhi hak pendidikan mahasiswa disabilitas,” tegas Yuyus.

Pusdifsi juga berupaya menumbuhkan kebijakan untuk memudahkan geraknya. Perlu peraturan rektor sebagai bagian dari legalitas formal yang kuat. Tugas Pusdifsi membudayakan dan menyosialisasikan inklusivitas di lingkungan UPI.

“Peraturan rektor menjadi dasar yang kuat dan menguatkan kerja Pusdifsi,” ujar Yuyus.

***

Tulisan ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) atas dukungan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Penulis: Siti Labibah Fitriana
Editor: Mahmudah Salma Nur Iftikhar